nusabali

Para Perajinnya Sudah Sepuh, Dianggap Kuno Anak Muda Gengsi Jadi Penenun

Sulit Regenerasi, Jumlah Perajin Songket Jinengdalem, Buleleng Semakin Menyusut

  • www.nusabali.com-para-perajinnya-sudah-sepuh-dianggap-kuno-anak-muda-gengsi-jadi-penenun

Di tengah minimnya regenerasi di kalangan perajin, mereka tetap melakukan perubahan dan inovasi dalam kerajinan tenun yang pernah menjadi pakaian para raja ini.

SINGARAJA, NusaBali

Jari jemari Nengah Suadi yang keriput dengan lincah memilah dan memasukkan benang demi benang yang beraneka ragam warna. Mungkin karena sudah terbiasa dan terlatih, mata perempuan berusia 86 tahun ini tak kesulitan untuk melihat benang yang amat kecil bagi orang seumuran penenun itu. Tangan yang sudah mulai lemah itu juga sesekali menggerakkan Cacag, bagian dari alat tenun tradisional miliknya yang sudah berusia puluhan tahun.

Usia renta tak menyurutkan semangatnya menjalani pekerjaan sebagai seorang perajin yang sudah dilakoni sejak usianya masih belasan tahun hingga saat ini. Ketika masih muda, perempuan kelahiran 19 Agustus 1934 ini mampu menenun kain songket hingga belasan jumlahnya dengan berbagai ukuran. Kini di usianya yang hampir satu abad dia hanya mampu menyelesaikan dua buah selendang tenun songket berukuran kecil dalam waktu satu minggu yang dijual seharga Rp 300.000 per buah.

Perempuan yang tinggal di Banjar Dinas Gambang, Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng ini menjadi salah satu warga yang masih tekun membuat kain tenun songket khas Jinengdalem. Nengah Suadi sendiri mewarisi pekerjaan ini dari orangtuanya yang juga perajin tenun songket. "Anak-anak sekarang sudah tidak mau menenun. Mereka lebih memilih bekerja di luar desa. Anak saya juga tidak mau meneruskan untuk menenun," tuturnya, Sabtu (8/8) saat ditemui NusaBali di kediamannya.

Dulu hampir sebagian besar warga Jinengdalem bekerja dengan menenun kain songket. Seiring berjalannya waktu, kini hanya tersisa puluhan orang yang masih tekun sebagai perajin. Itupun hanya sebagai sambilan. Usia mereka rata-rata sudah tua. "Perajinnya tinggal 30 orang. Usianya sudah tua semua," kata Ketut Sriponi, Ketua Kelompok Tenun Songket Jinengdalem. Perempuan berusia 46 tahun ini mengakui saat ini cukup sulit mencari perajin berusia muda lantaran banyak yang gengsi bekerja sebagai penenun.

Di tengah minimnya regenerasi di kalangan perajin, dia bersama perajin lainnya tetap melakukan perubahan dan inovasi dalam kerajinan tenun yang pernah menjadi pakaian raja ini. Songket Jinengdalem tak lagi dibuat dengan menggunakan benang emas melainkan benang sutra. "Hasilnya menjadi lebih lentur. Tidak kaku seperti pada umumnya serta dapat dicuci. Produk kain yang kami buat juga tidak pernah sama, utamanya di motifnya," kata perempuan asal Banjar Sanih, Desa Penglatan, Kecamatan Buleleng ini.

Meski tergolong kerajinan yang tradisional, nyatanya tenun songket Jinengdalem masih banyak diminati pembeli. Tak hanya oleh warga lokal Bali, tetapi juga banyak dipesan oleh orang luar Bali termasuk sejumlah desainer dan salon ternama. Bahkan, istri dari Presiden RI, Iriana Jokowi pernah membeli produk kain tenun songket milik Sriponi. "Ibu-ibu pejabat termasuk yang paling sering beli. Istrinya Pak Jokowi juga pernah beli waktu saya mengikuti pameran di Jakarta," ungkapnya.

Jika dibandingkan harganya, kain tenun songket Jinengdalem jauh lebih mahal daripada kain songket lainnya. Kain tenun yang diproduksi olehnya dibanderol dengan harga Rp 3,5 juta hingga Rp 7 juta tergantung ukuran, jenis kain serta kerumitan motifnya. Sedangkan tahapan pembuatan selembar kain ini bisa memakan waktu hingga satu bulan. Soal pewarnaan dia masih konsisten menggunakan bahan-bahan alami, seperti dari air rebusan kulit kayu mahoni, daun jati, kunyit, dan daun tarum.

Saat ini pertenunan kain songket Jinengdalem mulai digairahkan kembali seiring dengan usaha pemerintah dalam memajukan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pemerintah Kabupaten Buleleng juga kerap mempromosikan kain tradisional ini dengan diikutsertakan dalam beragam event kebudayaan di tingkat provinsi maupun nasional sebagai upaya pelestarian budaya. "Kami diberikan pembinaan dalam pemasaran dan desain. Dibantu promosi pemasarannya hingga ke Jakarta dan lingkup Bali," tuturnya.

Dengan populernya kembali kain songket Jinengdalem, Sriponi berharap hal ini akan menarik kembali minat generasi muda untuk menekuni kerajinan tenun ini. "Harapan saya sederhana, semakin banyak anak muda yang melirik kembali usaha kerajinan ini," ujar perempuan yang sudah menggeluti bisnis songket Jinengdalem sejak tahun 2012 ini. Sripomi juga tidak berkecil hati dan mengaku optimis bisa mempertahankan dan melestarikan kain tradisional Gumi Panji Sakti ini di tengah gempuran kain modern. *cr75

Komentar