nusabali

Nampah Celeng, Mengolah Tamas Jadi Satwam

  • www.nusabali.com-nampah-celeng-mengolah-tamas-jadi-satwam

Namun, belakangan ini Bali sedang dirajam kasus Babi mati mendadak yang diduga akibat serangan virus ASF (African Swine Fever).

GIANYAR,NusaBali

UMAT Hindu Nusantara, khususnya di Bali akan merayakan Hari raya Galungan, Buda Kliwon Dungulan, Rabu (19/2), lanjut Kuningan, Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (29/2). Namun, kegirangan umat Hindu Bali dalam merayakan Galungan - Kuningan kali ini, terusik. Karena Galungan identik dengan menikmati menu makanan lezat berbahan  daging Babi atau be celeng, dalam pelbagai olahan. Mulai dari Lawar, Timbungan, Urutan, Oret, Tum, Komoh, Sate, dan lainnya.

Olahan tersebut tentu tak hanya untuk makanan, Melainkan utamanya untuk bahan banten atau persembahan saat Galungan. Namun, belakangan ini Bali sedang dirajam kasus Babi mati mendadak yang diduga akibat serangan virus ASF (African Swine Fever). Mengapa olahan banten Galungan hingga bahan makanan saat Galungan itu ‘harus’ dari daging babi?

Penekun sastra Weda asal Desa Adat Satra, Klungkung, I Dewa Ketut Soma mengatakan, penggunaan daging Babi untuk bahan babantenan tidak ada dalam sastra Weda. Penggunaan daging Babi untuk banten ini karena para tetua Bali zaman dulu mengacu pada pertiwimba semacam sistem personifikasi dengan belajar dari sifat-sifat rajas dan tamas binatang, dalam hal ini Babi. Sifat Babi yang amat dominan yakni jika lapar sangat tak sabar, jika kenyang sangat malas, dan tak peduli lingkungan. Belajar  dimaksud sekaligus sebagai cermin agar manusia terhindar dari sifa rajas tamasnya Babi. Maka menyemblih atau memotong babi, sebagai simbolik memotong dan meruwat sifat kebinatangan itu. Setelahnya, daging dikelola dalam beragam rasa berbentuk olahan (adonan) atau ebatan yakni Kawisan, Ketengan, Tetelan, dan lainnya. ‘’Jadi, tradisi persembahan berupa daging babi ini di Bali, bukan karena Babi selalu dekat dengan kehidupan orang Bali, dibandingkan hewan lain,’’ jelas penyuluh utama agama Hindu di Klungkung ini.

Dewa Soma kembali menegaskan, penggunaan dagung Babi untuk banten atau persembahan secara Hindu Bali ini tidak ada dalam rujukan sastra. Tapi model persembahan ini menjadi tradisi budaya Bali yang berspiritkan ajaran Weda. Praktik dari spirit ini telah mengental dan menjadi salah satu kearifan lokal orang Bali di Bali khususnya

Terkait kekhawatiran krama Bali tentang penyakit pada Babi hingga banyak Babi mati mendadak, Dewa Soma menyatakan, secara kearifan lokal Bali hal seperti itu telah diantisipasi sejak lampau. Dalam tradisi paebatan (memasak) di Bali, memakai base gede (bumbu lengkap) terutama jahe, isen, tabya, mica, dan lainnya, dapat membunuh kuman dalam olahan makanan. Jika untuk bahan lawar, olahan getekan tentu diawali dengan cara tamus (pembakaran) daging Babi untuk membunuh kuman. Khusus untuk bahan banten berupa Lawar barak dengan olahan darah segar, dapat diolah dengan olahan base gede sehingga kuman ternetralisir. ‘’Mengolah Lawar barak ini juga bagian dari kearifan lokal Bali dalam mengendalikan sifat brahmantya (kemarahan),’’ jelasnya.

Sebagaimana dalam tradisi Hindu Bali, kegembiraan menyambut Galungan, tak serta merta saat Hari Penampahan Galungan pada Anggara Wage Dungulan, dengan ciri khas kenikmatan lawar Galungannya. Spirit kegembiraan itu sudah mulai dari sejak Hari Sugihan Jawa pada Wraspati Wage Sungsang, Sugihan Bali pada Sukra Kliwon Sungsang, Penapean pada Redite Pahing Dungulan, Panyajaan pada Soma Pon Dungulan, Penampahan pada Anggara Wage Dungulan, dan puncaknya pada Hari Galungan pada Buda Kliwon Dungulan.

Dewa Soma yang juga tokoh adat di Klungkung ini mengatakan kegembiraan itu tervisualisasikan dari beragam bentuk banten dan juga penganan Galungan. Mulai dari banten Parebuan, Sayut Pangambean saat Sugian, Penjor, Lawar babi, dan lainnya. “Komponen terpenting dari banten Parebuan adalah Prayascita Durmangala dan Sayut Pangambean. Maknanya untuk pembersihan diri dan lingkungan,” terang Dewa Soma.

Kemudian Penapean bermakna pengendalian (mengerem pikiran, tutur dan tindakan) menjadi rasa ‘manis’ atau kesempurnaan. “Boleh percaya boleh tidak, siapa yang dengkik-dengkik pada saat Galungan, akan terulang jadi kebiasaan,” ujar Dewa Soma.

Tanda lain perayaan Galungan sebagai hari gembira  adalah Penjor. Penjor dari kata ‘enjor’ yang berarti keriangan. Karenanya mengapa krama Bali menancapkan atau memasang penjor di depan pintu pekarangan rumah, karena penghuni di dalamnya sedang meerasakan kegembiraan atau bahagia menyambut Galungan. “Para tetua dulu berkeyakinan, leluhur yang turun ke dunia pada saat Galungan agar menyaksikan sentananya (keturunannya) bergembira saat Galungan,”

Puncaknya, saat Galungan. Namun sehari sebelumnya diawali dengan mebat/ngalawar babi yang bermakna memotong babi yang tidak baik untuk dilakoni. “Kita olah sifat-sifat rajas tamas itu menjadi sifat satwam,” tandas Dewa Soma.

Hal senada disampaikan Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra. Jelas dia, Babi merupakan simbolik sifat-sifat rajas atau malas. Sifat-sifat malas tersebut dilenyapkan saat Hari Penampahan. “Sehingga menjadi galang apadang ikang manah (pikiran jadi terang dan jesnih),” ujar mantan birokrat asal Banjar Belumbang, Kota Bangli ini. Dengan pikiran yang jernih, jelas dia, manusia akan mampu menerima paswecan (anugerah) Ida Batara.  “Galungan itu adalah bentuk dari bakti dan karma marga,” ujarnya.  Bakti berlandaskan cinta kasih dan karma atau perbuatan tulus. “Jika sudah tulus, memunculkan sifat-sifat satwam,” jelas Sukra. *k17,lsa

Komentar