nusabali

Prof Pitana Sempat 2 Tahun ‘Berhitung’ Sebelum Beralih ke Jalan Spiritual

Mantan Deputi Menteri Pariwisata Bidang Pemasaran Resmi Sandang Gelar Ida Bawati Gede Pitana

  • www.nusabali.com-prof-pitana-sempat-2-tahun-berhitung-sebelum-beralih-ke-jalan-spiritual

Salah satu motivasi Prof Dr Ir Gede Pitana MSc memilih jalan spiritual adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, karena semasa hidupnya telah diberikan anugerah. Semasa kecil hingga awal menikah, hidupnya serba kekurangan

TABANAN, NusaBali

Guru Besar Fakultas Pertanian Unud, Prof Dr Ir I Gede Pitana MSc, 60, resmi menyandang gelar ‘Ida Bawati’. Akademisi yang lama bertugas di Kementerian Pariwisata ini sudah menjalani prosesi upacara pawintenan di kediamannya di Banjar Kerobokan, Desa Mekarsari, Kecamatan Baturiti, Tabanan pada Sukra Pon Dukut, Jumat (24/6) malam. Terungkap, Prof Gede Pitana sempat 2 tahun menimbang-nimbang, sebelum akhirnya putuskan lepas jabatan strategis dan beralih ke jalur spiritual.

Prosesi upacara pawintenan Prof Gede Pitana di tengah pandemi Covid-19 ini dilaksanakan serangkaian dengan karya piodalan di merajan (pura keluarga)-nya. Prof Pitana menjalani prosesi pawintenan bersama istrinya, Ir Ni Putu Gemet Gayatri, 57, yang kini bergelar ‘Ida Bawati Istri’.

Rangkian upacara pawintenan Prof Pitana yang semula bergelar Jro Mangku Gede Pitana menjadi Ida Bawati Gede Pitana, diawali dengan prosesi ritual mapinton kepada tiga guru nabe pada Buda Wage Kelau, Rabu, 17 Juni 2020 lalu. Tiga guru nabe dimaksud, masing-masing Ida Pandita Mpu Jaya Putra Pemuteran (sulinggih dari Griya Renon, Denpasar), Ida Pandita Mpu Daksa Mertayoga (sulinggih dari Griya Beraban, Denpasar Selatan), dan Ida Pandita Mpu Darmika Tenaya (sulinggih dari Griya Banjar Basang Be, Desa Perean, Kecamatan Baturiti, Tabanan).

Ida Pandita Mpu Jaya Putra Pemuteran bertindak sebagai Nabe Napak (ayah kandung). Sedangkan Ida Pandita Mpu Daksa Mertayoga berrtindak sebagai Nabe Waktra (guru yang mengajar berbagai ilmu). Sebaliknya, Ida Pandita Mpu Darmika Tenaya berindak sebagai Nabe Saksi.

Setelah rangkaian prosesi mapinton kepada tiga guru nabe, dilanjutkan dengan ritual nunas tirta di empat pura warga Pasek yang disebut Catur Parhayangan pada Saniscara Paing Kelau, Sabtu, 20 Juni 2020. Nunas tirta di empat pura ini dilakukan karena Jro Mangku Gede Pitana adalah sameton Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR).

Empat pura tersebut, masing-masing Pura Lempuyang Madya (di Desa Purwayu, Kecamatan Abang, Karangasem), Pura Catur Lawa/Pedaharman Ratu Pasek di Pura Besakih (Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem), Pura Pasek Linggih Mpu Gana di Pura Pundukdawa (Desa Adat Pundukdawa, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung), dan Pura Silayukti Linggih Mpu Kuturan (di Desa Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem).

Selanjutnya, dilaksanakan upacara pamelaspas Pasraman Deka Santana pada Anggara Kliwon Dukut, Selasa, 23 Juni 2020. Pasraman Deka Santana ini nantinya akan dijadikan pusat pendidikan pamangku dan agama.

Sedangkan upacara inti yakni Munggah Bawati dilaksanakan pada Buda Umanis Dukut, Rabu, 24 Juni 2020, sejak petang pukul 18.00 Wita hingga malam pukul 22.00 Wita. Dalam prosesi ini, Jro Mangku Gede Pitana bersama istri, Jro Mangku Istri Ni Putu Gemet Gayatri, mengawali upacara dengan malukat (membersihkan diri).

Setelah itu, barulah dilakukan upacara mawinten. Setelah bersih, dilanjutkan dengan prosesi mati raga. Prosesi ini bagian dari Dwi Jati di mana Jro Mangku Gede Pitana bersama istri dibalut kain kafan, mirip orang meninggal, kemudian dibaringkan di bangunan saka ulu (bertiang delapan).

Kepada NusaBali, Prof Gede Pitana yang kini bergelar Ida Bawati mengatakan dirinya termotivasi beralih ke jalur spiritual di tengah kejayaan kariernya, karena beberapa pertimbangan. Pertama, dia ingin menjalankan ajaran Agama Hindu, terutama ajaran Catur Asrama yang terdiri dari Brahmacari Asrama, Grahasta Asrama, Wanaprasta Asrama, dan Sanyasin Asrama.

