nusabali

Ritual Subak Bukan Pesanan Pariwisata

Geliat Krama Subak Wujudkan Wisata Jatiluwih

  • www.nusabali.com-ritual-subak-bukan-pesanan-pariwisata

Ada 15 tradisi upacara yang harus dilalui mulai dari upacara Mapag Toya (menjemput air untuk dialirkan  ke sawah), hingga upacara Ngutang Tain Asep (membakar kulit padi dan dihanyutkan ke sungai).

TABANAN, NusaBali
DTW (Daerah Tujuan Wisata) Jatiluwih terletak di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. DTW ini merupakan salah satu objek wisata andalan Kabupaten Tabanan. Daya tarik objek berupa paduan pesona kearifan lokal dan pemandangan alam sawah terasering nan eksotis. Paduan ini menjadikan kawasan ini amat disukai banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Ketertarikan wisatawan pada objek ini tentu tak terlepas dari peran masyarakat, khususnya para anggota Subak Jatiluwih. Karena mereka menjalankan sistem pertanian subak yang berlandaskan filosofi Bali, Tri Hita Karana. Hingga akhirnya tahun 2012 UNESCO menetapkan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBD).

Luas subak Jatiluwih saat ini 303 hektare. Jumlah ini tak seluruhnya bisa ditanami padi Bali yang terkenal dengan produksi baas barak (beras merah)nya Tabanan. Total lahan yang bisa ditanami padi hanya 227,41 hektare. Sisanya ada berupa tegalan, kandang sapi, dan terasering kering yang tidak bisa ditanam padi.

Pekaseh Subak Jatiluwih I Wayan Mustra,49, mengatakan anggota Subak Jatiluwih terdiri dari 545 anggota tersebar di tujuh tempek. Tempek tersebut adalah Tempek Uma Kayu, Tempek Gunung Sari, Tempek Telabah Gede, Tempek Besi Kalung, Tempek Kedamian, Tempek Uma Duwi, dan Tempek Kesambi. ‘’Peran Subak Jatiluwih dalam mendukung pariwisata sangat bagus. Sebelum dan sesudah adanya pariwisata, kami dari subak  tetap menjalankan sejumlah tradisi dan aci (upacara) dari mengolah sawah hingga padi jadi nasi untuk dimakan,’’ jelasnya.

Menurut Mustra, anggota subak sangat meyakni jika tidak menjalankan tradisi ritual akan bisa kena sanksi spiritual. Salah satunya bisa saja padi yang ditanam rusak akibat terserang hama dan penyakit. Ada 15 tradisi upacara yang harus dilalui mulai dari upacara Mapag Toya (menjemput air untuk dialirkan  ke sawah), hingga upacara Ngutang Tain Asep (membakar kulit padi dan dihanyutkan ke sungai). Semua tradisi ini mencerminkan konsep ajaran Tri Hita Karana di Bali. "Ada tidaknya pariwisata, tradisi ini tetap kami jalankan. Karena takut tidak melaksanakan tradisi ini akan mendapat sanksi spiritual  Bukan karena baru ada pariwisata kita laksanakan aci (persembahan) itu. Tapi lebih ke takut sanksi niskala (nirnyata)," ujarnya, beberapa waktu lalu.

Istimewanya lagi, peran subak dalam mendukung pariwisata adalah dalam hal menjalankan aturan yang sudah dibuat. Salah satunya, di Kabupaten Tabanan terkenal dengan produk Beras Merah. Beras ini bahkan sudah menjadi produk andalan bagi kemajuan Tabanan.

Subak Jatiluwih mempunyai jadwal, kapan petani harus tanam padi komoditi Baras Merah dan komoditi padi varietas lain. Jika melanggar dari ketentuan akan dikenakan sanksi menghaturkan Guru Piduka di Pura Ulun Carik. "Jadi kami tanam padi Beras Merah itu padabulan Januari dan tanam padi varietas bebas yang istilahnya gegado pada bulan Agustus," aku Mustra yang juga seorang petani ini.

