nusabali

Berdikari di Sektor Informal Selama Masa Pandemi

  • www.nusabali.com-berdikari-di-sektor-informal-selama-masa-pandemi

Penyebaran virus korona membawa dampak yang kurang menggembirakan bagi capaian perekonomian global termasuk Bali.

Statistisi di Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangli
Mahasiswa Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana

Berdasarkan  Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dilaporkan bahwa pada triwulan I tahun 2020 kinerja perekonomian Provinsi Bali mengalami kontraksi sebesar 1,14 persen ketika dibandingkan dengan triwulan yang sama di tahun 2019. Dikutip dari Tribunnews.com, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Bali melaporkan bahwa per 25 Mei 2020 sebanyak 71.313 pekerja di sektor formal dirumahkan dan 2.570  orang diputuskan hubungan kerja (PHK). 

Fenomena ini diduga diakibatkan oleh menurunnya pangsa pasar sehingga menurunkan produktivitas  yang pada akhirnya menyebabkan pelaku usaha menekan biaya produksi dengan memilih untuk mengurangi jumlah tenaga kerja. Dilema besar sedang dihadapi oleh semua pihak. Di satu sisi ada tanggung jawab untuk meminimalisir penyebaran penyakit COVID-19 di sisi lain roda perekonomian harus tetap berjalan minimal demi terpenuhinya kebutuhan dasar. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa prioritas utama saat ini adalah keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Gelombang penyebaran wabah korona sampai saat ini masih belum dapat ditentukan sampai kapan akan berakhir. Mereka yang telah kehilangan pekerjaan akibat terdampak pandemi global ini harus tetap bertahan memperoleh pendapatan demi bertahan hidup. Pemerintah telah berupaya meluncurkan berbagai bentuk stimulus dan bantuan dengan harapan dapat membantu meringankan beban ekonomi. Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Pra Kerja sebagai contoh. Meskipun demikian, nominal bantuan ini belum tentu menjamin bahwa kebutuhan masyarakat dapat seluruhnya terpenuhi. 

Berdasarkan data yang dirilis pada laman resmi Badan Pusat Statistik Povinsi Bali dilaporkan bahwa  pada tahun 2019 rata-rata pengeluaran per kapita di Bali mencapai  1,39 juta rupiah dengan rincian 609,18 ribu rupiah untuk pengeluaran konsumsi makanan dan 777,97 ribu rupiah untuk konsumsi non makanan. Kebutuhan per kapita ini mungkin saja meningkat di tahun 2020. BLT sebagai contoh dengan memberikan manfaat sebesar   600 ribu rupiah per bulan per keluarga. Jumlah nominal yang diberikan relatif lebih rendah dari rata-rata kebutuhan biaya konsumsi makanan per  individu atau per kapita. Apalagi jika anggota keluarga penerima jumlahnya lebih dari satu orang maka otomatis biaya yang diperlukan pasti lebih besar lagi. Sehingga nampaknya keluarga penerima bantuan perlu berupaya lebih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dalam rangka menafkahi diri sendiri dan keluarga maka bagi sebagian besar masyarakat terdampak yang kehilangan pekerjaan dari sektor formal mau tidak mau harus mengadu nasib dengan masuk ke sektor informal. Dikutip dari laporan International Labor Organization (ILO)  menyatakan bahwa jika pekerja sektor informal tidak bekerja dan tinggal di rumah maka berarti mereka akan kehilangan mata pencaharian. Mati karena kelaparan atau karena virus. Tidak semua dari mereka yang kehilangan pekerjaan memiliki tabungan serta sumber pendapatan pasif lainnya yang masih dapat diandalkan selama masa pandemi. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilaksakan oleh Badan Pusat Statistik menemukan bahwa pada  masa sebelum pandemi diperkirakan  proprosi pekerja di sektor informal mencapai 49,80 persen dari total penduduk yang bekerja. Jumlah tersebut diprediksi akan mengalami peningkatan selama pandemi sebagai akibat adanya PHK termasuk pemulangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tercatat sebanyak 9.647 orang telah pulang ke Bali sejak 22 Maret sampai 16 April 2020. 

Transformasi tenaga kerja sektor formal ke sektor informal memang tidak dapat dipungkiri sangat berpeluang terjadi. Dinamika perekonomian yang berubah drastis dalam waktu yang singkat akibat pandemi COVID-19 menyebabkan lapisan masyarakat  terdesak dan tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup. Beberapa bulan terakhir mungkin tidak sulit menemukan deretan rombongan pedagang musiman yang menjajakan barang dagangan selama masa pandemi di Bali. Beberapa dari mereka mengakui sebelum masa pandemi pernah bekerja di industri pariwisata, PMI, atau karyawan usaha yang terkait agen perjalanan dan wisata. Mereka  bahkan tidak segan untuk menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling menggunakan mobil pribadi. Komoditas yang dijajakan pun bervariasi mulai dari perlengkapan rumah tangga, makanan ringan, dan produk pertanian. 