Kedua, Prof Pitana memilih jalan spiritual sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, karena semasa hidupnya telah diberikan anugerah. Sebab, semasa kecil hingga awal menikah, hidupnya serba kekurangan. Ketiga, Prof Pitana memilih jalan spiritual karena ingin memperbaiki karma dengan jalan mengabdi kepada masyarakat.

Prof Pitana mengakui semasa kecil, hidupnya serba susah. “Waktu SMP bahkan pernah drop out karena tidak bisa membayar SPP,” kenang Ida Bawati Gede Pitana saat ditemui NusaBali di kediamannya di Banjar Kerobokan, Desa Mekarsari, Kecamatan Baturiti, Tabanan, Jumat kemarin.

“Kemudian, seiring berjalanya waktu, saya banyak mendapat anugerah yang tidak terduga. Dari sinilah saya ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan dengan cara mengabdi kepada masyarakat,” lanjut tokoh yang semasa kuliah di Fakultas Pertanian sempat dinobatkan sebagai Mahasiswa Teladan Unud (awal 1980-an) ini.

Meski demikian, Prof Pitana sempat berpikir panjang selama 2 tahun, sebelum kemudian memutuskan pilih jalan spiritual. Atas keputusannya ini, Prof Pitana rela mengundurkan diri dari jabatan tinggi sebagai Deputi Menteri Pariwisata Bidang Pemasaran Mancanegara, akhir tahun 2018. “Seharusnya, jabatan saya ini baru akan berakhir Agustus 2020 mendatang,” jelas alumnus 1979 SMAN 1 Singaraja, Buleleng ini.

Bukan hanya itu. Ketika rencana ini dikomunikasikan dengan sang istri, Putu Gemet Gayatri---yang juga merupakan alumni Fakultas Pertanian Unud angkatan 1982---, ternyata yang bersangkutan mengaku belum siap menempuh jalan spiritual. Maklum, mereka selama ini tinggal di Jakarta yang secara otomatis belum mahir terkait bebantenan. “Ida Istri waktu itu belum siap, mengatakan belum bisa terkait bebantenan,” cerita Ida Bawati Gede Pitana yang juga Ketua Ikatan Alumni SMAN 1 Singaraja.

Sebaliknya, keempat anak mereka: Putu Diah Sastri Pitanatri, Made Uttari Pitanatri, Nyoman Brahmani Pitanatri, dan Isvari Ayu Pitanatri justru mendukung keputusan ayahnya. Demikian pula keluarga lainnya.

Nah, selama sang istri belum siap, Prof Pitana justru memperdalam ilmu. Pada 2019 ketika masih bertugas di Kementerian Pariwisata, Prof Pitana kerapkali menyempatkan waktu ke Bali untuk belajar ilmu keagamaan kepada yang berkompoten. “Saya belajar banyak, belajar Wariga juga, belajar Bahasa Bali, maupun belajar dewasa ayu (hari baik),” jelas akademisi yang sempat menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Kadisparda) Provinsi Bali 2001-2004 ini.

Kini, Prof Pitana resmi sudah bergelar Ida Bawati Gede Pitana. Ketika nanti mengabdi kepada umat Hindu, Ida Bawati Gede Pitana tidak ingin menjadi Ida Bawati yang ‘serem’. Artinya, dia tidak mau memberatkan umat. Ketika akan muput upacara, Ida Bawati tidak perlu kapendak (dijemput). Cukup ditelepon, maka Ida Bawati beserta pengiringnya akan data ke lokasi upacara.

“Ini untuk efisiensi, tidak usah mendak. Ya, kalau umat punya mobil dan lokasi upacara dekat. Jadi, cukup telepun saja, maka Ida Bawati bersama pengiring akan menuju lokasi upacara,” jelas Ida Bawati yang sempat drop out di Kelas III SMPN 1 Singarajta tahun 1973, sebelum lanjut ke SMPN 1 Payangan, Gianyar hingga tamat 1975 ini.

Paparan serupa juga disampaikan Ida Bawati Istri Ni Putu Gemet Gayatri. Menurut perempuan berusia 57 tahun ini, awalnya dia memang belum siap menempuh jalan spiritual. Tapi, pada akhirnya dia sepakat mengikuti keputusan suami, apalagi setelah mengenang masa lalu dan anugerah yang diberikan Tuhan.

Menurut Ida Bawati Istri, dulunya mereka hidup sangat sederhana di awal menikah. Bayar kontrakan rumah saja susah. Namun, seiring berjalanya waktu, anugerah yang diterima di luar dugaan. “Seolah dibantu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Setiap ada kesusahan, selalu ada jalan keluar. Saya pun tidak pernah membayangkan ada di posisi saat ini,” ujar perempuan asal Jembrana ini. *des

Komentar