nusabali

RSUP Sanglah Tangani 41 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak

  • www.nusabali.com-rsup-sanglah-tangani-41-kasus-kekerasan-perempuan-dan-anak

Selama tahun 2019, Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak (P2TP2A) RSUP Sanglah menangani sebanyak 41 kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di lingkup rumah tangga.

DENPASAR, NusaBali

Mengingat kasus kekerasan bagai fenomena gunung es, setiap rumah sakit juga ikut berperan dalam melaporkan kasus kekerasan yang ditangani bila mencapai kasus berat.

Ketua P2TP2A RSUP Sanglah, dr Ida Bagus Putu Alit SpFM (K) DFM, menjelaskan, selama 2019, sebanyak 41 kasus tersebut di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan dewasa sebanyak 11 kasus dan dua di antaranya meninggal dunia, pemerkosaan 5 kasus, kekerasan seksual pada anak 21 kasus, dan kasus kekerasan pada anak 4 kasus. Semua kasus tersebut sudah diteruskan ke jalur hukum.

Jumlah kasus berfluktuasi jika dibandingkan dengan tahun 2018, di mana mencapai 58 kasus. Pada tahun 2018, tercatat kasus KDRT terhadap perempuan dewasa sebanyak 16 kasus, pemerkosaan 22 kasus, dan kekerasan seksual pada anak sebanyak 20 kasus.

Menurut dr Alit, kasus yang ditangani oleh P2TP2A adalah kasus domestic violence atau kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini dianggap kasus yang masuk kotak pandora (Pandora Box Cases). Artinya penuh misteri sehingga kasusnya seperti fenomena gunung es, yang susah sekali untuk diungkap. Kesulitan tersebut dilatarbelakangi tiga hal yakni hubungan pelaku dengan korban bersifat spesifik, seperti antara ayah dengan anak, suami dengan istri, dan sebagainya. Kedua, tempat kejadiannya adalah di lingkup rumah tangga yang sifatnya privasi.

“Korban juga enggan sekali melaporkan diri, sehingga terjadi lingkar kekerasan (cycle of violence). Ada siklus kekerasan yang terjadi, yang pada akhirnya pelaku akan minta maaf. Maka korban tidak akan pernah melaporkannya. Sesuai fenomena gunung es, yang kita dapatkan di rumah sakit pasti jauh lebih kecil dibandingkan kejadian di masyarakat,” ujarnya, Senin (30/12).

Dalam pelaporan kasus kekerasan, kata dr Alit, sesungguhnya setiap rumah sakit wajib melaporkan dugaan kekerasan berdasarkan pola luka dari hasil pemeriksaan medis yang dilakukan. Mekanismenya, setiap rumah sakit wajib melaporkan kasus kekerasan jika terjadi pada anak-anak. Sedangkan untuk kasus kekerasan yang menimpa korban dewasa, pelaporan tergantung pada derajat lukanya, yakni sampai mengakibatkan luka berat hingga mengancam nyawa. “Kalau derajat lukanya ringan atau sedang, itu masuk delik aduan. Jadi korban sendiri disarankan melapor. Sedangkan kalau yang dialami luka berat, itu RS yang melaporkan. Derajat luka berat itu ada standarnya, di antaranya sampai mengancam nyawa, menyebabkan kecacatan menetap, menghilangkan salah satu fungsi panca indera, kelumpuhan, dan kelainan mental lebih dari 4 minggu,” terangnya. *ind

Komentar