nusabali

Pasutri Usia Lanjut Ini Memilih Bertahan Tinggal di Gubuk Reot Tengah Kota Denpasar

  • www.nusabali.com-pasutri-usia-lanjut-ini-memilih-bertahan-tinggal-di-gubuk-reot-tengah-kota-denpasar

DENPASAR, NusaBali
Pasangan suami istri I Nyoman Selat, 100, dan Ni Made Manis, 80, asal Desa Bungaya Kauh, Kecamatan Bebandem, Karangasem memilih tetap tinggal di sebuah gubuk reot di tegalan Jalan Badak Sari, Desa Sumerta Kelod, Denpasar Timur.

Keduanya memilih hidup sederhana karena tidak ingin merepotkan keluarga dan 4 orang anaknya yang saat ini sudah berkeluarga.


Mereka dulunya tinggal dengan mengasuh 4 orang anak tirinya dari istri pertama kakek Selat yang saat itu masih memiliki rumah di Banjar Kayu Manis, Kelurahan Dangin Puri Denpasar Timur.

Namun, karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan tubuh kakek dan nenek ini sudah renta, keduanya memilih untuk membuat rumah di salah satu tegalan yang diizinkan oleh pemilik tanah ditinggali karena tidak mau merepotkan keluarganya. Nenek Manis mengaku sudah tinggal di kebun salah satu warga Desa Yangbatu Kangin ini sejak 30 tahun lalu.

NusaBali yang berkunjung kemarin, melihat tempat tinggal pasutri usia renta ini memang jauh dari kata layak. Rumah tampak terbuat dari triplek dengan atap seng dan disangga kayu-kayu bekas yang sudah rapuh.

Di dalam rumah tersebut hanya terlihat beberapa keranjang ayam, kursi, kasur dan baju-baju yang tergantung lusuh. Bahkan halaman rumahnya layaknya tegalan yang ditumbuhi pohon pisang dan rumput yang menjulang dengan rongsokan yang tersusun menggunakan tas kampil. Di areal rumah tersebut juga tidak terlihat toilet, hanya ada satu lampu penerang dengan listriknya didapat dari tetangganya di seberang tegalan tersebut.

"Saya punya keluarga di Karangasem, saya di sini membesarkan 4 anak tiri dua cewek dua cowok sama suami. Mereka sudah menikah, saya tidak mau membebankan mereka, karena mereka juga bekerja hanya sebagai pembuat bahan upacara 'ceper' jadi biarinlah mereka di rumah. Saya tinggal berdua, suami saya sudah tidak bisa melihat (terjemahan bahasa Bali, red)," ucap nenek Manis.

Kata nenek Manis, hidup mereka berdua bergantung pada tetangga yang setiap saat memberikan makanan maupun uang untuk sekedar membeli beras. "Kadang-kadang saya makanan nasi dikasih sama Bu Jero (tetangganya, red) ada juga yang ngasih saya telur, ada yang ngasih saya uang Rp 100 ribu. Banyak yang membantu saya, dulu baru saya kerja tapi sekarang sudah tidak bisa. Kalau lampu saya satu saja, kalau dimatikan ditetangga ya gelap-gelapan. Biarin sajalah sudah biasa seperti ini," ujar nenek Manis dengan wajah yang terlihat selalu ceria.

Nenek Manis mengaku akan lebih memilih hidup berdua bersama suaminya sampai akhir ajal menjemput mereka. Sebab, tempat tersebut sudah puluhan tahun mereka tempati berdua dengan suaminya. Walaupun memiliki keluarga di Karangasem dia mengaku lebih memilih hidup seperti saat ini.

"Punya keluarga di Bungaya memang asal suami saya di Karangasem, saya di Kayu Mas sudah mebanjaran di sini. Kalau di Karangasem tidak mau tinggal di sana kasihan keluarganya repot, kami sudah tua nanti repot ngurusin kami. Paling saya kalau Galungan jalan kaki ke pura di Banjar Kayu Mas saja sendiri jalan kaki," ucapnya.

Kepala Dusun Badak Sari, Ketut Armunata saat dikonfirmasi, mengatakan sebenarnya sudah banyak pihak yang mau membantu pasutri berusia lanjut, I Nyoman Selat dan Ni Made Manis. Namun keduanya selalu menolak. Pemilik tanah juga sudah mengizinkan rumah reot itu untuk diperbaiki dengan bedah rumah, namun keduanya tetap menolak untuk menerima bantuan tersebut.

Armunata juga menyebut pihaknya sejak dulu sudah memberikan perhatian, bahkan dari awal pembagian sembako Covid-19 yang diberikan pertama kali diberikan adalah nenek Manis dan suaminya. "Sudah banyak pihak termasuk Dinas Sosial sudah membantu tetapi selalu menolak. Dia lebih memilih hidup seperti ini, dia memang selalu ceria. Tapi jangan bilang kami tidak perhatian, kami sudah berupaya dan selalu memperhatikan mereka," ungkapnya. *mis

Komentar