nusabali

Drama Gong di Ambang Kematian

  • www.nusabali.com-drama-gong-di-ambang-kematian

Pemeran Patih Werda, Nyoman Puja, mengkritik seniman muda yang mengacak-acak wajah demi menghibur penonton.

DENPASAR, NusaBali

Kesenian drama gong makin redup, pasang surut, dan di ambang kematian. Menyikapi situasi itu, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menjembatani para seniman drama gong untuk berkumpul dan melakukan diskusi di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Rabu (14/9). Diskusi dimediasi oleh Prof Dr I Made Bandem didampingi Kabid Kesenian dan Perfilman Disbud Provinsi Bali Ni Wayan Sulastriani, pegiat teater AA Mas Ruscita Dewi, dan dari Listibya Nyoman Astita.

Diskusi ini juga untuk menjawab tantangan, lantaran pementasan drama gong yang dilombakan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) sempat menuai pergolakan menyusul protes keras terhadap proses penjurian. Selain itu, pembina juga dianggap kurang memahami perbedaan di masing-masing daerah. Sorotan penilaian yang dianggap tidak mengadopsi keunggulan lokal, kemampuan dewan juri dalam menilai, serta sempitnya pemikiran dalam memajukan drama gong, menjadi pertimbangan untuk menjaga dan melestarikan drama gong.

Sejumlah tokoh di antaranya tokoh senior drama gong, Wayan Puja yang terkenal memerankan Patih Werda menyebut kesenian drama gong tradisi mesti dijaga. Sebab drama gong sebagai media pembelajaran bahasa Bali. Dia juga mengkritik karakter mengacak-acak wajah demi untuk menghibur. “Kesenian drama gong harus kita pertahankan, kembalikan konsep drama gong yang tokoh, karakternya jelas, bukan  sekadar mengacak-acak wajah demi untuk menghibur,” kata Puja.

Sementara penggiat teater dari Singaraja, Putu Satria Kusuma, meminta jangan mengekang adopsi gaya yang berkembang di berbagai daerah. Selama 30 tahun bergelut di dunia teater, Satria Kusuma mengaku melakukan beberapa riset tentang drama gong yang memiliki kekhasan tersendiri. Ada estetika baru, yaitu drama dan iringan gamelan gong kebyarnya. “Menurut saya, drama gong di Bali boleh dibilang ada gaya drama gong Bali utara yang mengangkat cerita rakyat yang berbeda dengan gaya drama gong Bali selatan yang lebih dominan mengangkat kerajaan. Ini yang menjadi kaya, dan biarlah demikian,” katanya.

Sementara pemeran Patih Agung, Wayan Sugita berpendapat, upaya melestarikan seni drama gong lebih kepada menjaga karakter dan pakem yang ada. “Esensi drama gong harus dipahami, bagaimana seorang patih karakternya besar, beringas, tak mungkin sosoknya kurus,” ucapnya yang kini lebih sering memerankan Balian Pengeng.

Tak ketinggalan, empunya teater di Bali, Abu Bakar mengingatkan drama gong jangan dibawa ke pemikiran sempit, terbelenggu dengan aturan atau pakem-pakem tertentu. Kesenian drama yang harus ada dan dipertahankan adalah cirri dan kekhasannya. “Kalau dipakemkan takutnya ada kebosanan dan cenderung monoton, malah tidak disenangi. Biarlah mengalir, jangan dibatasi, saya sangat tidak setuju kalau drama ada pakemnya,  yang justru menyempitkan jiwa berkesenian,” ungkapnya.

Masih banyak lagi yang seniman yang berpendapat. Namun, belum ada kepastian apakah kesenian drama gong akan tetap dilombakan seperti tahun-tahun sebelumnya atau sekadar diparadekan. Prof I Made Bandem menilai tidak ada masalah, apabila nantinya lomba parade gong tetap dilakukan dengan catatan juri memiliki pedoman serta kriteria yang jelas.

Masalahnya, tidak ada pedoman khusus yang disepakati dalam kesenian drama gong, sehingga juri memiliki persepsi yang berbeda-beda dan menggunakan pengalaman serta pemahaman masing-masing. “Juri juga memiliki wawasan dan pemahaman yang luas, namun jika sumber daya manusia belum siap, tidak masalah jika drama gong dijadikan parade saja,” katanya. Permasalahan lainnya, penekun drama gong saat ini terus menyusut, tokoh-tokohnya sudah tua, sangat kesulitan mencari bintang baru. “Sangat jarang sekaa sebunan yang memang concern mengembangkan drama gong,” ungkapnya. * in

Komentar