nusabali

MUTIARA WEDA: Mendengar Anak Kecil?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-mendengar-anak-kecil

Meskipun kata seorang anak, jika itu masuk akal, harus diterima. Semua yang lainnya harus ditolak tidak ubahnya seperti sehelai rumput sekali pun itu berasal dari mulut Brahma, Sang Pencipta.

Yukti yuktam upadeyam vachanam balakādapi,

Anyad trinamiva tyajyam api yuktam padmajānanā
(Yoga Vasistha, 2.18.3)

KADANG, kebenaran itu kesepian karena tidak ada yang mau mengajaknya meskipun sekadar jalan-jalan. Mengapa demikian? Karena kebenaran itu menyakitkan, sungguh tidak mengenakkan, tidak sesuai dengan keinginan kita. Dalam kehidupan kita sehari-hari, hal tersebut kerap dialami. Sungguh sulit berada agar tetap pada jalur kebenaran. Ini bukan berarti kebenaran tidak boleh dilalui oleh semua orang, atau kebenaran tidak mau menerima semua orang, melainkan kita tidak siap berada dalam jalur itu. Banyak ketidaknyamanan yang dirasakan jika kita berada di dalamnya. Meskipun kita sebagian besar tahu mana yang benar dan mana yang salah, kadang kita susah untuk mau berjalan di jalan yang benar dan membiarkan diri untuk berjalan di jalan yang salah. Itu memang terjadi, sering sudah terjadi, saat ini pun bisa terjadi dan kemungkinan benar di masa yang akan datang pun tetap terjadi.

Satu kasus diberikan oleh teks di atas. Tampaknya sederhana dan ringan, tetapi jika itu dipraktikkan akan susah dan berat. Mana bisa kita mau menerima pelajaran dari seorang anak, apalagi dalam hidup kita sudah terbiasa menggurui. Hal ini juga bisa diaplikasikan dalam banyak kejadian lain. Misalkan, seorang penulis baru, yang belum terkenal, yang belum pernah tampak sebelumnya, kemudian menulis sebuah ide atau pemikiran yang cemerlang, yang menyangkut kehidupan orang banyak. Tulisan tersebut pasti berlalu begitu saja. Bandingkan jika yang menulis adalah penulis yang telah terkenal? Meskipun pelukis pemula menghasilkan karya luar biasa jenius, pamornya tetap kalah jika dibandingkan dengan karya pelukis terkenal, meski karyanya dikerjakan terburu-buru. Kepala kampung memerintahkan masyarakatnya untuk tidak membuang sampah sembarangan, akan ditanggapi berbeda oleh masyarakat itu jika perintah yang sama dikeluarkan oleh gubernur atau presiden.

Di dalam rumah tangga, orangtua kadang susah mendengar kata-kata anaknya, meskipun anaknya bicara benar. Orangtua merasa bahwa dirinya sudah hebat yang mestinya mengajari anaknya, bukan anak yang mengajari dirinya. Seperti sebuah kasus, anak bilang begini, “Ma jangan pegang HP terus, nanti matanya rusak!”. Ibunya sering marah menanggapi itu dan mengatakan “kamu anak kecil berani merintah mama ya!” Padahal dulu, ibunya yang mengajarkan agar anaknya tidak main HP terus. Kontennya bisa sama, tetapi kita bisa mengacuhkan yang satu dan kemudian menerima yang lain, karena kita melihat siapa yang mengatakannya. Teks di atas sepertinya mencoba untuk membalikkan hal itu dengan mengatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran. Kebenaran bukan ditentukan oleh siapa yang mengucapkan atau yang mengeluarkannya, melainkan benda atau objek atau ide yang dikeluarkan itu.

Ini pelajaran sangat sederhana, tetapi memerlukan kebijaksanaan yang tinggi untuk melaksanakannya. Orang susah bahkan tidak bisa belajar dari bawahan, anak yang lebih kecil, dari mereka yang tampaknya hina, dan dari mereka yang tampaknya dari ras inferior. Ketika kita sudah merasa besar, dengan kesombongan yang muncul dari kebesarannya itu, ia tidak lagi mampu mengakses pelajaran dari hal-hal yang sederhana. Sungguh ini adalah sesuatu yang telah laten di dalam diri, sadar atau tidak. Mereka yang menyadari, masih juga tidak berdaya, apalagi mereka yang tidak.

Apa yang mesti dilakukan? Kita tidak perlu terlalu larut memikirkan teks di atas, karena pemikiran terhadap teks ini hanya akan membuat sebuah gugusan pengetahuan intelek, dan pengetahuan itu bisa tumbuh menjadi sebuah kesombongan yang baru. Kita bisa mengajarkan kepada orang lain bahwa kita mesti harus menerima kebenaran meskipun diucapkan oleh anak kecil, tetapi kita sendiri tidak akan bsia melakukannya, karena melaksanakan ini bukan ditentukan oleh pengetahuan intelektual tentangnya, melainkan ditentukan oleh seberapa bijaksana diri kita telah dibuat oleh kehidupan. Jika kita cukup bijaksana, meskipun kita tidak mengenal teks di atas, perilaku kita akan tetap seperti itu. Tetapi, meskipun kita setiap saat mengajarkannya, jika kesombongan, keserakahan, keangkuhan masih menjadi poros kehidupan kita dan kebijaksanaan belum cukup kuat, pernyataan di atas hanya berupa teks saja dan kita tetap tidak bisa belajar dari orang yang dirasa lebih rendah dari diri kita. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta   

Komentar