nusabali

Belajar dari Tri Hita Karana dan Subak Abian di Bali

Keharmonisan untuk mewujudkan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan

  • www.nusabali.com-belajar-dari-tri-hita-karana-dan-subak-abian-di-bali

Pertanian berkelanjutan yang bertumpu pada dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan kian menjadi paradigma pola pembangunan pertanian saat ini. Namun, masih terdapat berbagai masalah yang ditemukan dalam implementasinya di Indonesia, salah satunya degradasi lingkungan yang turut berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi masyarakat.

Penulis : Medina Savira
Mahasiswa Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung

Di tengah kegelisahan ini, ada kisah menarik yang bisa kita pelajari dari Subak Abian di Bali. Subak Abian adalah organisasi petani tradisional di Bali yang menganut filosofi Hindu "Tri Hita Karana", suatu filosofi keseimbangan hidup yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan antar manusia (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Berbagai ritual keagamaan mereka lakukan untuk menjaga keseimbangan hubungan tersebut. Mereka percaya bahwa alam adalah sesuatu yang harus dijaga, maka mereka selalu berusaha menggunakan bahan-bahan organik, bahkan jauh-jauh hari sebelum konsep pertanian berkelanjutan digagas. Gotong royong pun menjadi tradisi yang melekat dalam kelompok Subak Abian. Kebersamaan yang mereka miliki memudahkan proses pembelajaran yang bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah pertanian. 

Mendengar kisah Subak Abian beserta filosofi Tri Hita Karana yang melandasinya seperti mendengar harapan baru untuk menjaga keberlanjutan sektor pertanian di perdesaan. Selama ini, kita seringkali melupakan dimensi ekonomi dan dimensi sosial dalam mendorong pertanian berkelanjutan, seolah-olah kata ‘berkelanjutan’ hanya milik lingkungan, atau mungkin sebaliknya. Kita seharusnya belajar dari Subak Abian di Bali bahwa untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan diperlukan keselarasan antara ketiga dimensi. Nilai sosial yang dimiliki Subak Abian turut menjadi modal untuk mengembangkan organisasinya menjadi lebih besar lagi dan mencapai tujuan yang lebih besar, salah satunya pembangunan ekonomi. 

Lantas, pertanyaannya bagaimana kita mengimplementasikannya? Secara sederhana, mungkin orang-orang akan beranggapan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan dapat diimplementasikan oleh setiap petani sesuai kepercayaan yang dianut, hubungan harmonis antar manusia dapat diimplementasikan dengan mengadakan pertemuan rutin, serta hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan dapat diimplementasikan dengan menerapkan metode yang ramah lingkungan dalam bertani. Namun, ketiga hal yang terdengar sederhana itu sebetulnya memerlukan hal yang lebih mendasar lagi. Para gapoktan dan pemerintah di daerah lain harus belajar dari Subak Abian di Bali. Kunci utama untuk mengimplementasikan pelajaran dari Subak Abian adalah menghadirkan agent of change untuk menanamkan pola pikir bahwa konsep pertanian berkelanjutan itu penting untuk diterapkan serta keselarasan ketiga dimensi sangat dibutuhkan untuk mewujudkannya. Pertanyaan berikutnya, siapa agent of change itu? Jawabannya adalah petani muda. Kita tidak bisa terus menerus bergantung pada petani tua. Chittoor & Mishra dalam tulisannya yang berjudul “Agricultural Education for Sustainable in Developing Countries: Challenges and Policy Options” juga menyebutkan bahwa peran pemuda perdesaan dalam mendukung pembangunan perdesaan berkelanjutan melalui sektor pertanian itu penting, tetapi para pemuda seringkali tidak memiliki akses pendidikan yang baik dibandingkan dengan pemuda di perkotaan.

Proses menciptakan agent of change mungkin memang memakan waktu yang tak sebentar, tetapi harapannya agen perubahan ini siap terjun untuk membawa perubahan pada masyarakat perdesaan ketika para petani tua sudah waktunya beristirahat. Pemerintah, universitas, dan pihak terkait harus bekerjasama untuk mendorong lahirnya para petani muda, salah satu caranya mendorong lahirnya agripreneur muda di perdesaan. Petani yang tidak hanya menggarap lahan saja, tetapi juga fokus mengembangkan hilir kegiatan pertanian. Hal ini diperlukan untuk menarik minat para generasi muda untuk terjun dalam sektor pertanian. Pemerintah bersama pihak terkait dapat menyelenggarakan pembinaan bagi Agripreneur mengenai ilmu mengenai pertanian yang ramah lingkungan, pembinaan karakter, kerjasama, dan kepemimpinan. Dengan adanya agripreneur yang hadir di setiap desa, diharapkan dapat menyebarkan pengetahuan serta mempraktekkan cara bertani yang ramah lingkungan dan mendorong penciptaan produk olahan yang bernilai tambah. Ketika nilai produk pertanian bertambah, maka kesejahteraan petani akan ikut meningkat. Agripreneur perlu melakukan kerjasama dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat untuk bisa membangun semangat baru dalam mengembangkan pertanian berkelanjutan. Gotong royong merupakan tradisi yang umum dijumpai di perdesaan di Indonesia. Tradisi tersebut harus tetap dijaga dengan melaksanakan kegiatan sosial yang rutin sehingga keterikatan satu sama lain dan rasa percaya dapat terbangun. Selain kegiatan sosial, kegiatan yang berkait dengan kebudayaan pertanian juga dapat diimplementasikan untuk meningkatkan keterikatan hubungan manusia dengan Tuhan, salah satunya seperti di Yogyakarta, yang memiliki upacara ritual sebagai bentuk ungkapan rasa syukur para petani kepada Sang Penguasa Alam. Adanya keterikatan masyarakat yang terbangun melalui kegiatan sosial budaya diharapkan akan mempermudah proses pembelajaran yang berlangsung di dalam kelompok.

Banyak hal yang bisa kita petik dari kisah Subak Abian di Bali untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan di perdesaan. Subak Abian di Bali menunjukkan betapa harmonisnya hubungan antara Sang Pencipta, alam, dan manusia untuk mendukung pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Menghadirkan agent of change untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan mungkin terdengar seperti ide yang utopis. Namun, dengan adanya kolaborasi antar aktor yang dibalut oleh kegigihan dan kepercayaan, ide tersebut akan menjadi realistis dan dalam kurun waktu 10 tahun ke depan kita bisa menyaksikan indahnya keberlanjutan pertanian di perdesaan.*

*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar