nusabali

Desa Tegallinggah Panen Perdana Sorgum

  • www.nusabali.com-desa-tegallinggah-panen-perdana-sorgum

Sorgum dinilai mampu menjadi tanaman pangan alternative pengganti beras.

SINGARAJA, NusaBali

Dinas Pertanian Buleleng memanen perdana sorgum (jagung gembal) di Desa Tegallinggah, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Selasa (29/9). Panen sorgum di atas lahan seluas 1 hektare ini merupakan salah satu upaya memperkenalkan tanaman pangan alternatif kepada masyarakat.

Penanaman perdana sorgum tersebut pada 11 Juni 2020 pada lahan milik Subak Tegallinggah Anyar ini. Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Bali I Wayan Sunarta, hadir dalam acara panen itu, Dia menyampaikan, sorgum mampu menjadi percontohan alternatif pangan sehat pengganti beras. Mengingat tanaman ini memiliki ketahanan di atas rata-rata dibandingkan tanaman pangan lainnya dengan kondisi lahan yang kering. Sehingga sorgum cocok untuk mengefektifkan lahan kering di Buleleng.

Hasil panen perdana tersebut rencananya akan dijadikan benih pengembangan tanaman sorgum berikutnya, baik di wilayah Buleleng maupun luar daerah. Di Buleleng sendiri ditargetkan jatah pengembangan sorgum seluas 25 hektare. "Ini akan kami jadikan benih, karena kelasnya tinggi. Benih ini akan digunakan untuk menyuplai kebutuhan 25 hektare nanti. Sebagian juga akan kami link-kan
pengembangan ke daerah luar, seperti NTT," bebernya.

Dia berharap para petani di wilayah Buleleng ada yang berinisiatif mengembangkan secara mandiri, atau dengan dukungan pihak swasta. Dengan demikian, target 25 hektare di Buleleng dapat segera terealisasi. "Setiap satu hektar lahan yang akan ditanami membutuhkan sekitar 10 kilogram benih. Kalau mau mengembangkan, misalnya dengan didukung CSR untuk membeli benihnya akan sangat bagus. Sehingga akan cepat tercapai, bahkan mungkin bisa 100 hektare," katanya.

Sorgum yang dipanen di atas lahan seluas 1 hektare ini hasilnya diperkirakan mencapai 3 ton. Selain digunakan untuk pembenihan, hasilnya nanti juga bisa dicoba untuk diolah dan dikonsumsi. Ia menjamin petani agar tidak khawatir lagi terkait pasar. "Kemarin ada yang mau ambil tapi kami peruntukan sebagai benih dulu. Kami harap ini bisa disebar dulu, sehingga Buleleng menjadi kawasan Sorgum. Itu juga perlu dukungan Pemerintah Daerah yang memiliki wilayah," tandas Sunarta.

Kepala Dinas Pertanian Buleleng I Made Sumiarta mengungkapkan, sorgum memiliki keterikatan historis dengan Buleleng. Tanaman yang biasa disebut masyarakat dengan jagung gembal ini merupakan tanaman ikon yang juga disebut tanaman Buleleng. Sehingga di Buleleng tentu sangat berpotensi untuk dilakukan pengembangan. "Nantinya akan dikembangkan di seluruh kecamatan di kabupaten Buleleng," ujarnya.

Untuk sementara sorgum ditanam di Kecamatan Sukasada. Selain di Desa Tegallinggah, sorgum juga ditanam di Desa Sambangan dan Desa Panji. Pada November 2020 mendatang tanaman ini akan dikembangkan di Kecamatan Gerokgak dan Kubutambahan. "Sebelum November 2020 sudah ada benih sekitar 5 hingga 6 ton untuk pengembangan dari hasil panen di tiga desa tersebut," tuturnya.

Sumiarta mengungkapkan, tahun ini Buleleng diberikan pengembangan sorgum seluas 25 hektare. Hal itu dinilai masih sedikit jika dibandingkan luasan lahan pertanian di Buleleng seluas 35 ribu hektare. Untuk pengembangan ini mereka memanfaatkan lahan-lahan marjinal. Dari 25 hektare lahan yang akan dikembangkan dengan produksi sekitar 3 ton setiap hektarenya, maka jika dikalkulasi akan menghasilkan sekitar 75 ton sorgum.

Dia berharap, Buleleng nantinya jadi pusat sorgum. "Ketika orang mencari sorgum, Buleleng sudah siap. Pasarannya biasa di daerah timur seperti NTT. Nanti juga bisa jadi pusat benih, yang disambungkan ke daerah lain yang membutuhkan untuk pengembangan sorgum," harapnya.

Kelian Subak Tegallinggah Anyar Gede Sukrada meminta agar hasil panen perdana sorgum yang rencananya akan digunakan sebagai pembenihan oleh dinas ini diserap dengan harga yang layak. Meskipun saat ini belum ada kesepakatan antara kedua pihak. Untuk penanaman sorgum di subaknya, dari pengolahan tanah, pemupukan, dan air memakan biaya sekitar Rp 5,5 juta. Belum lagi ditambah dengan biaya panen.

Untuk menutupi biaya produksi tersebut, ia berharap hasil panen diserap dengan harga lebih dari Rp 6.000 per kilogram. "Kami berharap jangan sampai merugi," tuturnya.

Diungkapkannya, dalam proses selama produksi yang paling banyak menyerap biaya adalah pembelian air untuk perawatan. "Pembelian air yang cukup membengkak, sampai Rp 1,6 juta karena musim kemarau," tambahnya.

Sukrada mengaku baru pertama kali mencoba menanam sorgum karena dari segi perawatan lebih mudah, dan tanaman sorgum lebih tahan terhadap kondisi tanah kering. "Karena ini lahannya kurang air, sorgum ini kuat tahan panas. Sebelumnya lahan ini ditanami padi dan jagung. Dibandingkan keduanya, proses perawatan sorgum lebih mudah," tutupnya.*cr75

Komentar