Studi yang dilakukan oleh Bappenas pada tahun 2005 menyebutkan bahwa sektor informal dapat didefenisikan sebagai usaha yang bermodal utama dari sumber swadaya dengan pemanfaatan teknologi sederhana dan pekerjanya merupakan tenaga kerja keluarga atau pekerja tidak dibayar. Bahan baku yang digunakan cenderung menggunakan sumber daya lokal dengan pangsa pasar kelompok lapisan penduduk kelas menengah kebawah. Usaha ini biasanya tidak berbadan hukum. Karakteristik pendidikan dan kualitas sumber daya pelaku sektor informal biasanya tergolong rendah. 

Meskipun demikian, beberapa kajian ilmiah tentang sektor informal telah membuktikan bahwa sektor ini memliki peran yang sangat penting sebagi penyangga sekaligus penyelamat stabilitas ekonomi ketika terjadi dinamika yang sangat cepat pada perekonomian akibat resesi, kemunduran ekonomi. Sektor informal pun digadang-gadang mampu meredam guncangan ekonomi yang terjadi sehingga roda perekonomian masyarakat dapat tetap berjalan. Potensi ini perlu dikaji peluang dan tantangannya di masa pandemi sehingga dapat menjadi alternatif solusi untuk mencapai stabilitas perekenomian menjelang tatanan kehidupan era baru.

Optimisme pada sektor informal tentunya bukan tanpa alasan.  Hasil penelitian  Agus Joko Pitoyo dalam Jurnal Populasi UGM Tahun 2007 mengungkapkan bahwa sektor informal mampu tetap eksis ketika Indonesia diguncang krisis pada tahun 1998. Tingkat inflasi yang sangat tinggi mencapai 88 persen dan pertumbuhan ekonomi mendekati minus 15 persen justru menyebabkan sektor ini tumbuh subur. Sebuah peluang  berharga dapat dipetik dari masa sulit tersebut. 

Tantangan saat ini adalah bagaimana menjaga keberlanjutan dari sektor informal tetap ajeg. Diperlukan strategi yang tepat untuk sektor informal agar dapat bertahan bahkan berdiri diatas kaki sendiri (berdikari) setidaknya selama masa pandemi. Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 2016 dilaporkan bahwa kendala terbesar  usaha di sektor informal adalah minimnya penguatan modal untuk usahanya. Kondisi ini tentu akan diperparah dengan daya beli masyrakat yang rendah pada masa pandemi. Kajian mengenai tantangan dan peluang sektor informal perlu dipertimbangkan untuk mengoptimalkan strategi kebijakan serta intervensi yang diperlukan selama masa pandemi sekarang ini.

Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Koperasi dan UKM telah menganggarkan stimulus usaha sebesar 43,88 milyar rupiah yang nantinya akan diberikan kepada 4.004 koperasi di seluruh kabupaten kota di Bali.  Suntikan dana ini tentunya menjadi angin segar bagi pelaku usaha di sektor informal. Selain permodalan pelaku sektor informal sebaiknya  cermat memetakan pangsa pasar lokal. Saat ini mungkin prioritas utama dari masyarakat adalah komoditas bahan pokok pertimbangan daya beli masyarakat yang relatif belum stabil. Optimalisasi peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat dari dana desa juga memiliki peran strategis membantu. BUMDES dapat membantu menyelamatkan produsen produk pertanian di desa untuk dapat tetap bertahan dengan membantu distribusi hasil panen. 

Masyarakat Bali juga patut bersyukur memiliki lembaga finansial seperti Lembaga Prekreditan Desa (LPD) yang juga dapat menjadi alternatif ekonomi kerakyatan dengan kearifan lokal sebagai tumpuan finansial selama masa pandemi. Dikutip dari Bisnis.com yang mewartakan bahwa LPD Kedonganan membagikan sembako senilai  500 ribu rupiah kepada 1.200 kepala keluarga (KK) sejak bulan April hingga Juni 2020. Pada akhir 2019 laba LPD di seluruh Bali tercatat senilai 635 miliar rupiah dimana menurut Perda LPD diatur bahwa pada masa pandemi 25 persen dari total atau sekitar 31 miliar rupiah dapat  dialokasikan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa terdampak virus korona. Upaya sejenis mungkin saja sudah dilakukan oleh lembaga finansial yang per Oktober 2018 tercatat sebanyak 1.433 unit tersebar di seluruh kabupaten kota di Bali.

Pada akhirnya dinamika ekonomi tidak dapat terlepas dari segala upaya untuk mencapai keseimbangan. Harapan untuk bertumpu kepada sektor informal tidak lain adalah bentuk usaha untuk menurunkan suhu perekonomian yang semakin panas akibat pandemi COVID-19. Meskipun demikian, Bali akan mampu bangkit kembali dengan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki dan tentunya dengan dukungan kearifan lokal. Bali, bangkit!


*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar