nusabali

Balik Kampus, Dewa Palguna Disambut Bedah Buku

  • www.nusabali.com-balik-kampus-dewa-palguna-disambut-bedah-buku

Sepekan setelah purna tugas sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), Dr I Dewa Gede Palguna SH MHum, 58, kembali ke habitatnya sebagai dosen pengajar di Fakultas Hukum Unud, 14 Januari 2020.

DENPASAR, NusaBali

Kepulangannya ke almamater ini langsung disambut hangat lewat diskusi bedah buku karya Dewa Palguna di Aula Fakultas Hukum Unud, Jalan Pulau Bali No 1 Denpasar, Selasa (14/1) pagi.

Buku karya Dewa Palguna yang dibedah kemarin berjudul ‘Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan dan Perbandingan dengan Negara Lain’. Buku tersebut dibedah oleh 3 narasumber, masing-masing Dr I Gede Mahendra Wija Atmaja (Ahli Hukum Tata Negara FH Unud), Dr Ketut Putra Erawan (Executive Director Institute for Peace & Democracy), dan Prof Dr Eddie OS Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana FH UGM).

Buku ini membahas mengenai latar belakang membentuk lembaga MK di era Presiden Megawati tahun 2003, kewenangan MK, dan perbandingannya dengan negara lain, di mana yang dipilih adalah Jerman dan Korea Selatan. Buku ini sebetulnya sudah diterbitkan tahun 2018 lalu, namun belum sempat dibedah. Nantinya, buku ini bisa menjadi pegangan bagi mahasiswa S1, S2, dan S3 karena ada beberapa yang sifatnya filosofis dan menjelaskan lebih jauh sesungguhnya konsep dan filosofis terbentuknya MK.

Dekan FH Unud, Prof Dr I Made Arya Utama SH MHum, mengatakan diskusi bedah buku ‘Mahkamah Konstitusi, Dasar Pemikiran, Kewenangan dan Perbandingan dengan Negara Lain’ karya Dewa Palguna ini digelar dalam rangka menyambut secara penuh kembalinya sang pendekar hukum untuk bersama-sama membesarkan almamater. Nantinya, Dewa Palguna akan mengajar kembali Bidang Hukum Internasional di FH Unud.

“Dari kiprah dan track record beliau (Dewa Palguna), tidak kita ragukan lagi bagaimana karya dan pemikiran-pemikirannya dalam mengembangkan keilmuan, khususnya di Bidang Hukum Ketatanegaraan. Jadi, kegiatan ini bagi kami tentu sangat bermanfaat untuk peningkatan pengetahuan anak-anak kami, masyarakat, dan peserta diskusi,” tandas Prof Arya Utama.

Sementara, Dewa Palguna menyatakan sangat terharu atas penyambutan kembalinya ke habitat di Kampus FH Unud dengan gelaran diskusi bedah buku hasil karyanya. “Saya terharu dibuatkan acara ini oleh teman-teman Bagian Hukum Internasional FH Unud, setelah tahu saya akan kembali ke kampus usai bertugas di MK,” ujar Dewa Palguna seusai acara bedah buku kemarin.

“Ini merupakan sebuah kejutan. Artinya, walaupun saya sudah 5 tahun meninggalkan Fakultas Hukum Unud, ternyata saya tidak dilupakan. Saya diingat dan dirindukan untuk kembali,” lanjut pendekar hukum kelahiran Susut, Bangli, 24 Desember 1961 yang sempat dua periode menjadi hakim MK (2003-2008, 2015-2020) ini.

Sekembalinya ke kampus tercinta, Dewa Palguna mengaku akan mengajar sejumlah mata kuliah, seperti Hukum Internasional, termasuk Hukum Organisasi Internasional, Hukum Perjanjian Internasional, dan Hukum Diplomatik untuk jenjang S1. Sementara untuk jenjang S2 dan S3, Dewa Palguna belum tahu akan mengajar materi apa. Namun, ada kemungkinan dia akan mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara, sesuai pengalamannya yang pernah menjadi hakim MK.

“Saya tentu akan kembali mengajar dan melanjutkan menulis buku yang sekarang sedang dalam proses berkenaan bidang hukum saya dan Hahkamah Internasional,” ujar mantan Mahasiswa Teladan Unud 1986 yang menyelesaikan S1 Doktor Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI (tamat 2011) ini.

