nusabali

Bermain Belajar vs Belajar Bermain

  • www.nusabali.com-bermain-belajar-vs-belajar-bermain

DI negeri ini, anak-anak kampung sering bermain bola. Tetapi hasilnya hanya cucuran keringat atau keceriaan. Anak-anak kampung di Brasil sering juga bermain bola. Tetapi mereka bisa menghasilkan pemain bola yang berkualitas juara

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD

Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya


Mungkin bermain bola bagi anak kampung di negeri ini bukan sebuah pembelajaran. Mereka bermain untuk kesenangan belaka. Mereka tidak sedang belajar tentang bermain bola yang bermakna.  Sedangkan, anak-anak Brasil bermain bola merupakan sebuah pembelajaran bermakna. Mungkin anak-anak Brasil menyimak cara dan strategi menendang, menggiring atau menyundul bola yang terarah. Anak-anak Brasil bermain bola terintegrasi dengan pembelajaran diri secara holistik.

Analog dengan belajar bahasa Inggris di sekolah. Siswa sekolahan diajarkan menyusun kalimat sederhana. Polanya sederhana; subjek, predikat, objek, dan keterangan. Contohnya, Anjing menggigit Nyoman kemarin. Sebagai latihan, kalimat tersebut diubah posisi subjek dan objeknya menjadi, Nyoman menggigit anjing kemarin. Secara struktur kalimat itu benar. Namun, maknanya bagaimana? Apakah Nyoman seorang anak normal? Sesungguhnya, anak-anak sekolah tersebut hanya bermain struktur bukan makna. Mereka itu serupa dengan anak-anak yang bermain bola tanpa belajar memainkan bola (rote learning), cetus Dr Hj Nurlaila Nuzulul Qur’ainy Mei Tience SPd MPd, ahli PAUD dari Universitas Pakuan Bogor. Anak-anak itu hanya main-main dengan bahasa Inggris yang hasil belajarnya nihil (absence of learning).

Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh dengan baik. Jika tidak, tentu akan menghambat pertumbuhan. Dalam sebuah keluarga orang yang paling berperan adalah orangtua. Mereka memberikan teladan dan nasihat kepada anak. Tentu saja orangtua memberikan teladan yang baik, supaya mereka tumbuh menjadi anak  baik, berpendidikan, dan bermoral. Seperti apapun pekerjaan orangtua, bagaimanapun keadaannya, mereka menginginkan anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik. Sejelek-jeleknya orangtua pasti mereka menginginkan anaknya tidak menuruni perilaku buruk orangtua. Misalnya, orangtua adalah pencuri. Jelas tidak mungkin mereka menginginkan anaknya menjadi pencuri seperti dirinya. Orangtua sudah pasti menginginkan anak yang sukses dan mampu membawa nama baik keluarganya.

Anak-anak krama Bali sering mendapat pajanan yang bersifat mekanistis (rote learning), tidak bermakna (unmeaningful learning) dalam keluarga. Orangtua mereka sering mengklaim peran dirinya sebagai model yang baik (cf Albert Bandura,1998). Kenyataan banyak orangtua kurang menyadari model yang dipajankan tidak bersifat mendidik. Seharusnya, dasar-dasar kepribadian positif dibudayakan, tidak melalui sistem ganjaran positif atau negatif (reward and punishment).

Kata kunci yang harus dipegang adalah membudayakan, bukan mengajarkan. Membudayakan adalah membiasakan anak berbuat baik dan benar secara informal. Orangtua seharusnya membiasakan anak berpikir, berkata, dan berperilaku baik kepada siapa saja. Misalnya, memberi salam dengan mencium tangan harus dibiasakan sejak kecil. Sedangkan, mengajarkan sikap dan perilaku baik dan benar terkesan formal. Orangtua demikian menjadikan bahan ajar yang harus diajarkan kepada anak. Antara mengajar dan membelajarkan ada perbedaan makna prinsip. Ada hal menarik berkaitan dengan keluhaan orangtua dalam melaksanakan tugas di rumah. Motivasi belajar anak masih rendah, sehingga berisiko menghambat kelancaran pembelajaran. Rendahnya minat anak untuk belajar dikhawatirkan akan berdampak pada usaha mewujudkan prestasi belajar anak secara optimal. Semoga dari keluarga sukinah lahir suputra yang membanggakan. *

Komentar