nusabali

Kakak Adik Harus Bekerja untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-Hari

Ayah Meninggal, Ibu Kawin Lagi, Kakak Dirawat di RSJ

  • www.nusabali.com-kakak-adik-harus-bekerja-untuk-memenuhi-kebutuhan-sehari-hari

MANGUPURA, NusaBali
Sepasang kakak adik Made Widiantara, 19, dan Ni Komang Sukma Dewi, 11, harus berjuang mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mereka harus bekerja lantaran ayahnya I Putu Sudiana sudah meninggal, sementara ibunya Ni Wayan Diana telah memiliki kehidupan sendiri dengan keluarga barunya.

Pasangan kakak adik ini berasal dari Banjar Dinas Pupuan, Banjar Panca Dharma, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Badung. Keduanya tinggal di rumah sederhana peninggalan sang ayah yang meninggal pada 2013 lalu.

Sebetulnya, keduanya memiliki kakak laki-laki bernama Putu Gede Adi Sujana, 20. Namun si sulung ini tak bisa tinggal bersama lantaran mengalami gangguan kejiwaan dan menjalani perawatan di RSJ Bali di Bangli.

Sebelum tinggal bedua, Made Widiantara dan Ni Komang Sukma Dewi sempat dirawat oleh kakek neneknya. Namun, sang nenek bernama Ni Made Ginas juga sudah meninggal sekitar satu tahun lalu. Menyusul kemudian kakeknya bernama I Ketut Darmi, meninggal enam bulan lalu.

Sepeninggal kakek dan neneknya, kakak adik ini hanya tinggal berdua. Termasuk mencari nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari, mereka lakukan secara mandiri. Made Widiantara berstatus pelajar kelas XII SMA Widya Brata Mengwi, harus banting tulang mencari nafkah buat sang adik yang masih duduk di bangku kelas VI SDN 4 Mengwitani. Made Widiantara sekarang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di salah satu warung di desa setempat.

Walaupun sudah mencari nafkah, upah yang diterima Made Widiantara tak seberapa. Dalam sebulan rata-rata upah yang dibawa pulang sebesar Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu.

Kelian Dinas Pupuan I Made Sunarta, mengakui Made Widiantara dan Ni Komang Sukma Dewi, hanya tinggal berdua setelah ayahnya meninggal sekitar tahun 2013 dan ibunya memiliki keluarga baru. “Jadi, sekarang hanya tinggal berdua. Punya kakak tapi mengalami gangguan jiwa dan sekarang harus keluar masuk rumah sakit jiwa,” ungkap Sunarta ketika ditemui di rumah kakak adik tersebut, Selasa (30/6).

Sekarang, kata Sunarta, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Made Widiantara harus bekerja paruh waktu. “Dia kerjanya bantu membersihkan warung, kerjanya dari sore setelah pulang sekolah. Namun penghasilannya tak menentu, kadang sebulan Rp 500 ribu,” ucap Sunarta.

“Kalau untuk masalah makan sehari-hari bisa lah dari penghasilannya sendiri bekerja, termasuk ada juga bantuan dari kerabat dan dari desa. Kerabat dan desa memberi bantuan sembako. Namun yang jadi masalah sekarang untuk biaya sekolah (Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau SPP),” ungkap Sunarta.

Menurut Sunarta, biaya sekolah Made Widiantara sudah nunggak sekitar dua tahun. Karena biaya sekolah sebesar Rp 400 ribu per bulan, dikali 24 bulan (2 tahun), maka sebesar Rp 9.600.000 tunggakan sekolah yang harus dibayar. “Pihak sekolah sebetulnya sudah memberikan dispensasi, walau sudah nunggak. Tapi kan tetap harus dibayar. Kami harapkan pihak terkait dari pemerintah atau dari manapun untuk bisa membantu,” harapnya.

Sementara Made Widiantara mengaku tak memiliki cukup uang untuk membayar tunggakan biaya sekolah selama sekitar dua tahun. Upahnya bekerja di salah satu warung sebagai tukang bersih-bersih, tidak cukup untuk membayar. “Kalau untuk makan saja cukup,” katanya.

Tidak saja masalah biaya sekolah, biaya untuk upacara piodalan (odalan) di merajan pun ikut dipikirkan Made Widiantara. Hal ini lantaran dia kini menjadi tulang punggung keluarga.

Ni Komang Sukma Dewi yang kini masih duduk di bangku SD juga ikut membantu tetangganya membuat canang untuk dijual. Setiap membantu membuat dan menjual canang, dia diberi upah Rp 10 ribu. Walau tidak besar nilainya, cukup untuk kebutuhannya termasuk bekal ke sekolah. “Kalau bantu buat canang setelah pulang sekolah sampai sore,” ucapnya.

Sementara untuk kebutuhan di luar kebutuhan pokok, misalnya listrik, transportasi untuk ke sekolah dan yang lainnya, menurut Sunarta diupayakan sendiri oleh sepasang kakak adik tersebut. “Tetap berusaha sendiri, dan ada bantuan dari keluarga,” tegasnya.

Kendati berstatus sebagai krama adat Banjar Panca Dharma, namun sepasang kakak adik tersebut belum dikenakan kewajiban di banjar. Bahkan, iuran wajib bulanan sebesar Rp 5 ribu belum dikenakan.

“Di banjar itu ada kewajiban membayar iuran sebesar Rp 5 ribu, dipergunakan apabila ada kematian. Tapi untuk dua bersaudara tersebut tidak dipungut, sebab masih berstatus pelajar,” ujar Kelian Adat Banjar Panca Dharma Made Suka Winaya, saat dikonfirmasi terpisah.

“Lain halnya nanti apabila sudah bekerja dan berumahtangga, maka sudah kena kewajiban seperti krama lainnya, termasuk membayar iuran bulanan,” imbuhnya.

Diakui Suka Winaya, para tetangga di lingkungan tempat tinggal kakak adik tersebut sudah banyak memberikan perhatian. “Iya, jadi rasa kekeluargaan sangat besar. Ada yang ngasih beras,” ucapnya. *asa

Komentar