nusabali

Saat Hujan Atap Ditambal Plastik, Air Bersih Minta ke Tetangga

Keluarga Miskin di Baturiti, Tabanan, Berlima Tempati Gubuk Berdinding Bambu

  • www.nusabali.com-saat-hujan-atap-ditambal-plastik-air-bersih-minta-ke-tetangga

Pasutri I Ketut Karya dan Ni Ketut Arianis memiliki 3 anak, semuanya laki-laki. Anak pertama usia 17 tahun dan anak kedua umur 13 tahun, kini putus sekolah.

TABANAN, NusaBali

Potret kemiskinan masih ditemui di Kabupaten Tabanan, wilayah yang berjuluk lumbung beras. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak yang semuanya laki-laki, di Banjar Baturiti Kaja, Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Tabanan, harus tidur berdesakan di sebuah gubuk berdinding bambu berukuran 5 meter x 4 meter, beratap seng, berlantai tanah.

Mereka adalah pasutri I Ketut Karya, 50, dan Ni Ketut Arianis, 48, yang kesehariannya bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tak menentu. Tiga putranya masing-masing, I Putu Weda Ambara Yoga, 17, I Made Gangga Karmayana, 13, dan I Nyoman Bayu Anta Darmawan, 11. Mereka berlima tinggal di gubuk berdinding bambu berukuran sekitar 5 meter x 4 meter, di atas tanah seluas 2,5 are.

Pantauan di lokasi, Jumat (27/12), kondisi gubuk yang ditempati keluarga ini memang sangat tidak layak. Gubuk yang didirikan di atas tanah seluas 2,5 are itu berdinding bambu yang dibelah, atapnya menggunakan seng dan asbes. Antara kamar dan dapur jadi satu, namun ada sekat yang memisahkan. Lantainya masih berupa tanah, sedangkan kamar mandinya masih kamar mandi darurat, belum ada WC.

Letak gubuk ini di tengah kebun, jauh dari pemukiman penduduk. Jarak dengan pemukiman warga sekitar, masih sekitar satu kilometer.

Dan parahnya saat hujan deras disertai angin, gubuk mereka kerap bocor. “Kalau hujan angin pasti bocor. Saya tambal pakai plastik agar airnya tidak masuk ke kamar,” ujar Ni Ketut Arianis kepada NusaBali, Jumat kemarin.

Mirisnya karena kondisi perekonomian keluarga yang susah, membuat anak sulungnya Putu Weda Ambara Yoga harus berhenti sekolah untuk membantu ekonomi keluarga. Dia berhenti sekolah saat kelas 2 SMP. Semestinya di usianya sekarang yang 17 tahun, dia duduk di bangku kelas 2 SMA/SMK. Namun dia memilih bekerja sebagai buruh bangunan.

Sedangkan anak kedua pasutri ini, I Made Gangga Karmayana, tidak mau melanjutkan sekolah. Dia sempat sekolah di SMPN 1 Baturiti, namun di tengah perjalanan memilih tidak melanjutkan sekolah. Sehingga hanya sampai kelas 1 SMP. Sedangkan anak bungsu, I Nyoman Bayu Anta Darmawan, saat ini duduk di kelas VI SDN 4 Pekarangan, Baturiti.

Sebelum menempati rumahnya yang sekarang di Banjar Baturiti Kaja, Desa Baturiti, keluarga ini hidup nomaden alias berpindah-pindah. Mereka selalu numpang membuat bedeng di rumah warga. Seingat Ni Ketut Arianis, mereka sudah empat kali pindah tempat tinggal. Selama menumpang di rumah warga, mereka hidup tanpa listrik. Untuk penerangan, hanya menggunakan lampu sentir atau lampu minyak.

Berkat bantuan kakak kandung Ni Ketut Arianis, Ni Wayan Kertiasih, keluarga ini bisa membeli tanah. Di atas tanah yang dibeli tahun 2017 itulah, kini berdiri gubuk berdinding bambu yang mereka tempati berlima. Nah, untuk membeli tanah tersebut, keluarga ini harus ngutang di salah satu bank. Utang itu belum lunas hingga saat ini.

Meski gubuk bambu, namun sudah dilengkapi dengan listrik sejak awal Januari 2019. “Sebelum ada listrik, kami gunakan lampu sentir untuk penerangan di malam hari,” imbuh Ni Ketut Arianis.

