nusabali

Lakukan Ritual Menari Kelilingi Pohon Pakai Topi Kukusan

  • www.nusabali.com-lakukan-ritual-menari-kelilingi-pohon-pakai-topi-kukusan

Empat staf termasuk Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Buleleng, I Wayan Duala Arsayasa, lakukan ritual kewanian di lokasi pohon wani roboh kawasan Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada

SINGARAJA, NusaBali

Peristiwa aneh terjadi setelah petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Buleleng mengevakuasi pohon wani tumbang yang menutup badan jalan di Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Minggu (5/1) petang. Pasca tangani pohon roboh, 4 staf BPBD Buleleng mengalami ‘kewanian’, dengan ciri gatal-gatal seperti seperti alergi makanan, merasakan panas menyengat di kulit hingga kulit terasa tebal. Mereka pun tempuh upaya niskala agar bisa sembuh, dengan ritual menari mengelilingi pohon sambil mengenakan topi kukusan.

Istilah ‘kewanian’ adalah warisan turun temurun bagi warga desa di daerah dataran tinggi, yang tidak cocok dengan getah atau serpihan pohon wani. Mereka yang tidak cocok ini biasanya mengalami gejala gatal-gatal yang sanagt hebat, rasa panas hingga kulit terasa tebal dan mati rasa. Hal itu pula yang dialami 4 staf BPBD Buleleng, termasuk Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD, I Wayan Duala Arsayasa.

Keempat staf BPBD Buleleng ini mulai merasakan dampak ‘kewanian’, sejak Senin (6/1). Dampak terparah dialami Putu Agra Kusuma, 37, yang wajahnya masih terlihat tebal dan membengkak hingga Selasa kemarin. Karena mengalami ‘kewanian’, 4 staf BPBD Buleleng ini langsung melaksanakan prosesi ritual mengelilingi pohon dengan mengenakan topis kukusan pada Anggara Paing Tolu, Selasa (7/1) atau dua hari pasca evakuasi pohon ani roboh. Ritual ini digelar di pohon wani yang posisinya tak jauh dari lokasi pohon tumbang dua hari sebelumnya.

Menurut Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Buleleng, I Wayan Duala Arsayasa, ritual kewanian ini dilakukan atas kesepakatan bersama. Pasalnya, 4 staf BPBD termasuk Wayan Duala sendiri sudah tidak kuat lagi menahan gatal-gatal disertai panas dan kulit tebal.

“Sebenarnya, sebelum eksekusi (evakuasi) pohon wani yang tumbang petang itu, kami sudah sempat berpikir ada risikonya, karena dulu pernah staf kami kena musibah serupa di Desa Galungan saat penanganan pohon wani tumbang. Tetapi, mau tidak mau kami harus melakukan penanganan pohon tumbang, pikirkan risiko belakangan,” jelas Wayan Duala kepada NusaBali seusai ritual mengelilingi pohon sa-mbil mengenakan topi kukusan di Desa Pegadungan, Selasa kemarin.

Wayan Duala menyebutkan, dia dan 3 rekannya pilih melakukan ritual kewanian, belajar dari pengalaman staf BPBD sebelumnya yang kena penyakit aneh tanpa diketahui penyebabnya, setelah tangani pohon wani roboh di Desa Galungan tahun 2017 silam. Salah satu staf BPBD yang alami peristiwa serupa kala itu adalah Kadek Dwi Hendra. Ternyata, gatal-gatal dan bibir tebal yang doalami Kadek Dwi Hendra cs kala itu langsung hilang setelah menggelar ritual kewanian.

“Percaya tidak percaya, karena kita hidup di Bali dan kemungkinan pohonnya masih memiliki bayu, sehingga tidak ada salahnya kami mencoba lakukan ritual kewangian ini. Entah itu mitos atau keyakinan, yang jelas dari pengalaman staf kami terdahulu, ritual kewangian ternyat manjur menghilangkan gatal-gatal. Daripada kondisi memburuk, maka kami laksanakan ritual kewanian ini,” papar Wayan Duala.

Ritual kewanian ini diawali dengan menghaturkan canang di dekat pohon wani yang tumbang. Di situ Wayan Duala cs memohon maaf secara niskala atas kesalahan dan tindakan yang dilakukan tanpa sengaja. Selanjutnya, mereka mengenakan topi kukusan (anyaman bambu yang dipakai menanak nasi, Red) bekas dan langsung menari-nari sambil mengelilingi pohon wani sebanyak tiga kali. Ritual mengelilingi pohon wani ini diiringi dengan gambelan dari suara teman-temannya yang menyaksikan ritual kewanian di lokasi.

Sementara itu, satf BPBD Buleleng yang kondisinya cukup parah, Putu Agra Kusuma, mengaku merasa gatal-gatal sejak Senin malam atau sehari pasca evakuasi pohon wani roboh. Hingga kemarin, wajahnya masih memerah dan dipenuhi bentolan yang terasa gatal dan panas.

Menurut Agra Kusuma, gatalnya semakin parah setelah muncul rasa panas dan tebal di bagian bibir lalu menyebar ke seluruh tubuh. Agra Kusuma mengatakan, saat evakuasi pohon wani tumbang, dirinya pegang cainsaw. “Nggak terasa kena apa, entah serbuk kayu atau getah, kok saya jadi begini. Rasa gatalnya sangat menyiksa. Padahal, saat itu saya sudah pakaian lengkap, pakai sepau, baju lengan panjang, slop tangan, celana panjang, dan topi. Cuma wajah yang tidak tertutup,” papar Agra Kusuma.

Nah, hanya beberapa menit setelah melakukan ritual menari mengelilingi pohon wani sambil mengenakan topi kukusan bekas, Selasa kemarin, Agra Kusuma langsung merasa lebih nyaman. Rasa gatal dan tebal wajahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit.

Sementara, Kepala Desa (Perbekel) Pegadungan, Ketut Sudiara, mengatakan istilah ‘kewanian’ memang sudah dikenal secara turun temurun oleh warganya. Peristia kewanian seperti ini sering menimpa warga pegunungan yang tidak cocok dengan pohon wani. “Istilah Bali-nya sing asi (tidak coock, Red),” jelas Ketut Sudira di lokasi, Selasa kemarin.

Menurut Sudiara, ritual wewanian dengan menari mengelilingi pohon wani sambil kenakan topi kukusan ini belum pernah dilakukan di Desa Pegadungan. Selama ini, warga yang gata-gatal akibat kewanian biasanya lakukan pengobatan tradisional dengan meraupkan serbuk bata merah atau daun cokokan (menyerupai daun wani) yang dihancurkan, lalu dipoleskan ke bagian tubuh yang gatal. *k23

Komentar