nusabali

Kaki Diamputasi Pasca Ditembaki Kelompok Ali Kalora

Aipda Andrew Mahaputra, Polisi yang Sempat Memburu Teroris di Poso

  • www.nusabali.com-kaki-diamputasi-pasca-ditembaki-kelompok-ali-kalora

Saat diserang gerombolan teroris kelompok Ali Kalora di perbukitan Poso, Sulawesi Tengah, 31 Desember 2018 malam, Aipda Andrew Mahaputra yang dalam kondisi terluka tembak pilih melakukan perlawanan sambil sembunyi dari balik bongkahan batu

DENPASAR, NusaBali

Penumpasan teroris kelompok Ali Kalora yang bersarang di perbukitan Salogose, Kecamatan Sausu, Poso, Sulawesi Tengah harus dibayar mahal oleh Aipda Andrew Mahaputra, 44. Polisi asal Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng ini terpaksa harus diamputasi kaki kanannya, setelah tertembak peluru tajam teroris, 31 Desember 2018 lalu.

Aipda Andrew Mahaputra sudah menjalani amputasi di RS Sanglah, Denpasar, 17 Januari 2019 lalu. Pasca amputasi, polisi kelahiran 8 Mei 1986 ini kini ditugaskan di Klinik Biddokkes Polda Bali. Jika kondisinya kurang sehat, dia dibebaskan untuk tidak masuk kerja.

Ditemui NusaBali di ruah kerjanya di Klinik Biddokkes Polda Bali, Jumat (29/11) pagi, Aipda Andrew Mahaputra sempat menceritakan sekilah perjalanan kariernya sebagai anggota Polri, sampai akhirnya tertembak komplotan teroris. Aipda Andrew Mahaputra sendiri merupakan anak dari pasangan Kompol Purn I Gede Ngurah Sugandhi (anggota Polri) dan Mince Lembang.

Aipda Andrew menyelesaikan pendidikan kepolisian pada Gelombang I Diktukba Polri di Watukeso, Jawa Timur, tahun 2005. Dia langsung ditugaskan di Resimen Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Setelah setahun di Resimen Brimob Kelapa Dua, Aipda Andrew kemudian pindah tugas menjadi anggota organik Sat Brimob Polda Sulawesi Tengah, April 2006.

Berselang 12 tahun kemudian, tepatnya Desember 2018, ayah tiga anak dari perni-kahannya dengan Ni Luh Maharini bergabung dalam Tim Operasi Tinombala (terdiri dari TNI dan Polri), untuk menumpas teroris kelompok Ali Kalora di wilayah perbukitan Poso. Petaka terjadi pada 31 Desember 2018, ketika Aipda Andrew tertembak peluru tajam kelompok teroris Ali Kalora di betis kanan dan punggung kiri atas hingga tembus ke dada.

Sehari sebelum tertembak, Minggu, 30 Desember 2018 siang, Aipda Andrew yang bertindak sebagai Danru Intelmob Polda Sulteng dan Tim Kejar mendapat informasi dari masyarakat tentang penemuan kepala manusia tanpa badan di kawasan hutan Salogose, Kecamatan Sausu, Poso. Informasi itu kemudian dilaporkannya ke Kasat Brimob Polda Sulteng (saat itu), Kombes Pol Susnadi.

Mengatensi kejadian itu, Kombes Susnadi memerintahkan Aipda Andrew bersama 9 anak buahnya yang tersebar di Poso sampai Parigi untuk berangkat ke lokasi penemuan kepala manusia. Regu yang dipimpin Aipda Andrew diperintahkan untuk naik ke sarang teroris kelompok Ali Kalora. “Selain itu, kami juga ditugaskan menyisir perbukitan untuk mencari badan dari kepala manusia tersebut,” kenang Aipda Andrew.

Sebagai prajurit Polri, Aipda Andrew bersama 9 anak buahnya ikuti perintas atasan untuk naik ke TKP temuan kepala manusia, malam itu juga sekitar pukul 19.30 Wita. Untuk mencapai lokasi TKP di atas perbukitan, dibutuhkan waktu 2 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari pusat kota kecamatan. Aipda Andrew dan timnya tiba di TKP malam sekitar pukul 21.30 Wita.

