nusabali

Sugihan Bali dan Sugihan Jawa

Dua Rahinan Penyucian, Tak Berkaitan dengan Nama Daerah

  • www.nusabali.com-sugihan-bali-dan-sugihan-jawa

Kedua hari Sugihan memiliki hakikat penyucian di luar dan dalam.

DENPASAR, NusaBali
Umat Hindu di Bali kini tengah sibuknya dengan persiapan Rahina Galungan yang bakal jatuh pada Rabu, Buda Kliwon Dungulan (16/9) mendatang. Bahkan beberapa rangkaian kegiatan hari raya pun sudah dimulai, seperti Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang dilaksanakan mulai Kamis (10/9) hingga Jumat (11/9). 

Memang, dua hari yang bermakna sebagai hari penyucian ini datang beriringan dengan selang satu hari. Namun, keduanya memiliki fungsi masing-masing, yang dalam hal ini dijelaskan dalam Lontar Sundarigama yang menjadi tuntunan dalam pelaksanaan ritual keagamaan, utamanya oleh umat Hindu di Bali.

Jika merujuk pada lontar tersebut, maka akan diketahui bahwa nama Sugihan Jawa dan Sugihan Bali merujuk pada ke mana penyucian itu ditujukan. “Sugihan Jawa disebut juga Parerebuan. Parerebuan berarti penyucian. Yang disucikan adalah alam. Alam semesta, lingkungan, memang disebut Jawa. Jawa dalam konteks ini berarti luar. Sugian Jawa berarti penyucian pada alam di luar,” demikian penjelasan dari IGA Dharma Putra, mengutip Lontar Sundarigama yang dibacanya, kepada NusaBali (10/9).

Sementara itu, Sugihan Bali berarti penyucian pada tubuh manusia. Dalam teks Sundarigama, tubuh disebut dengan Raga Tawulan. Maka, kedua hari Sugihan itu memiliki hakikat penyucian di luar dan dalam. Jawa, sama dengan Jaba yang dalam bahasa Bali artinya luar, sedangkan Bali berarti Dalam. 

Dengan penjelasan Lontar Sundarigama yang demikian, maka idealnya, kedua rahina ini dilakukan bagi umat Hindu, dan tidak hanya melaksanakan salah satunya. Namun, banyak dari masyarakat yang justru hanya melaksanakan salah satu harinya saja, entah Sugihan Jawa atau Sugihan Bali. 

“Selama masih merasa punya tubuh, jadi pembersihan dari luar dan dalam perlu dilakukan. Saat Sugihan Jawa, menurut Sundarigama para dewa turun dan malinggih di Sanggar dan Parahyangan. Jadi penyucian dilakukan pada palinggih para Dewa itu. Caranya dengan melakukan pembersihan dan menghaturkan banten. Sampai di titik ini, orang sering lupa, kalau banten juga penting. Banten yang dihaturkan namanya Pangarad Kasukan,” lanjut pembaca Lontar ini. 

Sementara itu, lanjutnya, penyucian dalam diri bisa dilakukan dengan melukat. Umat Hindu sendiri pastinya tak asing dengan ritual melukat yang bisa dilakukan di sumber-sumber air atau pun di Gria dengan nunas (memohon) panglukatan kepada Pandita. 

Sejauh ini, belum ada penjelasan yang konkrit bagaimana kedua rahina ini diterjemahkan secara harfiah sehingga memiliki kaitan dengan nama daerah Jawa dan Bali. Kendati demikian, banyak asumsi yang mengaitkannya dengan asal-usul umat Hindu di Bali. Asumsi ini, bahwa Sugihan Jawa dilakukan oleh umat Hindu yang datang dari Majapahit (Jawa) ke Bali, sementara Sugihan Bali dilakukan oleh orang Bali Asli (Bali Aga). 

“Masyarakat memang bisa menafsir hari rayanya dengan berbagai cara, ada dari mendengar dongeng, mendengar penjelasan orang tua, atau tafsirnya sendiri atas kata Sugian Jawa dan Bali. Saya sendiri menafsirnya berlandaskan lontar. Ini masalah cara pandang, karena cara pandangnya berbeda tentu berbeda pula yang dilihat dan ditafsir. Karena itu, beda pula hasil tafsirannya. Ada baiknya juga kita kembali membaca-baca lontar yang sudah lama kita punggungi,” tambah penulis asal Bangli ini. 

Sementara itu, dengan adanya umat yang melakukan Sugihan di salah satu hari saja, maka tata pelaksanaannya pun dirasa kurang tepat. Hal ini berkaitan denga Wariga (penghitungan hari). Hari pelaksanaan Sugihan Jawa adalah pada Kamis Wage Sungsang, sedangkan Sugihan Bali jatuh pada Jumat Kliwon Sungsang. 

“Tapi Hindu mengajarkan adaptasi. Adaptasi terhadap waktu bisa dilakukan jika ada sebab-sebab yang tidak bisa dihindarkan. Biasanya jika ada adaptasi semacam itu, ada syarat yang harus dipenuhi. Salah satu yang mudah adalah banten. Kita bisa mencari banyak contoh kasus tentang kompromi waktu di Bali, dan kebanyakan diselesaikan dengan ritual, upacara, banten,” ungkapnya. 

Jika disimpulkan, memang dengan adanya kedua rahina yang memiliki fungsi penyucian masing-masing, maka idealnya kedua rahina tersebut dilakukan. Namun demikian, kini ritual tak hanya mengenai teks lontar dan agama, namun juga memperhitungkan tradisi, kebiasaan, dan budaya masing-masing umat.*cr74

Komentar