nusabali

Tema Ki Kayu Curiga, Bahan dari Bambu hingga Jagung

Ogoh-ogoh Ramah Lingkungan dari Banjar Lebah Sari, Desa Gulingan

  • www.nusabali.com-tema-ki-kayu-curiga-bahan-dari-bambu-hingga-jagung

Di Banjar Lebah Sari, Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Badung juga ada  ogoh-ogoh ramah lingkungan lainnya yang viral lewat media sosial. Ogoh-ogoh hasil karya kelompok Dekorasi Bali Qui ini berbahan kelangsah dan daun rontal

MANGUPURA, NusaBali

Bukan hanya Sekaa Teruna (ST) Eka Kencana Banjar Kelingkung, Desa Lottunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar yang membuat ogoh-ogoh berbahan ramah lingkungan untuk Nyepi Tahun Baru Saka 1942. Langkah kreatif serupa juga dilakukan ST Dira Dharma Banjar Lebah Sari, Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Badung. Mereka bikin ogoh-ogoh dari bahan kayu, kulit kayu, bambu, pelapah kelapa, serabut kelapa, hingga biji jagung dan kacang ijo.

Ogoh-ogoh yang dibuat ST Dira Dharma Banjar Lebah Sari, Desa Gulingan ini bertema Ki Kayu Curiga. Undagi (arsitek) ogoh-ogoh Ki Kayu Curiga adalah I Gede Ngurah Panji, salah satu pemuda Banjar Lebah Sari, Desa Guliang.

Menurut Gede Ngurah Panji, ogoh-ogoh Ki Kayu Curiga ini terbuat dari bahan kayu, kulit kayu, bambu, pelapah kelapa, dan serabut kelapa. Ba-hkan, ornamen badong juga menggunakan bahan alami, seperti biji jagung dan kacang ijo.

Proses pembuatan ogoh-ogoh dengan tinggi 4,80 meter, lebar 2,40 meter, dan berat 60 kg ini melibatkan sekitar 60 teruna dari ST Dira Dharma. Pembuatan ogoh-ogoh dilakukan secara gotong oyong, sejak Januari 2020 lalu. Ogoh-ogoh ini nantinya akan diarak saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka 1942 tepat Tilem Kasanga, 24 Maret 2020 malam.

“Dari awal konsep kami memang bagaimana membuat ogoh-ogoh dengan menggunakan bahan yang ramah lingkungan. Jadi, bahan dasar yang kami gunakan adalah bambu, kayu, pelapah kelapa, dan serabut kelapa,” terang Ngurah Panji saat ditemui NusaBali di sela pembuatan ogoh-ogoh di Banjar Lebah Sari, Desa Gulingan, Jumat (13/3) siang.

Disebutkan, pembuatan ogoh-ogoh Ki Kayu Curiga berbahan ramah lingkinan ini menelan baya sekitar Rp 30 juta. Itu untuk pengadaan bahan dan sekadar untuk beli mimum. Sedangkan tenaga 60 pemuda yang tiap hari mengerjakan ogoh-ogoh ni, tidak dihitung.

Ngurah Panji menyebutkan, tantangan terbesar dalam pembuatan ogoh-ogoh Ki Kayu Curiga dari bahan ramah lingkungan ini adalah penyusunan bambu pada tubuh agar mirip otot. “Satu per satu bambu harus harus kami tempel, agar betul-betul menyerupai otot. Syukurlah, berkat ketelatenan, dalam kirun 2 bulan, jadilah ogoh-ogoh ini seperti,” papar Ngurah Panji.

Sesuai namanya, ogoh-ogoh Ki Kayu Curiga mengisahkan Kayu Curiga, seperti termuat dalam Lontar Atria Prasangsa dan Geguritan I Japa Tuan. Menurut Ngurah Panji, Kayu Curiga merupakan pohon yang berdaun keris, kayu pohon, curiga keris. Curiga di sini diartikan keris yang memiliki dua sisi yang tajam dan satu ujung yang runcing.

