nusabali

Menyingkap Pengobatan Covid-19 di Indonesia

  • www.nusabali.com-menyingkap-pengobatan-covid-19-di-indonesia

Waktu terus berjalan, tanpa terasa Bangsa Indonesia akan memasuki masa hari ke-100 pandemi virus korona (Covid-19) dalam seminggu mendatang sejak mencatatkan kasus positif pertamanya pada 2 Maret 2020.

Dokter ahli pratama Pemerintah Kabupaten Badung (Bali). Alumnus fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara 

Masih dalam suasana menuju hari keseratus tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mewacanakan konsep ‘New Normal’ dimana berbagai aktivitas kehidupan masyarakat akan kembali dibuka dan dinormalisasi dengan menerapkan protokol keamanan kesehatan. Menurut data terakhir covid19.go.id pada 1 Juni 2020, Virus Korona telah menginfeksi 26.940 jiwa penduduk Indonesia, diantaranya 7.637 jiwa sudah dinyatakan sembuh dan 1.641 jiwa meninggal dunia akibat penyakit ini. Sejak 16 April 2020, pertama kalinya angka kesembuhan pasien Covid-19 Indonesia lebih besar daripada angka kematian dan secara luar biasa angka-angka kesembuhan tersebut terus ‘meroket’. Presentase kesembuhan pasien Covid-19 Indonesia sekarang melesat sebesar 28,3% setelah sebelumnya stagnan di bawah 10% pada akhir Maret dan awal April. Sedangkan laju mortalitas pasien pun mulai melamban, dimana persentase mortalitas Indonesia sekarang sebesar 6,0% atau telah menurun lebih dari tiga persen setelah sempat menyentuh puncak 9,3%.

Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi provinsi paling terdampak dengan jumlah pasien positif Covid-19 terbanyak sebesar 7.485 kasus, dengan kematian 518 kasus dan kesembuhan 2.272 kasus. Provinsi Bali termasuk provinsi dengan persentase kesembuhan pasien Covid-19 tertinggi sebesar 69,2% yaitu dijumpai 334 pasien sembuh dari total 482 kasus, serta persentase kematian terendah sebesar 1,0% (total 5 kematian). Provinsi Bali diharapkan menjadi provinsi pertama bebas Covid-19 sesuai hasil evaluasi dan perhitungan Pemerintah Pusat. Dalam rapat kabinet oleh Presiden RI Joko Widodo disebutkan bahwa penanganan Covid-19 Bali terbaik di Indonesia. Kasus-kasus positif korona sudah ditemukan di 34 provinsi dan 416 kabupaten/kota di Indonesia. 

Lebih lanjut, total sebanyak 4 provinsi dan 15 kabupaten/kota di Indonesia masih menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar  (PSBB) sebagai upaya untuk memutus rantai penularan virus korona. Merujuk pada negara-negara yang berhasil mengendalikan wabah Covid-19 (seperti Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, dan Vietnam), pelonggaran kebijakan pembatasan sosial layak dilakukan jika terpenuhinya indikator-indikator antara lain: (1) Persentase kesembuhan mencapai 80-85%; (2) Grafik pertambahan kasus baru harian MENURUN, terutama transmisi lokal; dan (3) Pertambahan kesembuhan baru harian LEBIH BESAR daripada pertambahan kasus baru harian.

Fenomena ledakan angka kesembuhan Covid-19 ini menunjukkan bahwa komitmen, keseriusan, dan kerja keras semua pihak dalam penanganan wabah ini mulai menunjukkan hasil. Penurunan laju mortalitas pasien Covid-19 disebabkan oleh makin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi memutus rantai penularan virus ini melalui: gerakan memakai masker, physical distancing, stay at home, work from home, study from home, pray from home, dan cuci tangan pakai sabun. Sedangkan, peningkatan persentase kesembuhan pasien Covid-19 tidak terlepas dari kebijakan skrining massal dan diagnosis dini yang semakin baik, sehingga pasien sejak mempunyai gejala ringan akan mendapatkan pengobatan secepatnya dan terhindarkan dari berbagai komplikasi. 

Antivirus Potensial Covid-19 Belum Terbukti Efektif Untuk Kasus Gejala Berat.

Hingga saat ini, belum ditemukan obat antivirus yang spesifik terhadap Covid-19. Namun, virus ini merupakan satu keluarga dengan virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome), sehingga saat ini konsep ilmiah yang dianut luas adalah menggunakan obat-obatan antivirus spesifik terhadap SARS dan/atau MERS untuk mengobati infeksi Covid-19. Beberapa antivirus yang digunakan luas oleh dunia, misalnya lopinavir/ritonavir (Kaletra) dan favipiravir (Avigan), belum terbukti menunjukkan efektivitas terhadap pasien-pasien bergejala berat. Sebuah penelitian yang dilakukan Bin Cao dkk (2020) menguji efektivitas lopinavir/ritonavir terhadap pasien Covid-19 bergejala berat yang dirawat di rumah sakit, menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pemberian antivirus lopinavir/ritonavir dibandingkan pengobatan standar biasa. Hasil penelitian lain oleh Chang Chen dkk (2020) yang membandingkan favipiravir dengan Arbidol menunjukkan laju pemulihan klinis yang lebih baik pada hari ke-7 pasien bergejala sedang yang mengunakan favipiravir, tetapi tidak terhadap pasien bergejala berat. Terakhir, saat ini penelitian uji klinis antivirus Remdesivir dan terapi konvalesen plasma sedang dikembangkan, World Health Organization (WHO) menyebut Remdesivir sebagai kandidat pengobatan yang paling menjanjikan.

