nusabali

Bukan (Hanya) Bahasa Festival

  • www.nusabali.com-bukan-hanya-bahasa-festival

Tak pernah bahasa Bali mendapat perhatian seriuh ini. Undang-undang diterbitkan, festival dan lomba digelar, tentu tidak sedikit duit dan hadiah digelontorkan.

Semua bergegas ke satu tuju: agar bahasa Bali kian diminati, untuk kemudian dicintai sebagai bahasa ibu, sehingga mereka semakin kerap berbahasa Bali.

Beribu-ribu anak sekolah diajak menulis aksara di atas lontar. Para orangtua sibuk membeli lontar dan pengutik, pisau buat menggurat aksara di atas daun lontar, untuk anak-anak mereka ikut lomba. Pidato-pidato tentang pentingnya melestarikan bahasa leluhur untuk mewariskan kekayaan tradisi, dikumandangkan para pejabat, memenuhi angkasa raya. Di mana-mana, mulai gubuk, wantilan, gedung-gedung bersih bertingkat sampai di tanah-tanah lapang dan sawah-sawah, orang-orang mendengungkan tentang Februari sebagai bulan bahasa Bali.

Bulan bahasa dan festival itu seakan-akan meyakinkan kita, bahasa Bali bakalan kian bernas, semakin diminati, dan kian kerap digunakan di kantor, sekolah dan rumah tangga. Kekhawatiran bahasa Bali akan punah, sungguh tidak beralasan, tak perlu dicemaskan. Dengan perda, berkat bulan bahasa, lomba atau festival, bahasa Bali punya kesempatan unjuk gigi dan pamer.

Tapi, apakah dengan begitu penutur bahasa Bali akan bertambah? Adakah para penutur bahasa Bali di rumah-rumah dan kantor-kantor akan meminggirkan bahasa Indonesia, dan menjadikan bahasa Bali sebagai bahasa utama sehari-hari? Jika ya, langkah menerbitkan perda, menyelenggarakan festival, lomba, parade, pamer, bisa diteruskan sebagai tindakan menyelamatkan hal-hal lain, subak misalnya, yang di ambang kepunahan. Jika tidak, harus ada langkah lain, karena festival dan peraturan tidak cukup memadai.

Mungkin peraturan bakal ditambah, siapa saja, kapan saja, di mana saja, orang-orang harus berbahasa Bali, saban Kamis, tilem, purnama, berbarengan dengan menggunakan pakaian adat saat ngantor. Orang Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Sasak, yang bekerja di pemerintahan di Bali harus berpakaian adat Bali dan bicara menggunakan bahasa Bali. Bila perlu surat-menyurat, nota dinas, harus disertai bahasa Bali. Jika tidak mengerti artinya, cari saja terjemahannya di Google. Bila perlu mereka dikursuskan bahasa Bali, dibiayai pemerintah. Ini bisa membuka lapangan kerja para guru dan penekun bahasa Bali buat tambahan penghasilan.

Tapi, setelah itu, apakah lambat laun bahasa Bali akan menjadi bahasa sehari-hari? Jika tidak, ia hanya akan menjadi bahasa festival, bahasa kamisan atau bahasa tilem-purnama. Di rumah tetap saja orang-orang menggunakan bahasa Indonesia untuk bercakap-cakap.

Sejak lama orang Bali menyadari, mereka harus menguasai setidaknya tiga bahasa: Bali, Indonesia dan Inggris. Bahasa Bali untuk pergaulan dalam tata krama kekerabatan sesama orang Bali, untuk kegiatan-kegiatan adat di banjar dan desa. Juga buat mengobrol sesama orang kampung ketika mudik. Bahasa Indonesia buat percakapan di sekolah, untuk menimba ilmu, buat wawasan dan melatih kecerdasan. Bahasa Inggris sangat berguna dalam pergaulan internasional, untuk memperluas jaringan. Apalagi Bali dikenal sebagai pusat industri turisme dunia, penguasaan bahasa Inggris sangat menentukan keberhasilan.

Kalau begitu, mengapa harus dicemaskan bahasa Bali akan tergerus habis sehingga harus diperdakan dan difestivalkan? Bukankah orang-orang di desa, petani, pekerja bangunan, peternak, pedagang, tetap menggunakan bahasa Bali? Anak-anak di kampung-kampung sehari-hari berbahasa Bali, hanya ketika belajar di kelas mereka berbahasa Indonesia. Jika kemudian penggunaan bahasa Bali surut, karena kelas menengah yang hidup di kota tidak berbahasa Bali dalam pergaulan mereka. Di tengah keluarga urban, bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Indonesia. Jika hendak meningkatkan populasi pengguna bahasa Bali, harus ada upaya agar keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia mengubahnya dengan memakai bahasa Bali.

Harus diterima dengan lapang dada, kebanyakan anak muda menggunakan bahasa campuran Bali-Indonesia-Inggris sebagai bahasa pergaulan. Maka sangat sulit menjumpai bahasa Bali percakapan di rumah-rumah kaum urban. Di kota, bahasa Bali hanya hidup di pasar-pasar tradisional, sebagian di warung-warung, selebihnya di kaki lima. Pengunjung mal menggunakan bahasa Indonesia, sehingga acap kita mendengar bahasa Indonesia berlogat Bali.

Mereka menggunakan bahasa campur-campur itu karena tidak suka dan kesulitan dengan bahasa Bali alus sor-singgih, yang mereka anggap feodal, menempatkan para pembicara pada posisi yang satu lebih rendah dibanding yang lain. Mereka lebih senang menggunakan bahasa Bali madya, untuk menjaga etika dan sopan santun. Atau sekalian berbahasa Bali kepara dalam pergaulan sehari-hari di tengah masyarakat dan komunitas modern antar-teman dan antar-kerabat.

Kebanyakan buku mengajarkan bahasa Bali feodal itu bagi mereka yang hendak menekuni budaya Bali. Esai dan berita bahasa Bali juga mengesankan bahasa sor-singgih. Atau jangan-jangan memang kita tidak punya bahasa Bali jurnalistik, karena tidak sanggup memutuskan apakah sebaiknya menggunakan bahasa Bali alus sor-singgih, madya atau kepara yang pas buat menyusun berita atau feature.

Mungkin memang begitulah tipikal orang Bali, selalu gemar meriah jika mengerjakan sesuatu. Menyambut pejabat atau tim penilai pembangunan datang ke desa, ibu-ibu PKK jadi sibuk untuk memberi sambutan meriah. Mengantar jenazah ke setra dengan gamelan baleganjur yang berdentang-dentang, di tengah deraan duka keluarga yang ditinggalkan. Menjaga dan mengembangkan bahasa Bali yang dilandasi ketekunan, bekerja dalam sunyi, dengan menerbitkan dan mengolah aksara, terabaikan.

Buku-buku berbahasa Bali madya tidak terdengar dibagikan ke sekolah-sekolah. Tidak juga muncul itikad agar semakin banyak keluarga berbahasa Bali di rumah, menjadikannya sebagai bahasa keluarga. Kamus bahasa Bali entah kapan tampil online dengan gagah dan percaya diri, karena di-update setiap saat, dikawal pemerintah, para pakar, penekun dan pecinta bahasa. Sungguh menyedihkan, jika bahasa Bali cuma gegap gempita sebagai bahasa festival.

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar