nusabali

Covid-19, Ujian Taksu Sasih Kedasa

  • www.nusabali.com-covid-19-ujian-taksu-sasih-kedasa

Tak ada obat ampuh untuk penyembuh wabah penyakit membumi ini, kecuali pageh ngambel kasusilaning budhi (kuat memegang kebenaran nurani).

SEJAK lampau para tetua Bali meyakini sasih Kedasa, sasih ‘sakti’. Sasih ini tak sekadar satuan perhitungan bulan menurut wariga (kalender Bali). Kedasa amat dikenal sebagai jeda dengan membawa penanda bahwa alam telah kedas (bersih), terbebas dari cemar, leteh, dan segala penyakit sirna. Pikiran pun terang gemilang.

Namun makna kedasa itu tak terwujud nyata pada Kedasa tahun 2020. Sasih Kedasa dimulai pada Buda Kliwon Pahang, Rabu (25/4) sampai Buda Pon Medangkungan, Rabu (22/4), atau Tilem Kedasa. Pada jeda ini, penyakit yang amat mengerikan dan terbukti membunuh banyak nyawa di belahan bumi, Covid-19 atau Corona, malah makin ganas. Data dari Pemprov Bali, Sabtu (25/4), warga di Bali positif terpapar Coronavirus 183 orang. Angka ini akumulasi dari tambahan kasus dari hari ke hari sejak sebuan terakhir.

Penekun sastra Weda asal Desa Satra, Kecamatan Klungkung, Klungkung, I Dewa Ketut Soma mengakui

dari perhitungan sasih menurut wariga Bali, sasih Kedasa berarti kedas (bersih), murni tanpa leteh. Karena puncak dari semua leteh telah dibersihkan dengan Tawur Kesanga pada Tilem Sasih Kesanga. Karena Kesanga puncak dari kumpulan segala mala (kekotoran), gering, sasab (wabah), merana (penyakit). Kesanga atau sembilan diyakini sebagai angka tertinggi.

Namun untuk tahun 2020, sasih Kedasa yangg ngunya adalah Kesanga, sehingga pengunyaan ini sangat memengaruhi dan mendominasi sifat sasih Kedasa hingga beraura panas. Penyakit pun merajalela, salah satunya Covid-19. Sedangkan setelah Kedasa adalah sasih Jyestha ngunya Kedasa yang dapat memberikan aura positip untuk  meredakan merana Covid-19 dari alam semesta.

Menurutnya, dalam konsep teologi Hindu Bali, meski Covid-19 ini sangat mewabah, tentu bukan karena Hyang Widhi duka (marah). Hyang Widhi tetap kasih dan tak ada memberikan kutuk atau pun pastu. ‘’Yang ada adalah siklus alam, seperti siklus tanaman berbunga, berbuah, dan sebagainya. Siklus ini harus diterima karena siklus ini yang membuat kehidupan semesta bergerak,’’ jelas penggiat Panca Yadnya ini.

Terkait maraknya umat di Bali yang menghalau Corona dengan pelbagai ritual, Dewa Soma menjelaskan,  Ida Bhatara-bhatari sih (beranugerah) atau tidak, terkait masih maraknya wabah Covid-19, tentu relatif. Apalagi  muncul fenomena ritual dilaksanakan karena masih banyak ditunggangi oleh kepentingan di luar pemaknaan mayadnya. Selian itu, kebanyakan yadnya siap saji  sehingga tak sanggup membuat alam dan isinya dayuh (sejuk). Karena Widhi meneng, bhuta munggah, sebagaimana tersurat dalam lontar Rogha Sanghara Bumi. Dalam lontar ini ditegaskan, tatkala pergantian gumi kali, dewata meninggalkan dunia tengah (bhatara meneng), diganti oleh bhuta (bhuta munggah), penyakit menular, wabah tiada henti, mantra pengobatan punah, pendeta bingung, weda mantra kehilangan esensi. ‘’Solusi terbaik, lakukan ritual dengan tulus dan pesaja (sungguh-sungguh). Jangan dihias dan dimuati dengan kepentingan lain. Upakara, gunakan bahan alami jangan yang imitasi dan zat kimia lainnya. Jika ini bisa dilakukan maka Widhi asung dan bhuta sih,’’ jelas ASN di Dinas Kebudayaan Klungkung ini.

Wabah Covid-19 yang melanda dunia, menurut Dewa Soma, jangan menyalahkan alam, apaladi  Tuhan. Karena munculnya penyakit seperti ini karena ulah manusia. Manusia dapat menilai sebagai sebuah ‘kecelakaan’ teknologi. Namun kalau tida ada wak-wakan niskala (kelonggaran secara spiritual), tak mungkin wabah ini meluas. Semua ini bagian dari keselarasan kosmik yang selaras dengan hukum rta. Siklus ini datang agar manusia melakukan puja tulus, yadnya pasaja, sebagai usaha berkomunikasi dengan alam. Dengan puja dan yadnya, maka zat dan elemen alam akan bekerja merespon menyelaraskan puja dan yadnya manusia.

Dalam perspektif Hindu, jelas Dewa Soma, yang patut dilakukan adalah lebih banyak bersyukur dari pada mengeluh. Sayangi alam seperti menyayangi diri sendiri, jangan dieksploitasi terus tanpa pernah merawat. Covid-19 sendiri merupakan bagian dari proses semesta. Yang patut dilakukan yakni mulat sarira (introspeksi diri), dimana salah atau kurang. ‘’Kita percaya Covid-19 ini akan berakhir, karena ada saat muncul, ada masa berkuasa dan jaya, ada saat berakhir. Dunia sedang dalam proses pemurnian, dalam masa ganti kali gumi, menuju keadaban sejati. Mari bersama sadar tentang pemaknaaan hakiki dari memelihara alam agung (semesta raya) dan alam alit (karang awak), karena kita bagian dari alam agung ini,’’ tegasnya.

Untuk menghadapi wabah ini, kata Dewa Soma, tidak ada lagi selain selalu membudayakan hidup bersih sesuai protap protokol kesehatan yangg dikeluarkan pemerintah. Belajar terus untuk mendisiplinkan diri. Kurangi rasa panik berlebihan, sabar, doa tiada henti. Karena tak ada obat ampuh untuk penyembuh wabah membumi ini, kecuali pageh ngambel kasusilaning budhi (kuat memegang kebenaran nurani).*lsa

Komentar