nusabali

Covid-19 Timbulkan Gangguan Kecemasan Hingga Psikosomatis

  • www.nusabali.com-covid-19-timbulkan-gangguan-kecemasan-hingga-psikosomatis

DENPASAR, NusaBali
Sejak dilanda wabah Covid-19, gangguan stres juga seolah menjadi ancaman baru bagi masyarakat.

Mulai dari derasnya arus informasi tentang wabah ini, anjuran untuk tetap berada di rumah, hingga sebagian masyarakat yang menghadapi krisis ekonomi akibat kehilangan pekerjaan.   Beragam fenomena sebagai akibat dari perubahan situasi ini dapat memicu gangguan psikologis seperti stres, hingga rasa cemas berlebihan. Hal ini dipaparkan oleh Psikiater RSJ Bali, dr I Made Wedastra MBiomed SpKJ, yang menjelaskan bahwa sama seperti saat seseoang mengalami kedukaan, orang tersebut akan melalui lima fase, hingga fase yang kelima yaitu penerimaan.

Akan tetapi, pada masa pandemi ini, tahapan psikologi yang dilewati ada tiga, yaitu  disruption atau adanya perubahan, ketidakpastian, dan penerimaan. Pada anjuran diam di rumah akan membuat adanya perubahan dalam kehidupan, dimana sebelumnya bebas menjadi terbatas geraknya serta pembatasan dengan adanya berbagai kabar yang tidak pasti memaksa seseorang masuk ke tahap kedua yaitu ketidakpastian,” ujar Made Wedastra pada Kamis (4/6).

Tahap ketidakpastian ini, lebih jauh lagi dapat berakibat munculnya kecemasan berlebihan. Seperti yang diilustrasikan Made Wedastra pada seseorang yang mengalami kecemasan berlebihan akibat derasnya arus informasi tentang Covid-19. “Karena kebingungan dan ketidakpastian ini maka seseorang berusaha mencari dan mencari informasi tanpa menyaring informasi yang ada sehingga kecemasan makin meningkat. Seseorang dapat menjadi cemas berlebihan, keluar rumah dengan menggunakan APD berlebihan, atau perilaku kompulsif dengan terlalu berlebihan memperhatikan tentang kebersihan yang dapat mengganggu fungsi kerja ataupun sosial orang tersebut,” paparnya.

Di samping itu, gangguan kecemasan juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Seperti pada gangguan psikologis yang disebut dengan psikosomatis, yang merupakan fenomena saat seseorang merasakan gejala suatu penyakit (dalam hal ini Covid-19) padahal orang tersebut merupakan orang yang sehat.

“Hal ini dalam ilmu kejiwaan dikategorikan sebagai gangguan psikosomatis, artinya gangguan psikologis berupa kecemasan yang dimanifestasikan dengan gejala fisik. Dalam hal ini jika mengalami hal tersebut kita jangan panik karena secara fisiologis tubuh tidak terjadi kelainan dalam tubuh kita. Gejala muncul karena dipengaruhi psikologis kita yang sedang cemas atau tertekan,” lanjut Made Wedastra.

Bagaimana faktor kecemasan ini menjadi gangguan psikosomatis? Saat seseorang mendengar tentang corona atau melihat orang yang dikatakan terjangkit virus corona, tanpa sadar rasa cemas meningkat dan itu akan meningkatkan kortisol yang berefek menimbulkan aktivasi berlebihan saraf simpatis dan parasimpatis sehingga organ akan dipaksa bekerja berlebihan. Dan, organ yang bekerja berlebihan ini adalah organ yang dicemaskan. Maka organ tersebut akan memunculkan gejala seperti gejala Covid-19 seperti batuk, bersin, atau merasa demam. Diperkirakan, gejala ini dapat terjadi pada 50 persen  populasi masyarakat.

Namun, terdapat penjelasan untuk membedakan antara gejala psikosomatis ini dengan gejala karena penyakit yang sebenarnya. “Untuk membedakan dengan gejala sebenarnya adalah kalau psikosomatis didahului atau distimulus oleh pikiran jadi jika kita memikirkan atau cemas akan penyakit itu, maka gejala akan muncul. Dan saat pikiran dialihkan ke hal lain terutama hal yang menyenangkan maka gejala akan berkurang. Berbeda halnya dengan gejala yang sebenarnya tidak didahului pikiran atau ketakutan terhadap penyakit jadi gejala bisa berlangsung terus-menerus dan tidak berkurang dengan signifikan jika pikiran dialihkan ke hal yang menyenangkan,” urai Made Wedastra.*cr74

Komentar