Berbagai studi menunjukkan obat-obatan antivirus potensial ini masih efektif untuk kasus-kasus gejala ringan dan sedang, sehingga skrining dan diagnosis dini masih menjadi penentu utama kesembuhan pasien Covid-19. Semakin cepat pasien didiagnosis dini, tentunya pasien bisa mendapatkan pengobatan secepatnya sejak gejalanya masih ringan, sehingga terhindarkan dari berbagai perburukan dan komplikasi penyakit. 

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengeluarkan rekomendasi pengobatan untuk menatalaksana pasien Covid-19, yang secara dramatis terbukti berhasil meningkatkan laju kesembuhan dan menurunkan laju kematian pasien positif virus korona di Indonesia. 

Pertama, favipiravir (Avigan). Avigan merupakan sebuah antivirus yang diproduksi oleh Toyama Chemical (Fujifilm) mulanya digunakan untuk pengobatan penyakit Ebola. Studi terakhir menunjukkan Avigan mempunyai efek penghambatan terhadap enzim RNA (Ribonucleic Acid) polymerase virus, sehingga diyakini efektif terhadap virus Covid-19. Dalam sebuah penelitian oleh Qingxian dkk (2020) dimana favipiravir dibandingkan dengan lopinavir/ritonavir selama 14 hari, menunjukkan pasien diobati favipiravir mengalami penyingkiran virus lebih awal pada hari ke-4 berbanding dengan hari ke-11 pada pasien dengan lopinavir/ritonavir, perbaikan radiologis tampak pada 91% pasien diobati favipiravir berbanding dengan 62% pasien menggunakan lopinavir/ritonavir. Obat Avigan berpotensi menyebabkan kecacatan janin sehingga dihindarkan pemakaian pada wanita hamil.

Kedua, oseltamivir (Tamiflu). Oseltamivir merupakan antivirus yang pertama kali digunakan ketika virus korona merebak luas di Wuhan, Tiongkok. Namun seiring dengan makin tingginya resistensi terhadap antivirus ini dan ditemukannya antivirus lain yang lebih efektif (seperti Kaletra, Arbidol, Avigan dan Remdesivir) membuat penggunaan oseltamivir mulai ditinggalkan. Bahkan di dalam Chinese Guideline of Diagnosis and Treatment of Covid-19 edisi ketujuh, yang merupakan pedoman penatalaksanaan Covid-19 di negara tersebut, oseltamivir sudah tidak direkomendasikan lagi. Sedangkan, dipilihnya obat oseltamivir oleh Kemenkes RI dan PDPI dikarenakan antara lain: tingginya produksi dalam negeri sehingga obat ini cenderung tersedia dan untuk menghindari kelangkaan obat; serta masih jarangnya penggunaan oseltamivir di dalam negeri sehingga diyakini resistensi terhadap antivirus ini masih rendah. Disamping itu, oseltamivir masih direkomendasikan untuk pasien positif Covid-19 dengan gejala ringan-sedang oleh International Pulmonologist Consensus On Covid-19, sebuah konsensus tatalaksana yang disepakati oleh dokter-dokter spesialis paru dunia.

Ketiga, vitamin C dosis tinggi. Efek peningkatan imunitas tubuh, antioksidan, produksi antibodi dan interferon merupakan hasil yang diharapkan dari penggunaan vitamin C dosis tinggi, Perbaikan aktivitas sel-sel imun diyakini akan membantu pemulihan penyakit, walaupun belum ada penelitian yang menyimpulkan efek langsung vitamin C terhadap pasien Covid-19. Dosis maksimal vitamin C adalah 2000 mg/hari, dan jika berlebihan akan menimbulkan resiko batu ginjal dan gangguan pencernaan.

Keempat, klorokuin. Klorokuin telah dipakai luas sejak pandemi Flu Spanyol pada tahun 1918, wabah malaria, dan kini pandemi Covid-19. Obat ini disebut-sebut sebagai ‘obat dewa’ dalam sejarah wabah penyakit manusia. Obat Klorokuin diduga mempunyai efek antiinflamasi dan imunomodulator yang dapat membantu proses pemulihan Covid-19. Namun ada beberapa efek samping yang perlu diwaspadai dari pemakaian obat ini antara lain: gangguan irama jantung, gangguan fungsi hati, hingga gangguan keseimbangan (vertigo).

