nusabali

Makin Meriah Bali

  • www.nusabali.com-makin-meriah-bali

Banyak orang bilang, kalau tidak meriah, bukan Bali namanya.

Aryantha Soethama

Pengarang


Tapi, belakangan kemeriahan yang dipertontonkan Bali kian bergulung-gulung, ibarat ombak samudra yang menjulang, lalu terhempas ke pantai sampai jauh menyentuh bibir sawah dan semak-semak. Kemeriahan Bali ibarat gedung pencakar langit, berlomba mempercantik diri dan mendongak angkasa.

Di Bali kemeriahan itu tak mengenal kata berhenti, selalu ada kemeriahan baru. Karena Bali dikenal penggerak kesenian, kemeriahan-kemeriahan itu pun pasti menyangkut tentang berkesenian. Yang paling menonjol adalah seni pertunjukan. Dulu, pertunjukan kesenian Bali selalu tampil sederhana. Tari-tarian, kendati mengenakan busana pentas yang khusus, selalu tampil sederhana. Tampil kesan berbinar, namun penempatannya tertentu, tersendiri.

Gelungan (mahkota) dibuat berwarna emas untuk menunjukkan keanggunan, bukan semata kemeriahan. Warna-warna perada dalam busana pentas, untuk mempertontonkan keindahan dan kejayaan, bukan melulu keramaian atau ingar bingar. Karena itu harus jelas mana saja pemeran yang patut memerankan busana emas itu. Para punakawan, punta dan wijil dalam pertunjukan arja misalnya, tetap menggunakan pakaian kerakyatan.

Lihatlah pakaian punakawan wijil yang mengenakan kaos oblong, dulu merek Swan, kaos katun paling halus. Make up pun sederhana, wajah dengan colekan kapur putih (pamor) di pelipis. Gerak tari pun sederhana, tidak perlu meriah, tapi santai, bergerak lamban kiri-kanan, tak usah menyentak. Yang penting dengan bahasa tubuh wijil tampil jenaka, tidak meriah, harus sederhana, karena dia parekan (punakawan).

Sekarang kesederhanaan wijil disulap jadi kemeriahan. Dia didandani, pakaiannya terbuat dari beludru dengan sulaman emas. Rias wajahnya meriah, dibuat seperti rias tukang pengocok perut dalam drama gong. Kainnya dari kain mahal, sehingga wijil menjadi parekan mewah. Destarnya berhiaskan perada, sehingga tak lagi ia mengesankan parekan, tapi tokoh yang petantang-petenteng di panggung memancing tawa.

Cobalah juga tengok pagelaran wayang kulit. Dulu, sumber cahaya wayang bersumber dari belencong, lampu minyak, sekarang dari listrik dengan permainan cahaya lampu berkedip-kedip ganas. Ada permainan silhuet diproyeksikan di kelir, ditimpa cahaya berbinar-binar seperti di diskotek. Meriah, sungguh meriah. Tapi tidak sederhana, sama sekali tidak. Wayang kulit kini menjadi pertunjukan sangat meriah, mewah, karena memanfaatkan kecanggihan teknologi. Ketika ada adegan yang menceritakan tokoh-tokoh dalam perjalanan, sinar disko berkelebat, gambar-gambar nyata dipantulkan ke kelir, seakan-akan tokoh-tokoh wayang itu bepergian di alam nyata, di Gunung Himalaya, misalnya. Penonton bertepuk tangan riuh, bersuit-suit gembira menyambut adegan dan lompatan-lompatan cahaya itu, yang mereka sebut sebagai penemuan baru.

Pasti ada latar belakang dan penyebab mengapa orang Bali senang sekali pada kemeriahan. Lihatlah ukiran-ukiran masa kini yang rumit (orang Bali menyebutnya renyeb atau rimbit), meriah, tidak seperti ukiran zaman dulu yang sederhana. Pada sekian bangunan kuno, pintu-pintu tua di rumah lawas, masih menyisakan perjalanan seni ukir Bali zaman dulu yang sederhana, karena itu sangat anggun. Sekarang, ukir-ukiran berupaya menampilkan sosok yang luar biasa, hebat tak terkatakan, namun terasa hampa. Bangunan-bangunan berarsitektur Bali kini berhias ukiran-ukiran rimbit itu, namun terasa gamang. Mungkin bangunan Bali itu sejatinya sederhana, sehingga kalau dimeriahkan dengan ukiran rimbit ia menjadi arsitektur yang petantang-petenteng.

Kemeriahan itu juga tampil setiap menjelang Galungan. Banyak orang Bali menancapkan penjor yang luar biasa meriah, harganya berjuta-juta, sehingga disebut sebagai penjor mewah yang jor-joran. Muncul kesan, orang Bali ngegalung sekarang semakin meriah. Dulu para wanita ke pura, menghaturkan sesaji, mengenakan kain handuk dililitkan di dada, kini kaum wanita ke pura bermobil, berkebaya anyar transparan sehingga kutang mereka tampak, agar payudara menyembul menantang meriah. Dulu orang Bali merayakan Galungan dengan sederhana, kini dengan kemeriahan dan kemewahan.

Untuk membaca lontar orang Bali merasa harus tampil meriah. Mereka naik panggung membaca aksara suci, berkebaya dan berkain bagus. Pakaian indah meriah ini oleh orang Bali disebut sebagai pakaian mecenes (necis), bersih, rapi, juga berarti meriah, indah, mengesankan, dan tak sembarang orang bisa mengenakannya. Mereka harus berduit membeli busana mecenes itu, tak peduli dari uang pinjaman.

Dulu, orang Bali membaca lontar, tembang-tembang, aksara suci dalam hening, dalam suci sepi, tidak perlu tampil khusus. Namun, mana mungkin membaca tanpa ngomong ini ditampilkan di panggung? Masak naik ke panggung baca lontar dalam hati, hanya mengenakan kaos oblong? Siapa sudi menonton? Tapi, apakah menembang, membaca kisah-kisah suci, harus ditonton? *

Komentar