Menurut Ni Ketut Arianis, sebenarnya dia bersama keluarganya berasal dari Banjar Kapit, Desa Nyalian, Kecamatan/Kabupaten Klungkung. Setelah menikah dan tinggal beberapa hari di Klungkung, Ni Ketut Arianis dan suaminya I Ketut Karya, memutuskan kembali merantau ke Tabanan.

Sebab I Ketut Karya sewaktu bujang menjadi buruh di Tabanan, kemudian terpikat oleh Ni Ketut Aranis yang merupakan warga asli Banjar Baturiti Kaja, Desa Baturiti.

Karena sudah lama tinggal di Tabanan, mereka memutuskan menjadi warga adat Banjar Baturiti Kaja. “Saya lupa tahun menikah, yang jelas usai menikah di Klungkung, kami memutuskan untuk kembali merantau ke Tabanan. Sekarang kami sudah menjadi warga Baturiti,” ucap Ni Ketut Arianis.

Diceritakannya, kesehariannya dia membantu bekerja sebagai tukang suun pasir dan batu. Penghasilannya tak menentu, kadang sehari hanya mendapat upah Rp 50.000, dan jika full bekerja baru mendapatkan upah Rp 100.000. Sementara suaminya, Ketut Karya kesehariannya sebagai buruh tani dan mendapatkan upah kisaran Rp 50.000 – Rp 100.000.

Beruntung masih ada anak sulungnya yang mau membantu bekerja hingga memutuskan berhenti sekolah. Anak sulungnya tersebut bekerja sebagai buruh bangunan, ikut sang paman. “Sebelumnya kami tidak punya televisi. Putu yang berusaha beli, kasihan kepada adiknya kalau nonton TV ke tetangga terus,” tuturnya.

Ni Ketut Arianis sebenarnya kasihan kepada tiga putranya, karena sebagai orangtua belum bisa membahagiakan anak-anaknya. Apalagi anak keduanya, Made Karmayana mendadak tidak mau melanjutkan sekolah. Hal itu makin membuat Ni Ketut Arianis merasa sedih.

Sementara mengenai kebutuhan air bersih, keluarga ini masih mengandalkan air hujan untuk mandi. Di depan rumah ada drum bekas yang dipakai untuk menampung air hujan. Air hujan itu dipakai untuk mandi. Untuk keperluan memasak dan minum, mereka minta air ke tetangga. “Saya biasa minta air ke Pak Karsu dan Pak Somat. Masih dibolehkan tidak bayar, kadang juga sering dibantu berupa sayur,” akunya.

Anak ketiga pasutri tersebut Nyoman Darmawan mengaku tidak mengapa tidur berdesakan. “Tidak apa, malah hangat,” ujarnya sembari mengaku kerap bantu kakaknya menyabit rumput karena memiliki dua ekor sapi.

Dikatakannya, dia tak malu dengan kondisi keluarganya. Dia giat belajar agar tidak sampai putus sekolah. “Cita-cita saya nanti ingin jadi arsitek, karena saya suka menggambar,” ucapnya.

Di sisi lain, Perbekel Baturiti I Ketut Matra mengatakan keluarga tersebut memang keluarga kurang mampu. Keluarga ini sudah mendapat bantuan berupa beras untuk keluarga miskin (raskin) setiap bulan dan kartu KIS (Kartu Indonesia Sehat). “Termasuk sudah masuk program keluarga harapan (PKH),” ujarnya.

Namun untuk bantuan bedah rumah belum terealisasi. Sebelumnya sudah sempat diusulkan, karena dulu keluarga ini belum memiliki lahan pribadi sehingga belum bisa. Untuk dapat bantuan bedah rumah harus punya lahan pribadi. “Kami punya usulan bedah rumah ke provinsi lagi 15 usulan, akan kami koordinasikan,” ujarnya.

Mengenai bantuan air bersih, pihaknya akan mengusahakan dibantu lewat DAK di tahun 2020. “Kita coba di DAK mudah-mudahan bisa masuk. Kalau PAM tidak bisa masuk, nanti diusahakan Pamsimas. Soalnya Desa Baturiti sangat luas, jarak rumah satu dengan rumah yang lain lumayan jauh. Mudah-mudahan bisa masuk ke sini (jaringan sambungan airnya, Red),” tutur Ketut Matra. *des

Komentar