Tak hanya itu kearifan lokal itu. Masyarakat dan anggota subak dalam menjaga subak agar tetap eksis dengan tradisi ritual Nyepi Carik. Nyepi Carik biasanya dilakukan ketika padi sudah berumur lebih dari 15 hari. Selama Nyepi Carik ini tidak boleh ada yang melakukan aktivitas di sawah. Jika ada yang melanggar kembali lagi akan kena sanksi. "Selama ini belum ada krama subak yang melanggar. Kalau untuk sekadar lewat sawah bisa, tetapi melakukan pekerjaan tidak boleh selama Nyepi Carik," katanya.

Mustra mengakui, selama menjalankan seluruh prosesi ritual tersebut, krama subak dibantu dari dana hasil pengelolaan pariwisata. Bahkan petani di Subak Jatiluwih sudah dibantu bibit, pupuk organic. Petani juga diikutkan asuransi gratis. Termasuk juga sudah ada bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali dan Pemkab Tabanan "Semua dana yang didapatkan ini di luar dari dana pah-pahan (pembagian) dari managemen objek. Untuk dana pah-pahan, kami subak mendapatkan 21 persen dan menerima dana tunai dari manajemen," bebernya.

Dia berharap seluruh instansi terkait ikut menjaga warisan budaya subak di Jatiluwih ini. Meskipun saat ini adanya pariwisata, dia menegaskan kembali untuk seluruh tradisi upacara masih dijalankan dan dibantu oleh managemen. Termasuk pengolahan tanah menggunakan cara tradisional menggunakan sapi masih aksis dilakukan oleh petani subak. Namun ada juga yang menggunakan traktor dan tidak ada larangan.

Manager DTW Jatiluwih I Nengah Sutirtayasa menjelaskan Pengelolaan Desa Wisata Jatiluwih dimulai sekitar tahun 1996-1998, bekerjasama dengan desa dinas dan Pemkab Tabanan. Tahun 2014 pengelolaan diperbaiki dengan melibatkan 5 pihak dan membentuk sebuah perjanjian dalam bentuk badan pengelola melibatkan desa dinas, Desa Adat Jatiluwih, Desa Adat Gunungsari, Subak Jatiluwih dan Pemkab Tabanan. Antar pihak ini membentuk sebuah managemen operasional DTW Jatiluwih 2014-2018. "Tahun 2019, kerjasama tersebut memasuki periode ke 2 DTW Jatiluwih," jelasnya.

Sutirtayasa menambahkan, selain sawah terasering yang menjadi andalan kunjungam wisatawan ke Jatiluwih, di DTW ini juga ada air terjun, kebun bambu dan perkebunan di lereng Gunung Batukaru. Ada juga edukasi pertanian. Bentuknya, wisatawan bisa ikut menanam padi Beras Merah pada bulan Januari juga bisa panen padi hasil yang ditanam tanam di bulan Juni. "Selain itu ada aktivitas eksplor Jatiluwih mulai dari treking sawah, hutan, dan treking ke puncak Gunung Batukaru sampai Pura Pucak Kedaton," beber Sutirtayasa.

Dia menegaskan untuk kerjasama dengan lima pihak tersebut sudah dilaksanakan. Semua beban subak sudah ditanggung managemen pariwisata. Termasuk dana untuk desa adat ditanggung dari managemen pariwisata. Masyarakat desa juga mendapatkan percepatan pembangunan desa melalui PAD pariwisata. Karena dalam perjanjian lima pihak sudah diatur tentang pembagian penghasilan pariwisata.

Terkait tantangan ke depan, Sutirtayasa mengakui pasti ada. Salah satunya karena perbedaan pendapat tentang program DTW. Lebih-lebih di Desa Jatiluwih ada 1.000 KK (kepala keluarga). Kata dia, DTW ini merupakan aset desa yang sepenuhnya memerlukan daya dukung masyarakat. Masyarakat  dimaksud baik sebagai pemilik lahan dari objek yang dikelola, maupun kapasitas lain. "Tetapi semua masih bisa berjalan. Karena managemen selalu memberikan data keuangan yg transparan. Setiap awal tahun wajib melaporkan hasil pengelolaan di hadapan masyarakat melalui rapat umum," katanya.

Jelas Sutirtayasa, kunjungan para wisawatan ke DTW Jatiluwih per hari mencapai 500 - 1.000 orang, tergantung musim liburan baik di dalam dan luar negeri. Namun dia enggan menyebut nominal pendapatan DTW tersebut.*des

Komentar