nusabali

Melestarikan Tradisi, Melambatkan Pembaruan?

  • www.nusabali.com-melestarikan-tradisi-melambatkan-pembaruan

Melakukan pembaruan tradisi relatif tidak semudah melestarikannya. Pembaruan tradisi bisa dipercepat, apabila diketahui kendalanya.

Salah satunya adalah miskonsepsi tentang pembaruan. Pembaruan selalu dikaitkan dengan gagasan baru. Sesungguhnya, pembaruan tidak selalu menawarkan gagasan baru.  Pembaruan kadang mengambil bentuk ‘old wine in a new bottle’, anggur tua dalam kemasan baru! Misalnya, penggantian kurikulum sekolah. Kurikulum berganti dari tahun ke tahun, seperti bandul jam dinding. Implementasi yang mendadak atau kurangnya sosialisasi, pembaruan kurikulum selalu mendapat resistensi dari peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan dan masyarakat.

Masalahnya bukan pada pembaruan tersebut, tetapi bagaimana meyakinkan pembaruan itu menjanjikan sesuatu yang lebih baik? Resistensi berdampak pada terseoknya perjalanan kurikulum baru tersebut. Contoh lain terjadi pada institusi masyarakat di Bali. Sejak diterapkan demokrasi melalui pemungutan suara, suasana pakraman menjadi riuh. Musyawarah mufakat tidak bisa berlangsung tulus dan damai. Krama kecil sering dihegemoni oleh krama yang memiliki ‘power’, baik yang diraih (ascribed power) maupun yang dilakukan (excercised power).

Secara demokratis, pembaruan disetujui oleh mayoritas. Dengan prosedur demikian, seorang pemimpin pakraman terpilih lewat voting. Ironinya, kebijakan pemimpin yang dipilih dengan suara terbanyak belum tentu diapresiasi! Apa jadinya pakraman kalau sering direcoki oleh demokrasi?

Masyarakat yang taat pada tradisi sering bersikap status quo terhadap pembaruan. Tradisi sering dilawankan dengan pembaruan, tradisi berada pada satu ujung sedangkan pembaruan di ujung lain. Para pembaharu memberi tekanan berlebih pada eksposisi gagasan baru. Tradisi dikatakan kuno, sedangkan pembaruan disebut modern. Menurut William Blakes ‘...there is usually no shortage of new ideas; the problem is to get a hearing for them’. Memang benar pembaruan itu tidak ada masalah. Masalahnya justru bagaimana krama agar mau mendengarkan dan memahami gagasan baru tersebut.
 
William Blakes berpandangan bahwa masyarakat tradisional lebih menaati dan mengapresiasi tradisi, kebiasaan turun temurun. Umumnya, mereka bertahan pada tradisi leluhur. Ketika, ancaman datang dari luar atau dalam sekalipun, mereka bergolak dengan segala bentuk. Perilaku ini sering kentara di pulau Dewata. Misalnya, ketika condominium dekat kawasan suci Pura Tanah Lot dikembangkan, banyak protes dan demonstrasi digelar. Ketika, bumi di Bedugul dibongkah untuk gas alam cair, krama Hindu berontak. Ketika rumah bambu di Desa Antiga dikembangkan melewati batas kawasan suci, pemerintah daerah setempat melarang. Alasan yang diumbar adalah pelestarian tradisi, nilai, norma dan etika leluhur. Jadi, tradisi kadang memperlambat pembaruan.

Kadangpula, birokrat diposisikan sebagai tradisi. Birokrat lebih mementingkan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan. Sedangkan, masyarakat awam lebih mementingkan apa yang diharuskan, memang dikerjakan untuk kesejahteraan yang berkeadilan sosial! Sama dengan tradisi yang menggariskan norma dan aturan lewat awig-awig. Awig-awig hanya mengatur,misalnya: ini boleh dan itu tidak boleh. Tetapi, bagaimana ini dan itu diwujudkan untuk meraih kesejahteraan sosial tidak direalisasikan dengan baik. Buktinya, korupsi, kolusi dan nepotisme masih marak sampai saat ini.

Penggerogotan alam asri pedesaan dan pegunungan sulit dibendung. Kawasan suci juga tidak luput dikomodifikasi demi keuntungan pariwisata. Dampak ekologis komodifikasi nilai dan aset sosio-budaya-religius dikesampingkan? Tradisi akan tetap di gumi Bali, tetapi bagaimana tradisi itu digunakan untuk mengontrol penyimpangan, erosi dan dekadensi moral? Akankah desa pakraman difungsikan sebagai ‘anti-bureaucracy bureaucracy, providing the young with a 'What is it good for?', meminjan isitilah William Blakes. Semoga.

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc,Ph.D
(Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya)

Komentar