nusabali

Krama Diminta Ngayat dari Rumah Masing-masing

Saat Upacara Bhatara Turun Kabeh Besakih dan Ngusabha Kadasa Batur

  • www.nusabali.com-krama-diminta-ngayat-dari-rumah-masing-masing

DENPASAR, NusaBali
Sasih Kedasa setelah perayaan Nyepi Tahun Saka 1942 menjadi dewasa ayu atau hari-hari baik bagi masyarakat Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara Panca Yadnya.

Namun, menyikapi situasi penyebaran Covid-19 di Indonesia khususnya di Bali, upacara Panca Yadnya diimbau dilaksanakan dengan peserta dalam jumlah terbatas. Bahkan pada dua upacara besar yang akan digelar pada sasih Kedasa, yakni upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih dan Ngusabha Kadasa di Pura Ulundanu Batur hanya akan melibatkan krama adat setempat.

Untuk upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih akan melibatkan krama Desa Adat Besakih. Demikian pula upacara Ngusabha Kadasa di Pura Batur hanya akan dilaksanakan oleh krama Desa Adat Batur, Kintamani, Bangli. Pelaksanaannya pun digelar hanya a wuku atau selama tujuh hari. Saat pelaksanaan juga diharapkan menjaga jarak atau physical distancing minimal 1,5 meter.

Sedangkan masyarakat umum yang biasanya ramai akan nangkil ke dua pura besar di Bali tersebut untuk tahun ini hanya diperkenankan untuk ngayat dari merajaan atau sanggah masing-masing. Hal tersebut diputuskan dalam Keputusan Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Sabtu (28/3).

“Untuk umat yang ingin nangkil ke Pura Besakih atau Pura Batur saat ini cukup dulu dengan ngayat dari rumah masing-masing. Upacara tetap berlangsung dan hanya dilaksanakan oleh prajuru serta krama adat Besakih dan Batur. Untuk di Batur, jika krama subak ingin menghaturkan suwinih (hasil bumi) ke Pura Batur agar diwakili maksimal 2 orang saja,” terang Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana MSi, usai rapat soal Keputusan Bersama tersebut di kantor PHDI Bali, Sabtu kemarin.

Ketentuan ini juga berlaku terhadap upacara di pura selain pura Kahyangan Jagat yang piodalan selama sasih Kedasa sampai perkembangan kasus covid-19 mereda.

Dijelaskan, untuk upacara di pura selain Kahyangan Jagat hanya melibatkan pangempon pura setempat. Melasti dilakukan secara ngubeng, begitu pula waktu pelaksanaan upacara paling lama tiga hari, serta tidak diiringi dengan seni wali seperti gamelan, tarian, topeng, baris, rejang, dan sebagainya. Umat atau masyarakat juga diminta untuk ngayat dari rumah masing-masing.

“Karena larangan dari pemerintah saat ini jangan menghadiri keramaian dan jangan menghadirkan orang banyak untuk mencegah penyebaran covid-19. Supaya jangan sampai nanti karena ketidaktahuan umat dan pengempon pura, nanti dipermasalahkan oleh hukum. Sehingga upacara tetap berjalan baik, kita tetap ikuti larangan pemerintah, dan umat terhindar dari penyebaran virus corona,” terang tokoh yang juga Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa (dulu IHDN) ini.

Sasih Kedasa juga banyak digunakan oleh masyarakat Bali untuk melangsungkan pawiwahan (pernikahan). Prof Sudiana mengimbau, sebaiknya pelaksanaan nganten ditunda. Pada prinsipnya, dalam keputusan bersama tersebut upacara yang bersifat ngwangun atau direncanakan sebaiknya ditunda hingga status pandemic covid-19 dicabut. Namun, jika harus dilaksanakan, maka diutamakan menggelar upacara alit (kecil), yakni upacara inti dari pernikahan tersebut. Sedangkan resepsi ditunda hingga waktu yang lebih memungkinkan.

“Silakan upacara alit dengan metanjung sambuk saja, disaksikan prajuru dan keluarga dalam jumlah terbatas. Tapi untuk resepsinya ditunda dulu. Sasih Kapat kan masih ada itu. Kalau dilihat di kalender, sebenarnya di sasih ini tidak ada dewasa ayu nganten,” ucapnya, sembari menyebut upacara nelubulanin dan otonan juga dilakukan dengan peserta yang dibatasi.

Sedangkan untuk upacara Pitra Yadnya (ngaben) juga dilakukan dengan peserta terbatas. Apabila meninggal karena positif covid-19, maka jenazah harus dikremasi atau mekingsan ring gni langsung sesuai protap kesehatan. Keluarga boleh mengikuti dan menyaksikan, namun tetap mengikuti protap pemerintah.

“Keputusan Paruman, kalau ada yang meninggal karena corona, itu dikremasi sesuai dengan protap kesehatan covid-19. Keluarga tetap boleh menyaksikan, tetapi tetap mengikuti protap dari pemerintah. Tidak boleh melanggar sama sekali. Dan itu dilakukan secara sederhana, baik di tempat kremasi ataupun di setra masing-masing,” jelas akademisi asal Banjar Santi, Desa/Kecamatan Selat, Karangasem tersebut.

Sementara untuk jenazah yang tidak positif corona, diperbolehkan melakukan pengabenan biasa namun dengan pelaksana yang terbatas. Termasuk dilarang menghadirkan undangan dan menggunakan ilen-ilen (tabuh gamelan dan sebagainya), mapeed, serta arak-arakan. Prof Sudiana juga meminta jika dalam satu hari ada beberapa upacara ngaben di satu setra, agar pelaksanaannya diatur, sehingga tidak menimbulkan ramai orang berkumpul.

“Misalnya satu setra bisa puluhan banjar. Nah, ini supaya jamnya diatur, agar tidak bersamaan. Semua selesai di setra. Yang menjadi saksi adalah prajuru dan keluarga yang meninggal. Kalau bisa dipendem, dipendem. Kalau memang harus kremasi, bisa dikremasi,” imbuh Prof Sudiana.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, menambahkan keputusan bersama ini diharapkan bisa mencegah penyebaran covid-19 di Pulau Dewata. “Intinya kita mencari jalan tengah. Bagaimana agar upacara Panca Yadnya tetap bisa dilaksanakan namun dengan tidak menimbulkan keramaian sesuai arahan pemerintah,” tandasnya. *ind

Komentar