nusabali

Desa Penyangga Danau Didorong Bikin Perarem Vegetasi Lahan

Jaga Hutan dan Cegah Alih Fungsi Lahan di Sekitar Danau Buyan-Tamblingan

  • www.nusabali.com-desa-penyangga-danau-didorong-bikin-perarem-vegetasi-lahan

Penyangga Danau Buyan meliputi Desa Adat Pancasari dan Desa Adat Wanagiri, sementara penyangga Danau Tamblingan adalah Desa Adat Munduk, Desa Adat Gesing, Desa Adat Gobleg, dan Desa Adat Uma Jero

SINGARAJA, NusaBali

Desa-desa penyangga Danau Buyan dan Danau Tamblingan, yang berada di daerah hulu (bagian atas, selatan) Kabupaten Buleleng didorong membuat Perarem Vegetasi Lahan. Peraturan adat ini dibuat untuk menjaga hutan tetap hijau dan mencegah alih fungsi lahan, yang rentan memicu bencana alam seperti longsor hingga banjir bandang.

Desakan untuk membuat Perarem Vegetasi Lahan ini disampaikan langsung oleh Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, saat rapat sosialisasi penataan Danbau Buyan dan Danau Tamblingan, Kamis (24/9) lalu. Desa-desa penyangga Danau Buyan adalah Desa Adat Pancasari (Kecamatan Sukasada, Buleleng) dan Desa Adat Wanagiri (Kecamatan Sukasada, Buleleng).

Sedangkan desa-desa penyangga Danau Tamblingan---yang berada di sebelah barat Danau Buyan---adalah Catur Desa Adat Dalem Tamblingan, yakni Desa Adat Munduk (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Adat Gesing (Kecamatan Banjar, Buleleng), Desa Adat Gobleg (Kecamatan Banjar, Buleleng), dan Desa Umajero (Kecamatan Busungbiu, Buleleng).

Bupati Agus Suradnyana menyebutkan, Perarem Vegetasi Lahan ini penting dibuat untuk mencegah alih fungsi lahan di desa-desa penyangga dua danau kembali kawasan hulu. Lahan-lahan yang selama ini sudah beralih fungsi menjadi lahan hortikultura dan bunga pacah seribu, ditargetkan untuk dikembalikan menjadi budidaya tanaman keras, seperti kopi.

Menurut Agus Suradnyana, kondisi bukit yang mulai bopeng saat ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan di Buleleng secara umum. Alih fungsi lahan itu sangat rentan memicu bencana alam saat musim hujan, juga menyebabkan tidak maksimalnya resapan air. “Jadi, kita juga harus menjaga vegetasi dan ketersediaan air,” jelas Agus Suradnyana.

Terkait masalah ini, Agus Suradnyana pun menugaskan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Buleleng untuk merancang tata ruang di wilayah hulu Gumi Panji Sakti. “Ke depannya akan dibuat pemetaan zona hulu yang tidak boleh dialih-fungsikan ke tanaman lain, kecuali tanaman keras yang dapat menahan tanah dan memaksimalkan resapan air,” tegas Bupati asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPC PDIP Buleleng ini.

Sementara, Kepala Dinas PUTR Buleleng, Putu Adiptha Eka Putra, mengakui selama ini banyak lahan di daerah penyangga Danau Buyan dan Danau Tamblingan yang beralih fungsi. Dinas PUTR Buleleng pun akan mengecek kembali dan menentukan kawasan mana yang bisa dikembangkan dan dihijaukan kembali, dengan dibantu kepala desa setempat.

“Nanti lewat pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah pusat akan dibantu tanaman-tanaman budidaya keras, seperti kopi. Jadi, untuk vegetasinya bagus. Ke depan, kopi akan menjadi emas hitam, dalam artian memiliki nilai yang bagus untuk pemasaran. Di bagian atas bisa Kopi Robusta dan Kopi Arabika,” papar Putu Adiptha Eka Putra.

Dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Minggu (27/9), Bendesa Adat Wanagiri, Dewa Made Merta, mengatakan sudah memahami dorongan Bupati Agus Suradnyana untuk membuat Perarem Vegetasi Lahan. Desa Adat Wanagiri pun menyatakan siap merancang perarem tersebut, sepanjang pemerintah daerah memang serius berkomitmen untuk mengembalikan sejumlah lahan di kawasan hulu yang sudah mulai beralih fungsi.

Sejauh ini, kata Dewa Merta, kawasan Desa Wanagiri masih didominasi oleh perkebunan kopi. Perbandingannya tanaman kopi dengan lahan hortikultura dan bunga juga masih 90:10. Hanya saja, 10 persen lahan hortikultura di Desa Wanagiri berada di puncakak bukit, yakni wilayah Banjar Dinas Bhuana Sari dan Asah Panji, sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana alam.

“Sejauh ini, lahan kebun kopi masih mendominasi, tetapi itu ada di wilayah bawah Desa Wanagiri, luasnya sekitar 300 hektare di Banjar Dinas Yeh Ketipat. Hanya yang di atas yang alih fungsi lahan sejak tahun 1990-an, karena faktor ekonomi saja,” papar Dewa Merta.

Menurut Dewa Merta, sebagiana karma Desa Adat Wanagiri pilih menanam tanaman hortikultura dan bunga pecah seribu, karena bisa dipanen setiap bulan. Sedangkan kopi menunggu waktu cukup lama untuk panen, selain biaya pemeliharaannya juga cukup tinggi. Kecuali itu, masalah lain juga muncul yakni pasca panen, harga biji kopi olah basah tidak stabil dan cenderung terjun bebas.

“Pemerintah sudah berupaya dengan memberikan bibit kopi untuk mengembalikan ke tanaman budidaya keras. Tetapi, itu baru ke kelompok saja, sedangkan krama kami yang petani hanya sebagian kecilnya ikut kelompok ini. Jadi, mohon dipertimbangkan untuk pemerataan,” papar Dewa Merta.

Selain itu, Dewa Merta juga berharap pemerintah mencarikan jalan keluar hingga pasca panen kopi. “Kalau harga kopi sudah bagus dan ada alat pengolahan, saya yakin petani kami di Desa Wanagiri mau kembali menanam kopi,” tegas Dewa Merta.

Kendala lainnya, kata Dewa Merta, adalah masalah pemilik lahan yang berasal dari luar Bali. Terkadang, mereka yang sulit diatur untuk pemanfaatan lahannya. Dewa Merta pun menyarankan Pemkab Buleleng juga membuat Peraturan Daerah (Perda) terkait vegetasi lahan dan dikuatkan kembali melalui perarem di desa adat penyangganya.

“Pembuatan perarem ini kan juga harus melibatkan semua karma, sehingga mesti hati-hati. Tetapi, kalau memungkinkan, Pemkab Buleleng ikut menandatangani Perarem Vegetasi Lahan dan Pak Bupati langsung mengukuhkan,” tandas Dewa Merta. *k23

Komentar