nusabali

Ngelawang Sang Hyang Penyalin ke Rumah-rumah

Upaya Niskala Banjar Giri Loka, Desa Pancasari Antisipasi Covid-19

  • www.nusabali.com-ngelawang-sang-hyang-penyalin-ke-rumah-rumah

SINGARAJA, NusaBali
Krama Banjar Adat Giri Loka, Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng kembali menggelar ritual nedunang (menurunkan) Sang Hyang Penyalin pada Saniscara Kliwon Krulut, Sabtu (4/4) petang.

Sang Hyang Penyalin yang berstana dalam kayu rotan ini katedungan (diturunkan) untuk ngelawang (keliling) wewidangan banjar) dan ke rumah-rumah krama, sebagai upaya niskala menetralisir pandemi Covid-19.

Ritual ngelawang Sang Hyang Penyalin petang itu diawali dengan upacara mapiuning di Pura Melanting, Desa Adat Pancasari. Sebelum mapiuning, krama banjar yang ngiringang Sang Hyang Penyalin lebih dulu berkumpul di Bale Banjar Giri Loka, yang lokasinya tepat di perbatasan Kabupaten Buleleng (sisi utara) dan Kabupaten Tabanan (sisi selatan). Kemudian, mereka nedunang Sang Hyang Penyalin dari Pura Dalem Dasar, Desa Adat Pancasari.

Setelah mapiuning di Pura Melanting, barulah dilakukan ritual ngelawang ngiring Sang Hyang Penyalin keliling banjar. Ritual ngelawang Sang Hyang Penyalin dipilih waktu yang tepat saat sandikala, pergantian dari sore menuju malam, Sabtu petang pukul 18.00 Wita. Berbeda dari biasanya, krama yang ikut ngelawang Sang Hyang Penyalin kali ini dibatasi tidak lebih dari 20 orang.

Saat ritual ngelawang, krama pengiring Sang Hyang Penyalin melantunkan kekidungan khusus Tarian Sang Hyang untuk mengiringi Sang Hyang Penyalin masolah (menari). Ada dua batang rotan yang merupakan simbol Sang Hyang Penyalin lanang-istri (laki-perempuan) dipegang oleh krama pengiring yang ngayah menarikan Sang Hyang Penyalin.

Dua rotan yang panjangnya masing-masing 2 meter, simbolik lanang-istri yang merupakan stana Sang Hyang Penyalin, mulai meliak-liuk ketika digetarkan. Rotan yang awalnya lentur, begitu mendapat kekuat-an magis dari kidung yang dinyanyikan, mendadak jadi keras dan bergerak kesana kemari, dipegangi oleh krama yang ngiring (menarikannya).

Ketika diyakini sudah ditempati Sang Hyang Penyalin, rotan yang dimainkan dua krama tersebut bergerak ngelawang ke rumah-rumah warga hingga di gang sempit, pertigaan, sampai dan Catus Pata (perempatan agung) Desa Pancasar.

Saat Sang Hyang Penyalin ngewalang ke rumah-rumah krama, disertai dengan ritual memercikkan tirta (air suci) oleh pamangku, yang dipercaya dapat menangkal Covid-19 (virus Corona) dan menetralisir wewidangan (wilayah banjar) dari berbagai wabah. Sementara, krama yang sudah menunggu di rumah masing-masing, semua menyiapkan haturan berupa canangsari dan segehan putih kuning di depan pintu pagar.

Kelian Sekaa Sang Hyang Penyalin Puspa Mandala Giri, Desa Adat Pancasari, Gede Adi Mustika, mengatakan nyolahang Sang Hyang Penyalin dengan ngelawang ke rumah-rumah krama merupakan upaya niskala untuk antisipasi penyebaran wabah Covid-19 yang sedang melanda saat ini. Terlebih, Sang Hyang Penyalin sudah disungsung krama setempatm, khususnya di Dusun Lalanglinggah, Desa Pancasari, sejak dahulu kala dan dipercaya dapat menentralisir kabrebehan gumi.