Bagi Dewa Palguna, tidak ada perbedaan metode pembelajaran dengan cara mengajarnya yang dulu. Tidak ada yang berubah dari caranya memberikan mahasiswa kesempatan untuk berpendapat ketika membahas situasi dan persoalan yang dihadapi Bali, negara, maupun dunia. Menurutnya, ini salah satu cara agar mahasiswa bisa melihat persoalan lebih aktual.

“Dari dulu saya mengajar mahasiswa untuk selalu melihat persoalan aktual, kemudian mendiskusikannya di kelas. Bagaimana pandangan mereka, saya persilakan mereka bebas berpendapat,” jelas ayah tiga anak dari pernikahannya dengan I Gusti Ayu Shri Trisnawati ini.

Dewa Palguna sendiri mengaku enggan melirik peluang maupun tawaran seperti terjun ke politik pasca purna tugas sebagai hakim MK. “Saya basicnya memang dosen, sama dengan jadi guru. Dunia saya di sini. Mungkin ada beberapa tawaran dan peluang di luar, tapi saya tidak terlalu tertarik. Saya hanya ingin kembali ke kampus untuk menemui mahasiswa-mahasiswa saya yang sudah lama saya tinggalkan,” katanya.

Bagi Dewa Palguna, baik menjadi dosen maupun hakim MK sama-sama memiliki peranan penting dalam kehidupan bernegara. Kedua profesi ini sama-sama memberikannya pengalaman berharga. “Dari segi menularkan ilmu, saya kira perasaan yang tidak bisa kita bayar adalah menjadi dosen. Tapi, kalau berbicara bagaimana menerapkan ilmu itu dan pada saat yang sama kita menyelesaikan persoalannya, ya lebih enak jadi hakim. Ilmuwan tugasnya menjelaskan, kalau hakim tugasnya memutuskan,” tegas pendekar hukum yang sempat menjadi anggota MPR dari Utusan Daerah 1999-2004 ini.

Selama bedah buku kemarin, selain membahas isi buku karyanya, Dewa Palguna juga banyak bercerita pengalamannya menjadi hakim MK. Misalnya, ketika dia bersedia kembali menjadi hakim MK 2015-2020, karena melihat proses seleksi yang transparan dan terbuka.

“Bahkan saya sampaikan kepada Bapak Presiden, andaikata saya dipilih, tidak melalui proses yang terbuka, mungkin saya tidak akan bersedia kembali ke MK. Sebab, ada beban besar yang ditanggung di sana. Anda punya kemampuan, tapi publik meragukan, hanya karena prosesnya tidak transparan. Menjadi beban bagi lembaga yang mencalonkan maupun orang yang dicalonkan,” katanya.

Saat menjadi hakim MK, kata Dewa Palguna, situasinya seperti perkataan Bung Hatta, ‘mendayung di antara dua karang’. Bila pertimbangannya terlalu hukum sekali, publik akan memandang MK terlalu legalistik. Sebaliknya, bila sedikit menyinggung ke politik, publik mengira MK mulai bermain politik. “Jadi, serba salah. Tapi, di situ juga sekaligus seninya, bagaimana membuat keputusan yang reasonable (masuk akal) sekaligus juga acceptable (bisa diterima) dan tegas,” jelas Dewa Palguna yang semasa kuliah sering dikira sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Unud, karena kegetolannya dalam urusan teater.

Selain itu, pengalaman penting bagi Dewa Palguna adalah menangani sengketa Pilpres 2019, yang menurutnya banyak hal lucu dan juga menguras tenaga. Saking lamanya sidang, Dewa Palguna sampai tidur di kantor. “Perselisihannya ini adalah soal jumlah. Kewenangan MK sudah jelas adalah tentang hasil Pemilu. Tapi, orang ingin coba-coba saja, dibilang ada pemilih siluman, inilah, intulah. Kalau Anda mau melihat hantu datang saja saat sengketa Pemilu. Ada banyak siluman di situ. Ada pemilih siluman, suara siluman, TPS siluman, banyak silumannya,” katanya disambut gelak tawa hadirin. *ind

Komentar