nusabali

Kebebasan Berpendapat Makin Dijepit

Webinar KKB Fakultas Hukum Unud

  • www.nusabali.com-kebebasan-berpendapat-makin-dijepit

DENPASAR,NusaBali
Kebebasan berpendapat saat ini dinilai ada penyempitan ruang bagi masyarakat.

Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya trend kasus-kasus yang diancam pidana. Hal itu terungkap dalam Webinar Kelompok Belajar Bersama Fakultas Hukum Universitas Udayana yang diselenggarakan,  Sabtu (10/10) malam.

Dalam webinar bertema ‘Kebebasan Berpendapat Antara Hak dan Konstitusional dan Ancaman Pidana’ digelar dalam rangkaian HUT Badan Kekeluargaan Fakultas Hukum Universitas Udayana (BKFH) ke-56, menampilkan pakar hukum. Hadir sebagai pembicara pada webinar ini Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sekaligus merupakan Penasehat Senior Bidang Hukum Kantor Staf Presiden, Prof Dr Eddy OS Hiariej SH M.Hum, Dr Ismail Hasani SH MH yang merupakan Direktur Eksekutif Setara Institute sekaligus merupakan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah. Webinar dimoderatori oleh Dr. I Gusti Mas Jayantiari SH MH yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Ismail Hasani memaparkan terkait  politik kebebasan berpendapat di era digital. Dijelaskan Ismail bahwa kehendak politik negara secara umum sebenarnya sudah menjamin kebebasan berpendapat  dan berekspresi dalam batasan konstitusi. "Kehendak negara untuk menjamin kebebasan berpendapat telah diatur dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), peraturan perundang-undangan termasuk aturan derefatif-nya," tegas Ismail.

Ditegaskan Ismail, amandemen UUD NKRI Tahun 1945 telah memberikan landasan yang kokoh memberi jaminan atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan ekspresi, namun di sisi lain dalam konstitusi tepatnya pada ketentuan Pasal 28 J ayat 2 UUD NKRI 1945 terdapat pula ketentuan yang membatasi jaminan-jaminan atas kebebasan menyampaikan pendapat. Selain itu pembatasan-pembatasan dapat dilihat dalam KUHP maupun UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Negara berupaya menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai hak konstitusional satu dengan lainnya tidak saling berbenturan.

"Saat ini, terlihat adanya penyempitan ruang bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat, dibuktikan dengan meningkatnya trend kasus-kasus yang diancam pidana dengan menggunakan UU ITE," ujar Ismail.

Menurutnya seringkali norma agama menjadi batu sandungan kebebasan berpendapat, selain itu kebebasan berpendapat juga sangat lekat dengan rezim pemerintahan berkuasa dan unsur politik, dimana model penanganan kasus potensial berbeda-beda. "Meskipun dilihat dari aspek hukum pidana, tindakan tersebut secara faktual telah memenuhi unsur delik," ujar Ismail.

Ismail berharap masyarakat berpikir holistik melihat permasalahan-permasalahan terkait kebebasan berpendapat. "Jika tidak, tentu kita tidak akan pernah pulih dari pertentangan sosial yang terjadi di masyarakat baik yang terjadi saat ini maupun warisan sebelumnya. Kebebasan memang harus ada pembatasan, namun harus dengan akuntabel sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang lekat dengan unsur pembungkaman," tegas Ismail.

Sementara Prof Eddy OS Hiariej membeber isu kebebasan berpendapat dalam perspektif hukum Pidana. Prof Eddy  menyebutkan bahwa dalam konteks hukum pidana persoalan terkait kebebasan berpendapat dan berekpresi adalah salah satu  bentuk kebebasan yang paling hakiki. "Namun ketika kebebasan berpendapat dan berekpresi masuk dalam konteks kehidupan bernegara, maka dengan sendirinya akan timbul pembatasan terhadap bentuk kebebasan berpendapat dan berekpresi, akibat nilai-nilai yang dianut oleh negara tersebut," ujar Prof Eddy.  

Di samping kata Prof Eddy, hukum pidana juga turut digunakan sebagai sarana untuk melindungi martabat individu, masyarakat dan/atau negara sekalipun dari perbuatan pencemaran nama baik. Namun Prof  Eddy menekankan bahwa  ada pengaturan yang berbeda di setiap negara mengenai delik penghinaan dan/atau penyebaran kebencian. "Perbedaan ini juga diakibatkan oleh nilai yang dianut oleh masing-masing negara. Dengan demikian, hindari upaya membandingkan suatu pengaturan terkait delik penghinaan dan/atau penyebaran kebencian di satu negara lain dengan negara lainnya," tegas Prof Eddy.

Dalam perspektif UU ITE, kejahatan terhadap ketertiban umum (khususnya pencemaran nama baik) digolongkan sebagai kejahatan dunia maya. Hal ini dilihat dari sarana dan prasarana (digital) yang digunakan oleh pelaku. "Pencemaran nama baik  melalui media digital, relatif memang lebih mudah untuk dibuktikan unsur-unsur deliknya," tegas Prof Eddy.

"Namun dampak yang ditimbulkan terbukti  jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan pencemaran nama baik yang terjadi di dunia nyata," jelas Prof Eddy.

Sebagai penutup, Prof Eddy menyampaikan dukungan terhadap kebebasan berpendapat dengan tetap memperhatikan nilai Pancasila sebagai batasannya, khususnya sila ke-2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. "Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan mampu berfungsi sebagai filter dalam segala tindakan yang dilakukan," ujar Prof Eddy seraya meminta supaya masyarakat dalam menyampaikan pendapat tetap dengan etika supaya tidak terseret kasus hukum.*nat

Komentar