nusabali

'Return-Mewali Mulih' Ramaikan Ajang Pementasan Seni Virtual

  • www.nusabali.com-return-mewali-mulih-ramaikan-ajang-pementasan-seni-virtual

DENPASAR, NusaBali
Pandemi Covid-19 harus disikapi dengan bijaksana. Selama berdiam diri lebih dari tiga bulan, manusia diajak kembali mengingat kembali bagaimana sejatinya alam diciptakan.

Rasa kemanusiaan harus dikembalikan, jangan sampai merusak dan sewenang-wenang memperlakukan ibu pertiwi. Begitulah Sanggar Uyah Lengis asal Demulih, Bangli merespon tema renungan tentang Covid-19. Garapan ini kemudian diberi judul 'Return-Mewali Mulih' yang dipertontonkan dalam ajang ‘Pagelaran dan Pementasan Seni via Virtual' oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

“Garapan ini sebenarnya sudah lama tiang (saya) pikirkan, tapi baru selama dua minggu dieksekusi. Return (mewali mulih) ini merespon tema dari pagelaran virtual tersebut yakni renungan terhadap Covid-19. Kolerasinya adalah pandemi ini mengajarkan kita kembali atau return kepada nilai-nilai kehidupan yang telah kita miliki, seperti Tri Hita Karana. Yang mana hal-hal seperti itu sempat kita lupakan,” jelas Ketua Sanggar Uyah Lengis sekaligus kreator garapan ‘Return’, I Wayan Yudi Laksana, saat dihubungi NusaBali, Senin (29/6).

Konsep garapan diawali dengan menampilkan sosok tua sebagai visualisasi Tuhan yang maha bijaksana. Sejurus kemudian, ada sekitar 5 orang wanita yang wajahnya tertutup kain serta saling terikat tali. Kondisi tersebut menggambarkan ibu pertiwi yang diacuhkan oleh manusia. “Sementara kepala ditutup kain itu kolerasinya adalah nilai-nilai kemanusiaan. Pada permainan kelir wayang juga sebagai simbol hilangnya kesadaran manusia terhadap lingkungan. Pohon ditebang, bangunan di mana-mana, dan lain-lain. Ketika sudah memuncak, Tuhan memberikan peringatan yang saya interpretasikan dalam bentuk wabah ini,” jelasnya.

Menurut Yudi, apa yang ditampilkan dalam garapan tersebut adalah sebuah opini, bukan sebuah jawaban ataupun pembenaran diri. Dia juga mencoba menyerap beberapa interpretasi lain ke dalam garapan. Garapan ini melibatkan setidaknya 10 orang seniman dengan memperhatikan protokol social distancing. “Sehingga yang saya harapkan, penonton memberikan respon dari apa yang saya buat. Banyak interpretasi yang masuk ketika menonton karya saya,” ungkap Yudi.

Hanya saja Yudi memang merasa ada perbedaan antara kesenian di panggung dengan kesenian di depan layar kamera. “Ketika kita di panggung, ada atmosfir penonton yang kita rasakan. Beda halnya dengan kesenian virtual. Tidak ada penontonnya, sehingga sedikit tidaknya mempengaruhi mood senimannya. Jadi energi dari eksternalnya kurang kita dapatkan. Mungkin itu sedikit kendalanya,” cerita Yudi.

Sebagai seniman, Yudi mengakui jika seniman saat ini merasakan betul dampak pandemi Covid-19 ini. Namun jika dilihat secara bijaksana, ada sisi baik dan buruknya era pandemi ini. Di satu sisi seniman tidak bisa pentas di panggung karena keramaian ditiadakan, namun di sisi lain seniman memiliki waktu yang lebih untuk kreatif dan produktif dalam berkarya. “Menurut saya, para seniman jadi lebih produktif membuat terobosan karya selama pandemi ini. Salah satunya dalam bentuk kesenian virtual ini. Saya secara pribadi juga merasa terpacu. Hanya badan saja yang dikurung, tapi imajinasi kita tetap berkeliaran. Dan kesenian virtual ini sangat membantu para seniman,” tandas Yudi, sembari berharap agar kegiatan pagelaran virtual ini bisa digelar secara berkelanjutan. *ind

Komentar