“Kami merasa terketuk hati untuk ngiringang Ida Hyang Taksu (Sang Hayng Penyalin, Red). Kebetulan, hari ini (Sabtu) adalah Tumpek Krulut dan ada pujawali di Pura Taksu. Maka, waktunya sangat tepat untuk ngelawang Sang Hyang Penyalin,” ujar Gede Adi Mustika yang petang itu didampingi Kepala Dusun (Kadus) Lalanglinggah, Kadek Arik Arditha.

Menurut Adi Mustika, tradisi ngelawang Sang Hyang Penyalin saat terjadi kabrebehan gumi ini tersurat dalam Lontar Nityakala. Berdasarkan keyakinan warga Dusung Tegallinggah, khususnya krama Banjar Adat Giri Loka, Desa Pancasari, Tari Sakral Sang Hyang Penyalin sudah ada sejak ratusan tahun silam. Tarian sakral ini wajib dipentaskan pada Tilem Kanem (bulan mati ke-6 sistem penanggalan Bali), tepat saat sandikala, yang merupakan musim Pancaroba ketika wabah penyakit datang. Tujuannya, untuk menyomiakan bhuta kala.

Tari Sang Hyang Penyalin sudah ada di Desa Pancasari sejak tahun 1803. Namun, tarian sakral ini hidup lagi setelah dibawa kembali oleh krama asal Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem yang merantau ke Desa Pancasari sekitar tahun 1958. Tarian Sang Hyang Penyalin dipercaya sebagai sarana penolak bala saat musim Pancaroba. Tarian sakral ini selalu ditampilkan pada Tilem Kaenem (bulan mati keenam sistem penanggalan Bali),

Rotan (penyalin) yang digunakan dalam Tari Sang Hyang Penyalin merupakan satu tumbuhan yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Tapi, tidak bisa sembarangan sembarangan cari rotan untuk Sang Hyang Penyalin. Harus dicari melalui dewasa ayu (hari baik). Rotan yang dipilih haruslah hanya tumbuh satu batang dan ujungnya mengarah ke tenggara.

Biasanya, rotan untuk Sang Hyang Penyalin ini dicari di hutan kawasan Desa Pancasari. Rotan yang telah terpilih kemudian diberi lilitan benang tri datu pada pangkalnya, sedangkan di bagian ujungnya diikatkan gongseng dan dedaunan untuk menandai sebagai bagian atas. Rotan yang panjangnya sekitar 2 meter itu kemudian dipasupati (diisi energi) sebelum ditarikan.

Selain menggunakan rotan sebagai media penghubung antara manusia dengan Dewa, Tari Sang Hyang Penyakin ini masih menggunakan kekidungan sebagai pengiring saat ditarikan. Jadi, sesolahan sakral Sang Hyang Penyalin tidak menggunakan iringan gambelan (tabuh).

Menurut Adi Mustika, Sekaa Sang Hyang Penyalin yang secara sukarela ngayah ngiringang Sang Hyang Penyalin, lebih dulu wajib melaukan prosesi nedunang taksu lanang-istri dari Pura Dalam Dasar, Desa Adat Pancasari. Barulah kemudian diikuti prosesi mapiuning di Pura Melanting.

Tidak ada kriteria khusus bagi krama yang ngiring nyolahang Sang Hyang Penyalin dengan memegang batang rotan sepanjang masing-masing 2 meter. “Siapa saja boleh ngiringang ida saat akan masolah (menari),” tegas Adi Mustika.

Sementara itu, Kepala Dusun (Kadus) Lalanglinggah, Desa Pancasari, Kadek Arik Arditha, mengatakan secara sekala pihaknya sudah melakukan upaya rutin pencegahan Covid-19 di wilayahnya, dengan penyemprotan disinfektan. Upaya sekala disertai pula upaya niskala dengan ngelawang Sang Hyang Penyalin.

Kadek Atik Arditha optimistis upaya sekala dan niskala yang ditempuh ini dapat mengalahkan Covid-19. “Kita tahu bersama wabah Covid-19 ini terjadi hampir di seluruh dunia. Kita sudah upayakan dengan berbagai cara. Mudah-mudahan, virus Corona ini segera berlalu,” harap Arditha. *k23

Komentar