nusabali

Congah dan Pongah

  • www.nusabali.com-congah-dan-pongah

Sangat bersemangat Wayan Sekrup akan ngaturang ayah di Pura Dalem. Apalagi kali ini odalan nadi, banyak krama yang sudah merencanakan dan mengatur kesibukan agar bisa sesering mungkin ngayah.

Beberapa pegawai negeri bahkan ada yang mohon cuti. Yang pegawai swasta cuma bisa menahan diri. “Tak mungkin aku minta cuti dengan alasan ngayah,” ujar seorang karyawan hotel. “Majikanku orang Inggris menganggap itu aneh.”

Besok ada kegiatan membuat ulam untuk banten caru. Itu artinya mebat, ngelawar. Dan Sekrup pasti senang kalau ada kegiatan mebat, karena para pengayah dapat pica, berkah berupa makanan. Biasanya, lawar yang dibuat kalau odalan sangat lezat, karena dibuat dengan sepenuh hati oleh para mandor lawar. Mereka membuat kuliner persembahan, buat banten, buat Hyang Widhi dan juga untuk semesta. Maka mereka membuat lawar sesajen mungkin, selezat dan segurih-gurihnya. Komohnya pasti sedap, menjadikan yang menyeruputnya ketagihan.  

Mebat dilangsungkan pukul lima dinihari. Agar tidak kesiangan bangun, Sekrup menyetel alarm di hape. Ia tidur nyenyak malam ini, setelah seharian membersihkan rumah, memangkas daun dan cabang pohon-pohon yang menjulur ke luar pekarangan, bisa mengganggu orang lewat. Sekrup tidur lebih awal, biar segar bugar besok ngelawar.

Tapi selepas pukul enam baru ia kaget terbangun. Ia kepupungan, baru sadar telat bangun beberapa menit kemudian. Ia heran, mengapa alarm tidak berbunyi? Nyaris dia banting hapenya saking kesal, karena dia salah menyetel alarm pukul 5 sore. Ketika hape siap dibanting, ia segera sadar, dari mana ia dapatkan duit buat beli hape pengganti?

Bergegas Sekrup ke dapur, mengambil belakas. Kain ia kenakan terburu-buru, saput poleng ia lilitkan di pinggang sekadarnya. Destar ia ceplokkan begitu saja di kepala. Motor ia pacu kencang ke Pura Dalem. Pasar sudah ramai oleh ibu-ibu berbelanja. Di ujung jalan menjelang Pura Dalem motornya nyaris tergelincir masuk parit gara-gara ia ngebut.

Di jaba pura sudah ramai para pengayah. Semua sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang mencincang daging, nangka dan kacang panjang. Beberapa orang suntuk membuat lawar bebek. Yang muda-muda lagi memanggang sate, setelah yang tua-tua melilit daging digiling bercampur kelapa itu. Mereka yang kuat menahan panas, sibuk merebus daging dan menggoreng. Asap mengepul, bau gurih rempah-rempah menelusup membujuk rasa lapar.

Wayan Sekrup melangkah di antara para pengayah itu dengan perlahan dan serba salah. Ia merasa sangat congah, kebibil, salah tingkah. Ia merasa risi, seakan semua orang memperhatikan dirinya. Ia sangat malu, bingung mencari sebuah tempat untuk bergabung mencincang nangka atau kacang panjang. Akhirnya, ia ikut bergabung melilit sate.

Seorang rekan bertanya, “Baru, Krup?” Pertanyaan itu membuat Sekrup semakin congah. Padahal yang bertanya biasa-biasa saja. “Ya… ya… ya…. Saya telat bangun. Salah setel alarm,” jelasnya membela diri. Ia merasa semakin bersalah, dan berjanji nanti ngaturang canang mohon ampun pada Betari Durga, penguasa Pura Dalem.

Sekrup merasa, dirinya pasti pengayah terakhir yang datang. Ternyata tidak. Made Adeng datang sambil bersiul-siul, melangkah santai di antara pengayah, setelah memarkir sepeda motornya di bawah pohon beringin. Ia tenang-tenang saja, tak peduli orang-orang memperhatikan. Bagi Adeng, datang terlambat tidak berpengaruh banyak bagi dirinya. Kalaupun dia tidak hadir, tidak masalah, bukankah sudah banyak pengayah lain yang akan menyelesaikan pekerjaan dan tugas odalan? Adeng memang dikenal krama yang paling malas dan banyak akalnya untuk menghindari tugas-tugas mebanjar.

Dan Adeng, memang tak pernah peduli. Jika Sekrup merasa congah telat datang ngayah, Adeng justru pongah saja. Dia bahkan langsung masuk dapur, minta segelas kopi dan kue kepada krama yang bertugas sebagai kesinoman. Kemudian duduk santai bersila rapi menyeruput kopi hitam pekat itu, sebelum mengunyah kue sumping. Pelan-pelan dia mengunyah, tak mengesankan terburu-buru sedikit pun. Adeng tahu beberapa krama pasti pekrimik menggunjingkannya. Dia cuek saja. “Ngapain gue pikirin?” bisik hatinya.

Dia tahu persis, banyak orang menyebutnya sebagai manusia pongah, tak tahu malu. Di lingkungan banjar dan desa, Made Adeng menjadi sesenggak, “pongahe mekada payu” (pongah itu menyebabkan jadi/mendatangkan hasil).

Di kalangan orang Bali, congah dan pongah itu tabiat, perilaku, yang lahir dari watak bagaimana seseorang itu menghadapi rasa malu. Yang tidak tahu malu, beretika pongah. Yang tahu malu, etikanya santun, jadi congah. Isilah pongah dalam bahasa Bali berkait erat dengan kata juari, yang juga berarti sama: tidak tahu malu, tebal muka. Orang-orang pongah dan juari itu sering menjadi bahan gunjingan. Ibu-ibu PKK pasti senang membahasnya menjadi gosip. Para penggosip ini dengan pongah dan juari membicarakan kejelekan-kejelekan orang lain. Bahkan banyak ibu-ibu yang dengan juari dan pongah menceritakan keburukan-keburukan menantunya di hadapan rekan-rekannya sesama anggota PKK. Yang dibicarakan dan membicarakan sama-sama pongah.

Pongah juga dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, yang berarti sangat sombong atau angkuh, congkak, dalam perbuatan dan perkataan. Pongah juga berarti bodoh atau dungu. Ternyata dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia pongah itu bersaudara kandung. Mereka yang pongah itu adalah manusia-manusia tidak tahu malu, berperilaku sombong. Keangkuhan di kalangan orang-orang pongah semakin menjadi-jadi karena mereka itu dungu. Jadi, sebisa-bisanya, jauhilah watak pongah, baik pongah Bali maupun pongah Indonesia, karena pongah itu menyebabkan orang-orang menjadi kian dungu. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar