nusabali

Kerja Tak Kenal Waktu, Kerap Didamprat Keluarga Pasien

Kisah Petugas Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19 TRC BPBD Buleleng

  • www.nusabali.com-kerja-tak-kenal-waktu-kerap-didamprat-keluarga-pasien

Versi Gede Sudiasa, petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19 harus memastikan kondisi APD yang digunakan benar-benar menutup rapat seluruh bagian tubuh hingga wajah, bahkan sampai harus ditutup dengan lakban

SINGARAJA, NusaBali
Perjuangan berat tak hanya ditempuh para petugas medis yang menjadi garda terdepan menangani pasien terkonfirmasi Covid-19. Perjuangan berat juga dirasakan oleh Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Buleleng, yang menjadi garda terakhir sebagai petugas pemulasaran jenazah pasien Covid-19. Mereka harus memastikan jenazah terkubur sesuai protokol kesehatan, kerja tak kenal waktu, bahkan kerap didamprat keluarga pasien.

Hal ini diakui salah seorang anggota TRC BPBD Buleleng, Gede Sudiasa, 56, saat ditemui NusaBali di sela-sela piket jaga di Singaraja, Jumat (25/9). Menurut Gede Sudiasa, menjadi anggota tim pemakaman jenazah pasien Covid-19, memaksa dirinya harus siap mental dan fisik. Petugas pemakaman memang tidak harus memiliki skill dan keilmuan secara spesifik, namun membutuhkan fisik dan keberanian tersendiri. Masalahnya, sebagai petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19, me-reka sangat rentan tertular.

Gede Sudiasa sudah sebulan lebih ikut berjibaku mengevakuasi jenazah yang dinyatakan terinfeksi Covid-19. Sudiasa berjibaku bersama 26 petugas TRC BPBD Buleleng lainnya, yang selama ini biasa menangani peristiwa bencana. Sudiasa cs ditugaskan khusus mengantarkan pasien Covid-19 yang meninggal ke peristirahatan terakhirnya.

Sudiasa mengakui sebagai petugas pemakaman, dirinya pantang pulang sebelum jenazah yang dikebumikan benar-benar steril dan pemakaman sudah memenuhi standar protokol Covid-19. "Jenazah tidak boleh terlalu lama. Waktu yang diberikan untuk pemakaman dari mulai mengambil jenazah, paling lama 4 jam," tutur Sudiasa.

Sebagai petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19, pria berusia 56 tahun ini tak mengenal waktu dalam bertugas. Kapan pun jika dipanggil atau dihubungi untuk pemakaman, Sudiasa harus siap. "Pernah baru lepas sepatu pulang dari kantor, telepon berdering, diinfokan oleh pimpinan untuk segera melakukan tugas pemakaman jenazah. Karena tugas, ya harus kami laksanakan," papar Sudiasa, yang kini didapuk sebagai Koordinator Regu Pemakaman TRC BPBD Buleleng.

Menurut Sudiasa, di TRC BPBD ada istilah pantang pulang sebelum selesai bertugas. Karena itu, sederet suka dan duka dilaluinya saat menjalani tugas sebagai petugas pemakaman jenazah Covid-19. Salah satunya, kecelakaan lalulintas yang dialami anggotanya.

Saat di tempat pemakaman, Sudiasa cs juga mesti berhadapan dengan masyarakat dan keluarga pasien. Biasanya, ketika melaksanakan pemakaman, masih banyak masyarakat awam yang tidak percaya dengan Covid-19. Tak ayal, Sudiasa cs pun kerap mendapat penolakan, hingga dimarahi warga. Bahkan, pernah ada dari keluarga pasien yang nekat ingin membuka jenazah dan berusaha menguburkannya secara pribadi.

"Saya dan kawan lainnya juga sudah pernah dibentak keluarga pasien. Ya, hampir semua sudah kami temui. Namanya juga masyarakat umum ada yang masih awam. Kami hanya perlu waktu saja untuk menjelaskan kepada mereka baik-baik tentang prosedur pemakaman jenazah positif Covid-19 dan meminta pengertian mereka," tutur pria asal Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini.

Menurut Sudiasa, ada beberapa hal penting yang selalu dilakukan petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19 sebelum bertugas. Di antaranya, selalu memastikan kondisi alat pelindung diri (APD) yang digunakan harus benar-benar menutup rapat seluruh bagian tubuh hingga wajah. Tak jarang sampai harus ditutup dengan lakban.

Petugas pemakaman juga perlu menjaga stamina agar tubuh dalam kondisi fit, serta mengecek semua peralatan yang digunakan, dan memeriksa kondisi mobil ambulans hingga mobil pengiring. Dan, tidak lupa berdoa sebelum berangkat.

Demikian juga ketika melakukan pemulasaran jenazah pasien Covid-19. Jenazah dimandikan, disemprotkan disinfektan, baru dilapisi plastik, disemprot kembali dengan disinfektan, dibungkus kain, dan dimasukkan kedalam peti mati. "Pada saat proses pemakaman, kami juga harus memastikan tidak terjadi kerumunan di lokasi. Hanya keluarga inti pasien saja yang dibolehkan mengikuti prosesi pemakaman. Kadangkala, keluarga pasien ada juga yang menentang," keluh Sudiasa.

Setelah mengantar jenazah ke pemakaman, kata Sudiasa, petugas harus masuk ke ruang dekontaminasi. Tujuannya, agar mereka terhindar dari virus yang menempel pada tubuh dan pakaian masing-masing petugas. Ada sejumlah tahapan yang harus mereka lalui, mulai dari penyemprotan disinfektan, sabun hingga dekontaminasi itu sendiri.

Sudiasa mengisahkan, saat pertama kali bertugas sebagai petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19, dirinya sempat merasa khawatir tertular. Apalagi, Sudiasa dan kawan-kawannya di TRC BPBD Buleleng terbilang baru menangani perihal pemakaman pasien meninggal. "Dengan risiko tertular yang tinggi, awalnya ada rasa cemas dan kekhawatiran. Namun, ini sudah menjadi tugas. Kami harus laksa-nakan," ujarnya.

Pria kelahiran Singaraja, 4 April 1964, ini tidak keberatan mengemban tugas sebagai petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19. Sudiasa sendiri susah pernah mengantarkan jenazah pasien Covid-19 hingga ke pelosok pedesaan, bahkan sampai luar Buleleng. "Memang berat, namun ini demi keselamatan bersama dan masyarakat. Satu prinsip sebagai petugas pemakaman adalah menjalankan misi kemanusian," papar Sudiasa. *cr75

Komentar