Kelima, azitromisin. Azitromisin merupakan antibiotika golongan makrolid, pemakaian obat ini HARUS bersamaan dengan klorokuin karena kombinasi keduanya diduga mempunyai efek antiviral terhadap Covid-19, serta mencegah infeksi bakterial sekunder saluran pernapasan yang rentan terjadi akibat infeksi virus ini. Efek samping utama yang ditakutkan dari pemakaian obat ini bersamaan dengan klorokuin adalah gangguan irama jantung, sehingga pemakaiannya harus dimonitor dengan ketat.

Perlu untuk dicermati, hingga saat ini tidak ada rekomendasi pemakaian kelima obat-obatan Covid-19 diatas untuk orang-orang yang tidak bergejala. Juga tidak ada rekomendasi pemakaian obat-obatan tersebut untuk profilaksis (pencegahan penyakit) sebelum dan sesudah kontak risiko tinggi dengan penderita Covid-19. Pemakaian Tamiflu dan Avigan secara sembarangan meningkatkan kemungkinan resistensi virus terhadap obat-obatan ini. Pemakaian klorokuin dan azitromisin yang tidak sesuai indikasi beresiko mengakibatkan gangguan irama jantung yang berbahaya. Disamping itu, hidrasi yang cukup dan konsumsi makanan bergizi juga merupakan penentu percepatan perbaikan kondisi klinis pasien. 

Evaluasi-Evaluasi Menuju New Normal.

Menjelang hari ke-100 pandemi virus korona, kemajuan besar sudah diperlihatkan dalam upaya penanganan dan pengendalian wabah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun perjalanan untuk menjadi negara bebas Covid-19 masih cukup panjang. Masih terdapat banyak tantangan besar yang dihadapi ke depannya, seperti: munculnya gejala-gejala “kejenuhan” masyarakat menghadapi wabah, berbagai stigma negatif terhadap hasil Rapid Test Covid-19 positif yang menyebabkan keengganan masyarakat terlibat dalam pemeriksaan Rapid Test massal, isu keterbatasan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis, pengucilan/penolakan warga terhadap tenaga medis atau relawan Covid-19, masih lamanya keluaran hasil pemeriksaan PCR yang memakan waktu satu-dua minggu, hingga berbagai pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan oknum-oknum masyarakat. Hal-hal demikian menjadi fokus perhatian bagi semua pihak di tengah ketidaksempurnaan penanganan wabah ini.

Mencegah adalah lebih baik daripada mengobati” merupakan ungkapan terbaik untuk menggambarkan pandemi Covid-19 saat ini, mengingat belum ditemukannya obat antivirus spesifik untuk virus korona ini. Sejalan dengan itu, penelitian-penelitian lain untuk menemukan vaksin spesifik dan pengobatan baru seperti terapi konvalesen plasma masih terus dikembangkan. Beberapa antivirus potensial yang sedang digunakan dunia saat ini, seperti Lopinavir/Ritonavir (Kaletra) dan Favipiravir (Avigan), belum terbukti efektif untuk menyembuhkan kasus gejala berat. Namun, obat- obatan ini masih diyakini efektif untuk kasus-kasus ringan dan sedang, sehingga skrining dan diagnosis dini mutlak dilakukan secara masif dan terstruktur untuk menekan laju angka mortalitas dan meningkatkan persentase kesembuhan terhadap penyakit virus korona ini. Semakin cepat pasien didiagnosis dini, tentunya pasien bisa mendapatkan pengobatan secepatnya sejak gejalanya masih ringan, sehingga terhindarkan dari berbagai perburukan dan komplikasi penyakit. 

Namun, satu hal yang lebih baik lagi pastinya adalah mencegah dan menghindari paparan virus korona ini karena sampai saat ini belum ditemukan antivirus yang benar-benar spesifik untuk Covid-19. Berbagai upaya untuk pembatasan sosial, pemeriksaan skrining Rapid Test massal, tracing kontak pasien Covid-19 dan percepatan keluaran hasil periksa diagnostik swab test harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan upaya pengendalian wabah.

AKHIR KATA, marilah kita bersama-sama memutus rantai penularan virus ini melalui: jaga kesehatan dengan konsumsi makanan bergizi, rutin berolahraga selama 30 menit sehari, disiplinkan physical distancing, usahakan stay at home, work from home, study from home, pray from home, memakai masker ketika keluar rumah, serta biasakan cuci tangan pakai sabun dan perilaku hidup bersih sehat. World Health Organization (WHO) telah mengonfirmasi bahwa vaksin untuk SARS-CoV-2 tidak akan tersedia sebelum akhir tahun 2021, yang artinya seluruh umat manusia mulai kini harus ‘berdamai’ dengan virus korona ini setidaknya untuk satu setengah tahun mendatang. Manusia harus disiplin terhadap protokol keamanan kesehatan sebagai gaya hidup yang baru dan membudayakan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) di segala tempat, aktivitas dan sendi-sendi kehidupan. Memakai masker, physical distancing dan kebiasaan cuci tangan haruslah menjadi kebudayaan baru kehidupan manusia dalam normalitas baru ini. Welcome to the New Normal!



*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar