nusabali

Ngenteg Linggih, Tujuan dan Filosofi

  • www.nusabali.com-ngenteg-linggih-tujuan-dan-filosofi

Ngenteg Linggih merupakan sebuah prosesi upacara untuk melinggihkan Tuhan dalam manifestasinya di tempat suci tersebut.

GIANYAR, NusaBali.com
Ketika sebuah keluarga, atau sekelompok orang mendirikan tempat suci Hindu bernama ‘Pura’ atau palinggih, maka setelahnya akan diadakan serangkaian upacara bernama Ngenteg Linggih. Pada dasarnya, Ngenteg Linggih terdiri dari dua kata, yakni ‘nteg’ yang berarti tenang, dan ‘linggih’ yang berarti duduk. 

Duduk dalam ketenangan. Itulah konsep dasarnya. Siapa yang duduk dalam ketenangan? Tentu saja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala bentuk manifestasinya (Ista Dewata) yang dilinggihkan atau distanakan di tempat suci tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa Ngenteg Linggih merupakan sebuah prosesi upacara untuk melinggihkan Tuhan beserta manifestasinya di tempat suci tersebut. 

Maka, proses Ngenteg Linggih ini menjelaskan salah satu miskonsepsi yang sering diutarakan kepada masyarakat Hindu, yakni miskonsepsi bahwa umat Hindu memuja patung atau berhala. Padahal, bangunan pura atau palinggih merupakan tempat atau simbol berstananya Sang Hyang Widhi Wasa.  

“Karena saking jauhnya Beliau tidak bisa kita jangkau, parawidya, maka kita kerucutkan beliau dalam bentuk aparawidya, dalam bentuk konkret atau nyata. Sehingga kita bisa memusatkan pengetahuan kita, konsentrasi kita untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” jelas I Putu Widya Candra Prawartana MPd, Penyuluh Agama Hindu Kota Denpasar. 

Sebagaimana sebuah yadnya berasal dari Tri Rna atau tiga hutang yang dibawa manusia sejak lahir, maka demikian pula dengan upacara Ngenteg Linggih yang termasuk dalam Dewa Yadnya. Rujukan terhadap jenis upacara ini terdapat di beberapa lontar, beberapa di antaranya yaitu:

Lontar Asta Kosala Kosali, yang memuat tentang tata letak pura atau palinggih, Bhuwana Tattwa Rsi Markandeya yang memuat tentang asal tradisi Ngenteg Linggih beserta aturan-aturannya, dan Lontar Sundarigama yang memuat tujuan diadakannya upacara Ngenteg Linggih.

Secara filosofis, Ngenteg Linggih memang merupakan sebuah upacara untuk menstanakan Tuhan dalam bentuk manifestasinya pada sebuah tempat suci. Manifestasi Ida Bhatara yang dimaksud merupakan kepada siapa pura atau palinggih tersebut ditujukan.

Misalkan, untuk merajan keluarga, umat Hindu mengenal istilah sanggah kemulan untuk leluhur, maka yang berstana di sana adalah leluhur keluarga. Atau, jika pura tersebut dibangun oleh desa atau sekelompok masyarakat, maka perlu disepakati terlebih dahulu siapa yang berstana di sana. 

“Ini sesuai dengan kesepakatan. Ista Dewata mana yang mau kita stanakan. Misalkan di Pura Dalem, tentu Ista Dewata yang distanakan adalah Bhatari Durga. Di Bale Agung ada Ida Begawan Penyarikan. Jadi sesuai dengan Ista Dewata yang kita kehendakan di bangunan suci itu,” papar Ida Pandita Mpu Eka Sandhi Dhaksa Dharmita Manuaba.

Selain itu, hal lain yang perlu disepakati sebelum melaksanakan upacara Ngenteg Linggih yaitu perihal padewasan atau pemilihan hari baik yang merupakan hal yang sangat krusial dalam budaya Hindu. Dalam pemilihan dewasa (hari baik) ini, terdapat dua hal yang menjadi faktor utama, yaitu sasih dan pawukon. Nantinya, selain menjadi hari baik untuk melaksanakan Ngenteg Linggih, juga akan menjadi hari tetap untuk piodalan selanjutnya di pura tersebut. 

Dalam hal ini, sasih yang dianggap baik untuk mengadakan upacara Ngenteg Linggih yakni sasih Kasa, Katiga, Kapat, Kalima, dan Kadasa. Sebaliknya, sasih yang dihindari untuk pelaksanaan upacara Ngenteg Linggih ini yaitu Jyesta Asada, yang dianggap sebagai sasih yang paling tidak bagus dalam setahun kalender Bali. 

Yang pasti, pelaksanaan Ngenteg Linggih merupakan sesuatu yang wajib dilakukan umat Hindu saat membuat bangunan suci. “Wajib hukumnya bagi umat Hindu, terutama di Bali, untuk melaksanakan upacara Ngenteg Linggih ini. Sebab, kalau suatu bangunan suci tidak dilakukan upacara Ngenteg Linggih ini, bisa jadi bangunan tersebut akan dihuni oleh makhluk-makhluk lain, dalam hal ini makhluk astral,” lanjut Ida Pandita Mpu Eka Sandhi Dhaksa Dharmita Manuaba.

Faktor yang diucapkan oleh Ida Pandita ini juga menjadi acuan untuk tenggang waktu pelaksanaan upacara Ngenteg Linggih. “Ada tenggang waktunya, minimal itu tiga tahun. Dalam waktu tiga tahun setelah dibangun mesti harus diupacarai dengan upacara Pengenteg Linggih,” jelasnya.*cr74

Komentar