nusabali

MELAKUKAN IN ABSENTIA

  • www.nusabali.com-melakukan-in-absentia

Judul tulisan ini sungguh membingungkan? Bagaimana mungkin melakukan sesuatu tidak ada pelaku, lokasi, waktu, obyek, dan lain sebagainya.

Mungkin lebih tepatnya membayangkan. Tidak juga !! Kata in absentia barangkali dapat menjelaskan makna yang dimaksud. In absentia adalah kata dalam bahasa Latin. Secara lugas, in absentia mengandung arti ‘dengan ketidakhadiran’.

Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa tersebut. Satu hal yang perlu dipahami bahwa peradilan in absentia bukanlah salah satu jenis peradilan. Mengingat berbagai kondisi yang mengendala, maka persidangan dapat berlanjut tanpa dihadiri terdakwa. Dalam hukum acara pidana, proses peradilan demikian adalah sah.

Analog dengan kondisi peradilan in absentia, berbagai kehidupan sosial religius dapat dilakukan dengan ketidakhadiran berbagai kebiasaan. Adagium krama Bali, seperti ‘sagilik saguluk salulung sabayantaka’ dan ‘paras paros sarpanaya’ suatu upaya kebersamaan, tanpa ada unsur perbedaan. Berbagai kegiatan sosial dilakukan atas dasar prinsip tersebut, krama berkumpul berbondong menyelesaikan suatu itikad dengan baik dan benar. Dalam kondisi normal, adagium itu harus dilakukan, kalau tidak dilakukan maka ditengarai tercerabut akar! Tetapi, saat kondisi pandemi, gumi grubug - berkumpul dan berdekatan sangat potensial menularkan wabah! Oleh karena itu, ketidakhadiran kebiasaan seperti itu merupakan panacea – obat mujarab pencegahan meluasnya wabah! Ini bukan lagi suatu pilihan, melainkan kewajiban untuk menyelamatkan jiwa lainnya.

Ritual keagamaan suci dan penting di Bali dapat pula dilakukan in absentia. Artinya, tradisi dari awal sampai akhir tidak harus persis dilakukan secara penuh. Alangkah bijaksananya apabila dilakukan dengan sistem perwakilan minimal dan aman. Sedangkan, krama Hindu lainnya dapat ‘ngayeng’, ‘ngayat’, ‘nyawang’ dari masing-masing tempat tinggalnya. Makna yang dikandung tidak berbeda, atau bahkan mungkin lebih konsentrasi pada pemujaan kepada-Nya. Anjuran atau bahkan  pelarangan  untuk  tidak  melakukan  atau  menghadiri  suatu  ritual  keagamaan  bukan  dimaksudkan untuk mencegah ‘bakti-sraddha’ seseorang atau sekelompok orang, melainkan suatu upaya penyelamatan yang lebih hakiki.

Di Bali, agama Hindu lebih kental diyakini sebagai agama faktual, bukan agama tekstual. Artinya, eksistensi Tuhan beserta manisfestasi-Nya ditangkap sebagai suatu turunan yang dianut berdasarkan atas tradisi. Penyimpangan terhadap tradisi leluhur sering dipandang sebagai suatu kesalahan atau aib. Tradisi dipandang sebagai sebuah dogma yang harus dipegang teguh dan dilestarikan. Penggunaan filsafat untuk menjelaskan teologi pernah dilakukan di masa silam. Misalnya, Thomas Aquinas, Augustine, dan para pakar teologi lainnya. Mereka menggunakan metodologi kritis untuk menangkap konsep ketuhanan. Demikian juga, apologis modern menggunakan argumen filosofis dalam memahami eksistensi Tuhan. Apakah hal serupa dapat dilakukan terhadap kebiasaan sosial dan keyakinan beragama Hindu di Bali, khususnya dalam kondisi darurat saat ini?

Menggali kebenaran yang tersembunyi adalah gagasan mulia. Manusia telah diberikan kemampuan untuk berlogika. Teologi filosofis merupakan alat. Krama Hindu Bali seharusnya dapat menggunakan pikiran untuk memahami situasi gawat darurat sekarang ini. Usaha belajar untuk keselamatan jiwa dan raga akan memeroleh karma baik. Penerusan tradisi secara berkelanjutan adalah upaya meneruskan peradaban leluhur. Namun, dalam situasi kritis seperti sekarang ini krama Hindu Bali harus menjadi pelopor untuk dapat menghindarkan diri dan lainnya dari bahaya jasmani, rohani, omong kosong, atau pemikiran yang keliru. Catur brata penyepian merupakan esensi dari isolasi diri, isolasi lingkungan, pembatasan gerak dan aktivitas sosial religius, menjaga kebersihan diri, dan menjaga jarak komunikasi. Oleh karenanya, upaya pencegahan penyebaran dan efek negatif wabah saat ini akan dapat diminimalkan. Semoga. *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Komentar