nusabali

Bendesa Madya Tak Kukuhkan Bendesa di Luar Musyawarah

  • www.nusabali.com-bendesa-madya-tak-kukuhkan-bendesa-di-luar-musyawarah

Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dan Surat Edaran (SE) dari Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Bali yang mengamanatkan pemilihan bendesa adat secara musyawarah mufakat, adalah harga mati.

NEGARA, NusaBali

Kendati bersikukuh menggelar pemilih langsung karena desakan krama, Bendesa Madya Majelis Desa Adat Kabupaten Jembrana I Nengah Subagia, menegaskan tidak akan melantik bendesa adat yang terpilih di luar jalur musyawarah mufakat.

Hal tersebut ditegaskan Subagia ketika disinggung mengenai pemilihan Bendesa Adat Perancak, di Desa Perancak, Kecamatan Jembrana, yang menggelar pemilihan bendesa adat melalui pemilihan langsung atau voting pada 24 Desember 2019 lalu. Menurut Subagia, hasil pemilihan bendesa adat melalui pemilihan langsung yang dimenangkan incumbent, I Nengah Parna, tidak bisa diakui. Karena itu, pihaknya tidak berkenan mengukuhkan bendesa adat terpilih, kecuali dasarnya musyawarah mufakat.

“Apapun alasannya, wajib musyawarah mufakat. Kalau voting atau pemilihan langsung, tidak diakui,” ujarnya, Minggu (26/1).

Terkait pemilihan Bendesa Adat Perancak tersebut, Subagia mengatakan telah meminta pihak desa adat setempat, agar melaksanakan pemilihan bendesa adat sesuai aturan. Informasinya, sempat digelar musyawarah mufakat dalam paruman pamucuk di desa setempat, dan hasilnya tetap memutuskan I Nengah Parna sebagai bendesa adat terpilih. Namun dari informasi yang diterimanya, masih ada keberatan sejumlah krama, terkait paruman pamucuk yang dituding hanya melibatkan kelompok-kelompok Parna, sehingga pihaknya berencana kembali turun memediasi persoalan tersebut.

“Karena masih ada persoalan musyawarah mufakat, itu nanti akan segera kami tindaklanjuti. Sebenarnya, untuk sistem musyawarah mufakat, pertama diserahkan ke para calon. Tetapi kalau tidak ada mufakat, sistemnya diserahkan ke paruman desa. Apakah cukup lewat paruman pamucuk atau bagaimana. Tetapi kalau memang sudah disepakati cukup lewat paruman pamucuk, siapapun yang terpilih, harus dihormati. Tergantung hasil musyawarah awal,” tegas Subagia yang juga Bendesa Adat Baler Bale Agung, di Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara.

Intinya, kata Subagia, untuk musyawarah mufakat, itu sifatnya fleksibel. Sepanjang tidak melalui pemilihan langsung. “Sebenarnya tidak ada istilah deadlock untuk musyawarah mufakat. Kalau paruman pamucuk juga tidak diakui karena terindikasi hanya melibatkan orang-orang tertentu, bisa dilibatkan perwakilan tokoh atau krama dari masing-masing banjar atau masing-masing tempek. Semisal libatkan 10 krama dari masing-masing tempek. Tetapi kalau sudah dari awal disepakati musyawarah seperti apa, dan hasilnya sudah sesuai musyawarah, itu lah yang sah. Jadi musyawarah mufakat poin utamanya,” ucapnya.

Subagia menegaskan, terkait keharusan pemilihan bendesa secara musyawarah mufakat sejak adanya Perda Bali tentang Desa Adat di Bali yang ditegaskan kembali melalui SE Bendesa Agung MDA Bali tertanggal 18 November 2019, sudah disosialisasikan kepada para bendesa adat se-Kabupaten Jembrana. Begitu juga dilakukan sosialisasi langsung ke desa adat yang masa jabatan bendesa-nya sudah akan habis setelah adanya penegasan dari Bendesa Agung MDA Bali tersebut. Di mana pemilihan bendesa adat secara musyawarah mufakat, itu juga bertujuan mengedepankan semangat persatuan, saling menghargai, dan mencegah kepenting-kepentingan politik yang bisa merusak tatanan sosial adat di Bali.

“Termasuk di Perancak juga sudah kami peringatkan. Begitu juga yang lain-lain, yang masa jabatan bendesa-nya sudah mau habis, akan kami jajaki. Kalau tetap bersikukuh pemilihan langsung, hasilnya tidak sah. Jadi daripada bolak-balik, harusnya dari awal sudah dilakukan musyawarah mufakat,” kata Subagia. *ode

Komentar