Secara pilosofi, ini juga diartikan dualitas sifat, yakni baik dan buruk, dengan satu titik ujung yakni sebuah keputusan untuk melakoni salah satunya. “Terinspirasi dari hal tersebut, maka kami ST Dira Dharma membuat ogoh-ogoh yang berjudul Ki Kayu Curiga,” papar Ngurah Panji.

Dalam geguritan, kata Ngurah Panji, termuat kisah perjalanan I Japa Tuan mencari istrinya yang sudah meninggal ke sorga. I Japa Tuan bisa pergi ke sorga, karena tokoh berbadan besar ini mendapat anugerah Aji Angkus Prana dari Hyang Nini Bagawati.

“I Japa Tuan dengan badan kasarnya, mampu pergi ke sorga, setelah melewati neraka terlebih dulu. Disaksikanlah berbagai jenis hukuman terhadap roh yang sudah meninggal. Di antara batas neraka dan sorga terdapat sebuah pohon berdaun keris, yang di bawahnya terdapat roh yang terhujam keris. Di sanalah terjadi dialog antara I Japa Tuan dengan Ki Kayu Curiga,” urai Ngurah Panji.

Nah, saat dialog tersebut, ada sebuah pertanyaan tentang di manakah Kayu Curiga berada dalam tubuh manusia. Ternyata, Pohon Curiga itu ada dalam hati, yakni sikap ragu dan curiga, sehingga terjadi penghakiman tanpa bukti (hoax) yang dewasa ini kerap terjadi.

“Dari cerita ini, maka kita hendaknya tidak mudah percaya dengan sebuah prasangka yang belum tentu kebenaranya. Sebab, segala masalah kerap terjadi akibat sebuah penghakiman tanpa dilandasi bukti yang nyata dan benar. Hal itu akan jadi malapetaka untuk diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan alam semesta,” tegas Ngurah Panji.

“Hendaknya kayu atau kayun (pikiran) kita gunakan untuk menimbang agar tidak bertentangan dengan hati nurani dari sebuah kebenaran, sebagai landasan jika nanti kita mendapat giliran berteduh di bawah Ki Kayu Curiga.”

Sementara itu, Kelian Adat Banjar Lebah Sari, Desa Guliang, I Gusti Putu Keladian, memberikan apresiasi atas kreativitas ST Dira Dharma dalam pembuatan ogoh-ogoh. Dia juga menyampaikan terima kasih kepada Pemkab Badung yang telah memberikan bantuan dana motivasi. “Ini semua juga berkat dukungan pemerintah dan masyarakat desa di sini,” jelas IGP Keladian kepada NusaBali, Jumat kemarin.

IGP Keladian mengatakan, generasi penerus khususnya ST Dira Dharma terus dituntut untuk meningkatkan kreativitas. Hal itu agar generasi muda sebagai ujung tombak banjar, tidak terpengaruh pada hal-hal yang negatif. Karena itu, semua elemen masyarakat akan dikerahkan saat pengarakan ohoh-ogoh ada malam Pangrupukan Nyepi Tahun baru Saka 1942 nanti.

Menurut IGP Keladian, pembuatan ogoh-ogoh berbahan ramah lingkungan sudah dilakukan pemuda Banjar Lebah Sari, Desa Gulian dari tahun ke tahun. “Kebetulan, ini anjuran dari pemerintah supaya menggunakan bahan alami. Apalagi, sampah tersebut kini memang diperangi masyarakat.

Sementara itu, di Banjar Lebah Sari, Desa Gulingan juga terdapat ogoh-ogoh berbahan ramah lingkungan lainnya yang viral di media sosial. Ogoh-ogoh bnerwujud penari Baris hasil karya kelompok Dekorasi Bali Qui ini terbuat dari klangsah atau anyaman daun kelapa, dengan gelung berbahan rontal.

Secara terpisah, ST Eka Kencana Banjar Kelingkung, Desa Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar bikin kreativitas dengan membuat ogoh-ogoh berbahan somi (jerami padi). Ogoh-ogoh bertema ‘Sanghyang Lelakut’ dengan tinggi sekitar 6 meter dan lebar 4 meter karya ST Eka Kencana ini, seoenuhnya menggunakan bahan jerami termasuk aksesorinya, kecauali untuk rangka. *asa

Komentar