nusabali

MUTIARA WEDA: Kebenaran Satu

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kebenaran-satu

Saat masa muda telah lewat, di manakah nafsu dan permainannya? Saat air menguap, dimanakah danau? Saat kekayaan menipis, di manakah orang-orang berkerumun? Saat kebenaran direalisasikan, di manakah samsara?

Vayasi gate kah kāmavikārah suske nike kah kāsārah
Ksine vitte kah parivāro jnate tattve kah samsārah.
(Bhaja Govindam, 10)

SAAT pohon-pohon ditebangi, di manakah hutan? Saat orang-orang tidak ada, di manakah masyarakat? Saat kereta berjalan di atas relnya, di manakah kecelakaan? Seperti itulah kira-kira pengandaian tambahan yang bisa diberikan. Apa artinya? Boleh dikatakan bahwa permainan nafsu, danau, samsara, hutan, dan masyarakat keberadaannya tidak real. Ia ada tetapi tidak nyata. Saat orang ingin mencari hutan, dia tidak bisa menghilangkan pohon-pohon. Orang tidak akan pernah menemukan hutan jika dia tidak mau pohon-pohonnya. Boleh dikatakan bahwa hutan sebenarnya tidak nyata adanya. Yang nyata adalah pohon-pohonnya. Demikian juga danau akan ada hanya ketika ada air yang menggenangi wilayah tertentu yang agak luas. Kita tidak bisa mengharapkan adanya danau jika kita menolak kehadiran air. Boleh dikatakan bahwa yang nyata adalah air, sementara keberadaan danau itu sendiri tidak nyata.

Dengan cara yang sama kelahiran berulang-ulang tidak akan pernah ada jika realisasi diri tercapai. Keberadaan samsara sebenarnya tidak nyata. Ia ada hanyalah sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan seseorang untuk mengenali dirinya yang sejati. Jadi, teks di atas ingin memberikan pesan bahwa pertama, kebenaran itu hanya satu, tidak ada kebenaran yang kedua. Kalaupun sesuatu muncul sebagai akibat sebuah keberadaan nyata, maka sesuatu itu hanya tampaknya saja ada. Vedanta menyebut ini sebagai Vivarta, tampaknya saja ada, tetapi keberadaannya tidak nyata. Ibarat fatamorgana, ia tampaknya saja ada, tetapi keberadaannya tidak nyata. Demikian juga masalah derita yang dirasakan hampir oleh sebagian besar manusia yang hidup. Derita tersebut dirasakan secara terus-menerus oleh karena ketidakmampuannya untuk mengenali bahwa dirinya yang sejati adalah kebahagiaan (anandam) itu sendiri. Keberadaan derita itu tidak nyata, yang nyata adalah kebahagiaan saja dan tidak ada kebenaran yang lain.

Pesan kedua adalah bahwa oleh karena keberadaan seperti permainan nafsu, derita, dan berbagai jenis kenikmatan duniawi tidak nyata, maka kita hendaknya tidak larut di sana. Untuk apa terjebak di dalam permainan nafsu jika hal tersebut tidak membawa kita ke mana-mana? Untuk apa menderita, jika pada akhirnya penderitaan tidak mampu membawa kita pada kesadaran tertinggi? Jika derita keberadaannya tidak nyata, lalu mengapa kita harus takut dengan penderitaan, sebab ketakutan itu sendiri akan menjadi jenis penderitaan baru. Maka dari itu, orang yang berusaha untuk mengatasi penderitaannya pada prinsipnya akan sia-sia. Mengapa? Sebab, hanya sesuatu yang nyata yang bisa diatasi. Jika derita keberadaannya tidak nyata, lalu bagaimana cara mengatasinya? Lalu apa yang mesti dilakukan agar derita tersebut hilang? Vedanta mengajarkan bahwa hanya dengan menyadari bahwa diri kita adalah kebahagiaan itu sendiri, maka derita tersebut akan hilang dengan sendirinya. Sama seperti halnya orang ingin menghilangkan kegelapan. Kita tidak bisa berbuat apapun terhadap kegelapan itu. Yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan sesuatu yang lain, yakni menyalakan cahaya. Hanya dengan menyalakan cahaya, gelap itu akan hilang dengan sendirinya.

Bagaimana caranya agar kita menyadari hal ini? Meskipun kita mengetahui secara kognitif bahwa penderitaan itu tidak nyata, tetapi ketika kita sedang berada dalam derita, kita tidak mampu menghalau derita itu dan kita tetap larut di dalamnya. Jadi, pesan ketiga yang hendak disampaikan oleh teks di atas adalah kita harus menerima apapun yang terjadi dalam hidup. Jika lagi senang, maka nikmati kesenangan itu, demikian juga ketika sedang menderita, kita juga mesti menikmati derita tersebut dengan cara yang sama. Hanya saja, bagaimana kita mampu menikmati penderitaan? Itu pertanyaan besar yang mesti dipecahkan oleh seseorang secara individu. Ini adalah masalah perennial (abadi), yang senantiasa ada sepanjang manusia itu ada. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar