nusabali

Seni sebagai Kebutuhan Psikologis ala Wayan Suklu

  • www.nusabali.com-seni-sebagai-kebutuhan-psikologis-ala-wayan-suklu

Karya yang dihasilkan Suklu adalah refleksi kebutuhan psikologisnya. Karena seiring bertambah umur, bertambah pula kebutuhan psikologisnya.

DENPASAR, NusaBali.com
Berkesenian adalah salah satu upaya memenuhi kebutuhan psikologis. Begitulah yang diakui I Wayan Sujana ‘Suklu’. Seniman yang kini menginjak usia lebih dari separuh abad ini merasa semakin bertambahnya umur, bertambah pula kebutuhan psikologis. "Seiring berjalannya waktu umur saya terus bertambah, bertambah pula kebutuhan psikologis saya. Jadi karya yang saya buat adalah refleksi dari kebutuhan psikologis saya," ujarnya membuka perbincangan dengan NusaBali.com, Selasa (17/12/2019) di ISI Denpasar.

Saat ditemui ia membawa setumpuk surat kabar bisnis internasional asal Britania Raya, Financial Times Weekend yang penuh goresan. "Termasuk ini. Koran ini saya gunakan medium untuk berkarya sebagai pemenuhan kebutuhan psikologis," tunjuknya. Seniman berambut gondrong ini tak pernah jauh-jauh meletakkan potongan-potongan koran bekas tersebut dari sisinya.

Di sela-sela kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri mengeksplorasi metode drawing di atas teks tersebut. "Sudah hampir 15 tahun saya tekuni. Jadi saya hampir setiap tahun membuat itu," kata Suklu. Ia melakukan drawing itu dengan kesadaran ingin membangunkan alam pikiran bawah sadar. "Ketika drawing saya tidak menggunakan pikiran, hanya ekspresi imaji hati. Tidak ada refrensi akan membuat objek seperti manusia, binatang, atau lainnya," sambungnya.

"Saya awali dengan menggores garis kemudian merespon goresan itu. Menjadi apa nantinya sangat tergantung konteks suasana saat itu, lingkungan apa yang mempengaruhi dan memori apa yang saya ingat," terang Suklu. Drawing yang tidak biasa ini membawanya dalam pameran tunggal November 2017 lalu di Bentara Budaya Bali. Saat itu ia menggunakan novel sebagai medium goresnya.


Malang Melintang
Nama I Wayan Sujana 'Suklu' telah lama malang melintang di ranah seni rupa. Ia berkesempatan menggelar sejumlah pameran tunggal. Di antaranya adalah pameran ‘Panji, Antara Tubuh Dan Bayangan’, IMF International Art Event 2018; pameran ‘Intermingle Art Project, Light Perterrent’ pada 2017; pameran di Citta Kelangen, ISI Denpasar bertajuk ‘Intermingle Art Project, Art Fashion’ tahun 2017; serta pameran ‘Sayap dan Waktu’ di Komaneka Fine Art Gallery pada 2016.

Suklu juga banyak berpartisipasi dalam beberapa pameran bersama skala nasional dan internasional, seperti pameran ‘Kontraksi: Pascatradisionalisme” di Galeri Nasional Indonesia April 2019; ‘Balinesse Masters: Aesthetic DNA Trajectories of Balinese Visual Art’ Mei 2019 di ABBC Building, ‘Drawing and Communication’ pada tahun 2018 di Okinawa Prefectural University of Arts, Jepang; dan ‘The Garden’ di The Amerika Club, Singapura.

Belakangan ini Suklu aktif mengeksplorasi medium tiga dimensi dalam kekaryaannya. "Tahun 2000an awal saya memiliki kesadaran untuk 'keluar' dari medium dua dimensi dan mencoba ke tiga dimensi. Itupun karena saya merasa di medium dua dimensi belum cukup mewadahi gagasan-gagasan berkesenian," ujarnya mengakui.

Awalnya ia mencoba dengan medium plat, kayu, batu, hingga akhirnya bambu. Salah satu buah karyanya yang menggunakan medium bambu bertajuk ‘Alphabet Moles’, saat ini menjadi salah satu Facade (karya utama) yang menghiasi Art Bali 2019 di ABBC Building, Nusa Dua. Instalasi bambu ini bukanlah yang pertama ia buat. Pada 2013 lalu ia berhasil menjuarai Festival Internasional Arsitektur Bambu Lombok ( LIBAF).

Lingkungan dan Keluarga
Suklu mengakui lingkungan dan keluarga tempat ia tumbuh di DesaTakmung, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung sangat mempengaruhinya berkesenian. "Awal saya mengenal kesenian dari justru dari tradisi-tradisi di desa," kenangnya. Di Bali, jelasnya, upacara tradisi selalu berkaitan dengan kesenian.

"Mulai dari membuat bade tempat ngaben, membuat lukisan wayang, membuat ukiran, anyaman, dan sebagainya," paparnya. Ia menyebutkan kehadiran komunitas-komunitas itu memberi langkah awalnya di seni rupa. "Kebetulan di banjar ada pelukis wayang yang bisa saya lihat. Kalau saya ingin melihat lebih detail saya bisa ke Kamasan," kenangnya lagi.

Ia bercerita, sang ayah, I Ketut Senu dulunya adalah perajin angkul-angkul. Suklu menyaksikan saat itu ayahnya tidak memakai kertas dan langsung menggambar desainnya di tembok. "Sesungguhnya itu sekarang kan seni mural kontemporer, tapi mereka membuat itu karena keterbatasan tidak punya kertas. Adanya tembok putih sebagai medium menggambar," ujarnya tertawa.

Bahkan keluarga juga memfasilitasinya untuk menempuh pendidikan seni. Suklu menamatkan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Denpasar tahun 1987 kemudian melanjutkan S1 Penciptaan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar 1992 hingga 1997. Selanjutnya ia menyelesaikan Masternya di Institut Teknologi Bandung pada  2010.

Sejak 2011 Suklu mengembangkan Komunitas Batubelah yang diasuhnya menjadi BatuBelah Art Space (BBAS). Dalam setiap kegiatan kesenian di sana ia selalu berusaha melibatkan warga lokal. Baginya itu adalah usaha mendekatkan masyarakat dengan apresiasi seni kontemporer.

Suklu juga menyebutkan BatuBelah Art Space dibuat sebagai pertanggungjawabannya menjadi salah satu pengajar di salah satu kampus seni. "Saya berpikir di kampus itu hanya untuk memproduksi seseorang untuk bisa membuat karya. Kok kampus tidak menyiapkan ketika mereka sudah bisa membuat karya seni bagaimana setelahnya, bagaimana mempresenting karya kemudian menjual kepada siapa," ujarnya.

Untuk menjembatani hal itu ia membikin BatuBelah Art Space sebagai ruang mengasah kemampuan mahasiwanya untuk meregulasi, menyediakan ruang untuk berpameran, dan menjalin networking. "Artinya metode saya ubah. Ketika akhir kelas, ayo karya yang sudah dibuat dipamerkan di BatuBelah. Saya undang publik, kolektor untuk ke sana. Jadi bergaulah mereka (mahasiswa) di sana," ungkapnya. Ia juga tercatat sebagai pendiri Komunitas Patung Padas Batubelah (KPPB) dan Komunitas Lukis Kaca Batubelah (KLKB).*has


Komentar