nusabali

Ritual Buat Rayakan Kemenangan Tentara Kerajaan Mengwi

  • www.nusabali.com-ritual-buat-rayakan-kemenangan-tentara-kerajaan-mengwi

Selain ritual Makotek milik Desa Pakraman Munggu, tradisi Gebug Ende dari Desa Pakraman Seraya dan Ter-Teran dari Desa Pakraman Jasri juga masuk Warisan Budaya Tak Benda Nasional

Tradisi Makotek Milik Desa Pakraman Munggu Masuk Warisan Budaya Tak Benda Nasional


MANGUPURA, NusaBali
Tradisi ritual Makotek milik Desa Pakraman Munggu, Kecamatan Mengwi baru saja dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Penetapan tradisi yang digelar 6 bulan sekali (210 sistem penanggalan Bali) pada Saniscara Kliwon Kuningan ini dilakukan pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di Jakarta, Rabu (14/9) lalu.

Selain tradisi Makotek milik Desa Pakraman Munggu, ada dua lagi tradisi ritual dari Bali yang dapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional oleh Kemendikbud. Masing-masing, tradisi ritual Gebug Ende dari Desa Pakraman Seraya (Kecamatan Karangasem) dan tradisi Ter-Teran (Perang Api) dari Desa Pakraman Jasri (Kecamatan Karangasem). Pengukuhan dilakukan di hari dan tempat yang sama dengan penetapan tradisi rital Makotek. Saat acara pengukuhan tradisi Makotek di Jakarta, Bendesa Pakraman Munggu, I Made Rai Sujana, hadir mewakili desanya untuk menerima plakat.

Pihak Desa Pakraman Munggu sangat bersyukur tradisi ritual Makotek yang sudah diwarisi krama setempat sejak ratusan tahun silam ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional. “Dengan penetapan ini, tidak ada pihak lain yang mengklaim tradisi Makotek. Kita harapkan tradisi ritual unik di daerah lainnya di Bali juga mendapat peng-akuan yang sama,” ungkap Bendesa Pakraman Munggu, I Made Rai Sujana, saat ditemui NusaBali di kediamannya, Sabtu (24/9) lalu.

Made Rai Sujana mengungkapkan, penetapan tradisi Makotek sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional (WTBN) ini melalui proses cukup panjang. Diawali pengkajian matang oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sejak setahun lalu, kemudian diusulkan ke pusat. Ternyata, pemerintah pusat mengabulkannya.

“Penetapan ini sangat luar biasa, terutama bagi saya yang baru beberapa tahun ngayah sebagai bendesa adat. Kami juga sampaikan terima kasih kepada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang telah mengusulkan ke pusat dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung yang sudah memfasilitasi saya hadir dalam sidang penetapan di Jakarta,” kata rai Sujana.

Menurut Rai Sujana, ritual Makotek merupakan tradisi untuk merayakan kemenangan bala tentara Kerajaan Mengwi saat melawan Kerajaan Blambangan (Banyuwangi, Jawa Timur) era Raja Ida Cokorda Nyoman Sakti Munggu sekitar tahun 1700. Sebelum mengadakan perluasan wilayah kala itu, bala terntara Kerajaan Mengwi yang sebagian besar krama dari Desa Munggu mengadakan semadi (bertapa) di Pura Dalem Kahyangan Wisesa tepat Tumpek Kuningan (Hari Raya Kuningan) pada Saniscara Kliwon Kuningan. Selain memohon kemenangan, pasukan Kerajaan Mengwi juga masesangi (berkaul) akan menggelar upacara khusus, bila berhasil menang atas Kerajaan Blambangan.

Ternyata, dalam ekspansi ke Kerajaan Blambangan, bala tentara Kerajaan Mengwi meraih kemenangan. Itu sebabnya, setiap Tumpek Kuningan (yang jatuh 210 hari sekali), krama Desa Pakraman Munggu memperingati kemenangan itu dengan melaksanakan tradisi ritual Makotek---sebagai sarana naur sesangi (bayar) kaul. “Tradisi ini suatu peringatan perang, kalau sekarang identik dengan mengenang jasa para pahlawan,” papar Rai Sujana.

Bagi krama Desa Pakraman Munggu, kata Rai Sujana, tradisi ritual Makotek ini bukan sekadar menjaga dan melestikan warisan leluhur agar tidak punah. Krama setempat juga sangat percaya dengan melaksanakan ritual Makotek, akan terhindar dari hal-hal negatif atau roh jahat. “Suara kayu tak-tek tak-tek dan sorak sorai saat ritual Makotek, diyakini bisa mengusir roh jahat yang masuk ke desa,” kata tokoh adat kelahiran 17 Oktober 1966 ini.

Krama Desa Pakraman Munggu tak berani tidak melaksanakan tradisi ritual Makotek ini, karena akibatnya bisa fatal. Di era penjajahan Belanda, krama setempat pernah dilarang melaksanakan ritual Makotek, karena pemerintah kolonial mengira rakyat akan melakukan pemberontakan. Tradisi Makotek pun sampai lima kali secara beruntun tidak digelar.

Apa yang terjadi? Desa Pakraman Munggu kemudian mengalami musibah maut, seperti penyakit cacar dan panas tinggi yang tidak bisa disembuhkan hingga banyak jatuh korban nyawa. “Setelah sesepuh desa melakukan semadi untuk minta pawisik kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, diperoleh petunjuk niskala bahwa bencana terjadi karena kita tidak melaksanakan tradisi Makotek,” ungkap Rai Sujana.

Karena ada pawisik seperti itu, kata Rai Sujana, para sesupuh desa kemudian meminta izin kepada pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan lagi tradisi Makotek. Namun, sarana untuk ritual Makotek diubah sedikit. “Sarana Makotek yang dulunya menggunakan senjata tombak, diganti dengan sebatang kayu Pulet sepanjang 3 meter. Sejak diizinkan kembali oleh penjajah Belanda itulah, kayu Pulet menggantikan senjata tombak,” katanya.

Karena ritual ini untuk mengenang kesuksesanya bala tentara Kerajaan Mengwi menakhlukkan Kerajaan Blambangan, maka simbol senjata tetap dimunculkan dalam Makotek. Jika dulu menggunakan senjata tombak dari besi, maka di ujung kayu Pulet diikatkan pucuk daun pandan sebagai simbol lancipnya tombak. Sedangkan di bawah tombak dihiasi dengan tamiang yang merupakan simbol tameng. * asa

Komentar