nusabali

Bahas Kenaikan BPJS, DPRD Buleleng Datangi Kemenkes RI

  • www.nusabali.com-bahas-kenaikan-bpjs-dprd-buleleng-datangi-kemenkes-ri

Sebelum Pemkab Buleleng mengagendakan lobi ke BPJS Pusat,  anggota DPRD Buleleng
melakukan konsultasi dengan BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.

JAKARTA, NusaBali

Menyikapi kenaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 berdampak pada pemegang Kartu Indonesia Sehat - Penerima Bantuan Iuran (KIS-PBI) APBD. Pasalnya, anggran yang disediakan Pemkab Buleleng yang berkolaborasi dengan Pemprov Bali hanya Rp 97 miliar. Jika diterapkan pada 317.224 jiwa pemegang KIS-PBI, maka hanya cukup 7 bulan saja. Atau jika mau diterapkan selama setahun, akan ada seratus ribuan jiwa terabaikan. Keruwetan BPJS inilah yang membuat lembaga DPRD Buleleng mengadakan konsultasi dan audiensi di BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI di Jakarta pada, Jumat (10/1/2020). Rombongan yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Buleleng Gede Suradnya, diterima oleh Doni Arianto, Kepala Bidang Jaminan Kesehatan, didampingi oleh staf Bidang Kesehatan, Hendrik Nurdiansyah.

Dalam pertemuan di ruang rapat lantai 14 Gedung Kemenkes itu, Gede Suradnya menjelaskan permasalahan yang terjadi di Kabupaten Buleleng sebagai dampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal ini, lanjut Suradnya, sangat tidak diharapkan karena berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diharapkan pemerintah mengupayakan penyelesaian terhadap persoalan tersebut. “Kenaikan iuran BPJS menimbulkan kekisruhan di daerah karena berdampak terhadap diblokirnya sekitar 143.000 peserta BPJS PBI APBD,” kata politisi asal Partai Gerindra ini.

Soal anggaran kolaborasi KIS-PBI antara Pemprov Bali dan Pemkab Buleleng sebesar Rp 97 miliar juga diutarakan oleh Gde Wisnaya Wisna hanya cukup untuk tujuh bulan saja. “Nah, yang lima bulan selanjutnya diperlukan skenario pemenuhannya,” pinta Gde Wisnaya Wisna, politisi Partai Hanura dari Kampung Anyar.

Gde Wisnaya Wisna pun berharap ada skenario yang diberikan agar warga pemegang KIS-PBI tidak dikorbankan hanya karena kurangnya anggaran APBD. Wisnaya pun mempertanyakan boleh-tidaknya daerah menyediakan anggaran tetapi tidak disetor ke BPJS. “Dana ini dimaksudkan untuk digunakan membayar biaya kesehatan manakala sewaktu-waktu ada warga yang tidak tercover PBI ada yang sakit,” usulnya.

Sementara itu kenaikan iuran BPJS juga dikritisi oleh Wayan Teren. Dia mempertanyakan soal iuran BPJS yang naik, namun dana kapitasi tidak naik. “Bagaimana mungkin fasilitas kesehatan bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kalau reward yang diberikan tetap tidak mengalami perubahan,” sorot politisi Hanura asal Sukasada ini.

Pada kesempatan itu politisi Partai Golkar Nyoman Gede Wandira Adi membandingkan konsep Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). “Waktu itu, Pemkab Buleleng hanya menyediakan dana penyertaan sekitar Rp 15 miliar per tahun. Hasilnya, semua masyarakat ber KTP Bali dapat terlayani dengan baik. Tetapi dengan diterapkannya JKN, kemudian JKBM diintegrasikan ke dalam JKN, anggaran yang disediakan oleh Pemkab justru berlipat, tetapi kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat malah menurun,” tanyanya.

Dan dengan kenaikan iuran BPJS, daerah disebutnya pusing menyediakan anggaran untuk pembayaran iuran PBI APBD. Diakui sudah ada pemecahan mencover PBI hingga bulan Juli. Namun sisanya sampai Desember 2020 masih belum ada solusi. “Darimana uangnya. Untuk itu, pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan agar memahami persoalan yang dihadapi di daerah,” pinta Gede Wandira.

Luh Hesti Ranita Sari juga menambahkan bahwa kepesertaan BPJS PBI APBD tidak serta-merta aktif jika UHC di bawah 100 persen, tetapi bisa menunggu 14 hari kerja baru aktif. “Setelah DPRD memberikan rekomendasi agar anggaran yang ada digunakan untuk membayar seluruh iuran PBI, maka kepesertaan BPJS baru diaktifkan. Hanya saja anggaran yang ada baru mencukupi untuk pembayaran PBI sekitar 7 bulan. Kami harus berpikir kembali untuk mendapatkan anggaran PBI hingga Desember 2020,” kata srikandi dari Partai Demokrat ini.

Menanggapi hal ini, Doni Arianto menegaskan bahwa daerah yang mendaftarkan penduduknya dalam PBI APBD, maka anggarannya perlu diupayakan. “Salah satu sumber anggaran yang bisa digunakan adalah pajak rokok. Kenaikan pajak/cukai rokok hendaknya digunakan untuk meng-cover pembayaran PBI tersebut,” kata Doni memberi solusi.

Sedangkan soal iuran PBI yang dibayarkan daerah, disebutnya bukan kewajiban daerah, melainkan pemerintah. Namun diakui bahwa apabila ada penduduk miskin yang belum ter-cover dalam PBI APBN, maka di-cover melalui APBD. “Selain dari rokok, Pemkab dapat pula menyediakan buffer anggaran, yaitu anggaran yang ditempatkan di SKPD , misalnya pada Dinas Sosial atau Rumah Sakit) yang ditujukan untuk menyediakan anggaran untuk membiayai penduduk yang sakit , yang tidak ter-cover dalam PBI,” kata Doni.

Dari audiensi di Jakarta ini, rencananya DPRD Buleleng akan melakukan dengar pendapat dengan BPJS Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Buleleng. “Ya, ini untuk memastikan segmentasi kepesertaan BPJS Kesehatan di Kabupaten Buleleng dan kondisi data PDKS setelah dilakukan perbaikan,” kata Gde Wisnaya Wisna. “Dan kami akan kawal ini, karena kami, khususnya dari Fraksi Hanura selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat Buleleng, termasuk soal KIS,” janji Gde Wisnaya Wisna. *

Komentar