nusabali

Eks Perbekel 'Dihabisi' Jaksa

Sidang Korupsi APBDes Dauh Puri Kelod

  • www.nusabali.com-eks-perbekel-dihabisi-jaksa

Namiartha disebut sebagai kepala desa dianggap lalai dalam menjalankan pengawasan, sehingga terjadi penyelewengan dana hingga ratusan juta.

DENPASAR, NusaBali

Posisi mantan Perbekel Dauh Puri Kelod yang kini menjabat anggota DPRD Kota Denpasar, I Gusti Made Namiartha dalam kasus dugaan korupsi dana APBDes semakin terpojok. Saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (11/3), Namiartha dihabisi jaksa terkait pengelolaan dana Desa Dauh Puri Kelod yang carut marut.

Namiartha yang menjadi Perbekel Dauh Puri Kelod pada 2013-2018 awalnya dicecar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nengah Astawa terkait kasus yang membelit terdakwa Ni Putu Ariyaningsih yang menjabat sebagai Bendahara Desa Dauh Puri Kelod. “Yang saya tahu kasusnya selisih Silpa APBdes yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujar anggota dewan Fraksi PDIP mengawali sidang yang dipimpin hakim Rumega.

Selanjutnya jaksa menanyakan Namiartha terkait tugas-tugasnya sebagai Perbekel dalam pengelolaan keuangan desa. Namiartha mengatakan jika dalam pengelolaan dana desa pihaknya membentuk tim pengelolaan keuangan desa dan menunjuk Sekertaris Desa (Sekdes) sebagai koordinator. “Saya sebagai Perbekel sebagai penanggungjawab,” tegasnya.

Jaksa lalu mulai menanyakan terkait pokok perkara yaitu adanya selisih Silpa dalam APBDes Dauh Puri Kelod. Namiartha sendiri mengakui jika selisih Silpa sudah terjadi sejak dirinya menjabat sekitar 2014. Hingga puncaknya pada 2017 saat Tim Inspektorat Kota Denpasar turun melakukan audit. Hasilnya ditemukan adanya selisih dana Silpa yang mencapai Rp 700 jutaan. “Saya juga bingung dengan hasil audit Inspektorat soal adanya selisih dana Silpa,” ujarnya.

Disebutkan sejak dirinya menjabat, pola pencairan dana masih dengan sistem lama yaitu gelondongan. Baru pada 2017, Desa Dauh Puri Kelod menggunakan sistem Siskeudes (Sistem Keuangan Desa). Jaksa lalu menanyakan apakah pada 2015 sudah menggunakan Permendagri 113 tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan desa. “Kami belum pedoman Permendagri 113,” jelasnya.

Jaksa lalu menunjukkan bukti bahwa dalam APBDes 2015, Namiartha sudah menggunakan Permendagri 113 sebagai pedoman pengelolaan dana desa. Politisi PDIP inipun tak bisa berkutik dan berdalih hanya menggunakan Permendagri 113 sebagai formalitas saja. “Sementara teknisnya belum,” akunya.

Jaksa kembali membuka ‘dosa’ Namiartha dalam proses pencairan anggaran yang dilakukan selama ini. Dengan lancar Namiartha menjelaskan diawali laporan Kepala Seksi (Kasi) kepada Sekdes. Lalu Sekdes konfirmasi ke Bendahara untuk menyiapkan penarikan uang sesuai RAPBDes. Setelah itu dokumen diverifikasi lagi Sekdes. Barulah Sekdes laporan secara lisan pada perbekel. Tahap akhir barulah perbekel tanda tangan slip pencairan dana ke bank. “Bagaimana anda tahu ini sudah diverifikasi oleh Sekdes. Karena menurut keterangan Sekdes ini tidak pernah diverifikasi,” tanya Jaksa.

Namiartha pun kembali menuding Sekdes sebagai koordinator yang memiliki tugas tersebut. Jaksa lalu menanyakan penarikan dana di bank beberapa kali lebih besar dari RAPBDes, Namiartha menyebut kelebihan dana itu untuk kas tunai pembiayaan operasional kantor. Seperti pembayaran listrik, air, telepon, dan keperluan mendadak.

Namiartha kembali kembali kepergok berbohong saat ditanya terkait pengembalian awal uang sejumlah Rp 90 juta dari terdakwa Ariyaningsih. Diketahui uang Rp 90 juta tersebut merupakan pengembalian kasbon dari perangkat desa. “Saya tidak pernah kasbon,” ujarnya.

Jaksa lalu membongkar nama-nama perangkat desa yang kasbon sesuai catatan terdakwa. Disana ternyata ada nama Namiartha yang diketahui beberapa kali kasbon. “Ini ada nama anda di catatan (kasbobn, red),” tanya jaksa. Namiartha berkelit jika uang kasbon tersebut untuk membayar tunggakan salah satu petugas upah pungut yang sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Tidak hanya jaksa, hakim anggota Hartono ikut ‘mengadili’ saksi kunci ini. Namiartha disebut sebagai kepala desa dianggap lalai dalam menjalankan pengawasan, sehingga terjadi penyelewengan dana hingga ratusan juta. Termasuk pungutan desa dan anggaran lainnya yang bisa dipinjamkan dan digunakan untuk insentif. “Saya juga tidak tahu uang pungutan yang diterima bendahara bisa dipinjam dan digunakan untuk insentif,” lanjut Namiartha. Keterangan itu membuat hakim Hartono berang. “Perbekel kok tidak tahu. Sebagai kepala desa, Anda harus tahu!,” bentak hakim Hartono yang membuat Namiartha pucat.

Selain eks Perbekel Namiartha, juga dihadirkan Ketua BPD (Badan Pemusyawaratan Desa) I Putu Gede Sudiarsa, Made Wardana (mantan perbekel sebelum Namiartha), IB Joni (mantan camat Denbar), I Made Mertajaya (Kadis Sosial dan mantan Kepala BPMPD), dan Gusti Ayu Sri Saraswini (pegawai BPD Bali). *rez

Komentar