nusabali

Sering Kenyataan Tak Sesuai Kata Hati

Pergulatan Berkarya Video/Fotografer Prewedding Agus Satya

  • www.nusabali.com-sering-kenyataan-tak-sesuai-kata-hati

Gianyar, NusaBali
‘Jadi fotografer itu enteng, tinggal jepret. Maka jadilah foto’. Pandangan seperti ini amat umum terbersit terutama pada orang yang awam dunia fotografi.

Padahal kerja video/fotografi tak hanya bermodalkan kesungguhan energi dengan alat memadai, namun juga wajib punya art skill serta konsep seni yang mumpuni. Kenyataan itu yang dirasakan video/fotografer prewedding, I Gede Agus Satyawan alias Agus Satyawan,34, asal Kelurahan Bitera, Kecamatan/Kabupaten Gianyar.

Untuk dapat menghasilkan foto prewedding yang bagus, papar Agus, tak cukup hanya kemahiran sang fotografer. Foto disebut bagus, karena foto itu bernilai seni dan makna untuk diri figur dan orang lain. Ada banyak syarat, antara lain, terpenting figur bukan tipe kamera phobia (takut berhadapan dengan kamera). Orangnya tak mesti model, namun punya kepercayaan diri terutama tentang talenta seni personal. Jika bukan model, maka figur mesti mau menerima arahan, baik oleh fotografer dan penata gaya.

Tanpa bermaksud mengangkangi selera seni, fotografer punya cara tersendiri untuk menangkap kelebihan atau keunggulan pada objek (figur). Unggul dimaksud, antara lain, menonjolkan kelebihan komposisi figur dan sedapat mungkin menutupi ‘cacat’ yang ada.

Dalam hal gaya dan tata busana, Agus amat risih jika ada penata rias atau salon yang memaksakan pasangan pengantin memakai busana versi salon. Biasanya, salon menyebut busana trend terbaru dan dipaksakan. Akibatnya, hasil foto jadi agak aneh hingga fotografer jadi bulan-bulanan. ‘’Misalnya, masa salon memaksakan pengantin yang tubuhnya agak pendek dikasi payas agung yang lengkap. Sehingga orang tampak seperti banten gebogan. Ada juga busana Bali dipakai bule, maka agemnya sangat kontras. Maka yang seperti ini perlu penata gaya yang telaten,’’ jelas ayah tiga anak ini.

Untuk menyiasati agar tak muncul foto aneh, Agus sebelum memotret mengawali dengan diskusi baik pada figur maupun penata rias. Tak hanya tata rias dan komposisi, materi diskusi juga menyangkut wahana ruang, antara lain, background, cahaya, benda-benda di sekitar, dan lainnya. ‘’Syukurnya, selama ini diskusi dengan klien dan penata rias, nyambung. Mereka percaya saya, karena foto harus jadi baik untuk klien dan orang lain. Saya sadar klien itu seperti pembeli adalah raja, tapi raja harus punya feel art,’’ jelasnya.

Meski tergolong muda, Agus punya jejak relatif matang dalam dunia fotografi dan video. Kesukaan pada fotografi bermula dari sang ayah, I Ketut Koter (alm), pernah jadi pembantu tukang foto dokumen di Jogjakarta. Dari itu, ayahnya juga seorang fotografer wedding. ‘’Saya kok tertarik lihat-lihat foto hasil karya bapak,’’ kenangnya. Sepengetahuannya, saat dia SMP sang ayah sempat memakai kamera roll film merk Pentax analog, lengkap flash dan lensa 40 mm. Kamera ini pernah dipakai ayahnya motret saat Agus ikut motor race resmi di beberapa sirkuit di Bali.

Tamat SMP, Agus sempat melanjutkan ke STM Rekayasa di Denpasar, namun pindah ke STM Saraswati, Gianyar. Tamat STM dia diterima di FT Mesin Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Namun dia memilih melanjutkan ke diploma 1 Advi (Akademi Desain Visi) Jogjakarta. Di Advi, dia sudah berkenalan dengan praktik fotografi digital. ‘’Sejak di Advi ini saya suka objek human interest,’’ kenangnya.

Untuk berburu foto bertema human interest, Agus aktif menjelajah kultur dan alam desa. Beberapa objek foto yang memikat hatinya, antara lain Gerobak Tebu yang dibimbing orang tua, Panen padi, Buruh petik tidur di sawah. ‘’Di human interest itu ada emosi yang saya dapat, lebih ngena dan saya ada chemistry di sana,’’ ujarnya.

Saat awal-awal hunting, dia juga senang mendapatkan objek ‘Orang tua metik melinjo’. Foto ini berkomposisi warna dan cahaya yang memikat, tentu ada gradasi. ‘’Foto ini amat disukai dosen saya. Saya terkesan,’’ kata Agus.

Tamat Advi 2005, sempat vakum sekitar dua tahun di fotografi karena sang ayah tak membelikan kamera. Selama di Bali, Agus kepincut musik rock dan underground. Tahun 2006 ayahnya pun meninggal karena sakit. Suatu kebetulan, ada seorang temannya membuka toko fotografi di bilangan Pasar Bitera. Dia pun bertukar kisah dan pengalaman tentang wahana fotografi hingga dia membeli kamera Canon 60D lengkap lensa 18 – 55 mm dari Taspen ayahnya, Rp 11 juta. ‘‘Saya dimotivasi teman sehobi di fotografi. Dapat job pertama motret ibu-ibu PKK di Bitera untuk Lomba Kelurahan sekitar tahun 2007,’’ ujarnya.

Sejak itu, Agus menempa diri di dunia wedding fotografi dan video. Foto wedding yang digarapnya pertama kali dengan objek pernikahan adik misan. Kendala awal yang menyita dirinya yakni keterbatasan untuk pengadaan lensa yang beragam, karena menyangkut uang. ‘’Sejak Covid-19 ini juga kendala. Orang yang garap prewedding dan wedding hanya 30 persen. Karena dilarang ramai-ramai dan yang bikin hajatan juga tak terlalu serius untuk keramaian hingga berdampak ke foto atau video,’’ jelasnya. Agus kini menggarap privat project video dengan objek-objek peninggalan sejarah, ditayangkan di cannel youtube Blackwood.*lsa

Komentar