Malam itu juga, Aipda Andrew berhasil menemukan kepala manusia yang tergeletak di Jembatan Salobose. Sementara tubuhnya ditemukan di pinggir sungai tepat bawah jembatan tersebut. "Mayat itu merupakan warga kampung Salobanga, bernama Anang. Korban adalah earga dari Suku Toraja, yang kesehariannya mendulang emas di sungai di bawah jembatan itu,” papar Aipda Andrew.

Karena sudah larut malam, Aipda Andrew bersama anak buahnya memutuskan untuk bermalam di TKP. Keesokan harinya, Senin, 31 Desember 2018 pagi pukul 07.00 Wita, mereka turun dari perbukitan membawa mayat korban dengan menggunakan mobil pick up. Sebelum mobil pick up bergerak, Aipda Andrew selaku Danru ditemani seorang rekannya, Bribda Baso, memilih turun lebih dulu. Keduanya turun menggunakan sepeda motor untuk mengecek situasi di jalan yang akan dilintasi mobil pengangkut mayat yang dikawal 8 anggotanya.

Setibanya di Bukit Pantat Kapal, Aipda Andrew bersama Bripda Baso dihadang teroris mengginakan kayu. Mereka dihadang teroris kelompok Ali Kalora, yang saat itu sedang diburu Tim Operasi Tinombala. Karena kayu sebesar paha orang dewata itu melintang di jalan dan dianggap mempengaruhi proses evakuasi mayat, Aipda Andrew dan temannya pun berhenti untuk menyingkirkannya.

Selesai menyingkitrkan kayu yang melintang di jalan tersebut, Aipda Andrew dan Biprda Baso berniat kembali melanjutkan perjalanan naik motor. Namun, baru saja mereka di atas motor, tiba-tiba terdengar tembakan 4 kali dari atas perbukitan. Saat itu, Aipda Andrew dan Bipda Baso berusaha untuk segera meninggalkan lokasi. Namun, upaya mereka untuk kabur dari TKP tidak berhasil.

Aipda Andrew terkena tembakan pada punggung kiri atas. Sedangkan Bribda Baso juga terkena tembakan, sehingga langsung terkapar di tanah. Melihat Bripda Baso jatuh tersungkur, Aipda Andrew yang dalam kondisi terluka melakukan perlawanan seorang diri terhadap serangan itu. “Saat itulah betis kanan saya tertembak. Namun, saat itu saya tetap melakukan perlawanan, karena pilihannya hidup atau mati," cerita Aipda Andrew.

Aipda Andrew sendiri saat itu berlindung di balik bongkahan batu lereng di perbukitan itu. Dalam kondisi tak berdaya, terjadi keajaiban. Kelompok teroris yang berjumlah 9-12 orang melemparkan 3 granat lontong. Untungnya, tak satu pun dari 3 granat buatan teroris itu meledak. Setelah itu, kelompok teroris memilih kabur ke hutan. Berselang 30 menit kemudian, 8 anak buah Aipda Andrew tiba di TKP dan memberikan bantuan.

"Saat baku tembak itu, saya berpikir akan dibunuh oleh mereka (kelompok teroris) dan senjata kami dirampas. Namun, saya berusaha untuk tetap bertahan dan melakukan perlawanan. Saya tidak melihat mereka dengan jelas. Karena saya sembunyi di balik bongkahan batu sambil melepaskan tembakan. Jarak antara kami dan mereka sekitar 50 meter saja," papar polisi yang menyelesaikan pendidikan menengah di SMPN 3 Denpasar (tamat 2001) dan SMAN 7 Denpasar (tamat 2004) ini.

Kejadian itu langsung dilaporkan Aipda Andrew ke Polda Sulteng. Bantuan pun datang. Aipda Andrw dan Bripda Baso kemudian dilarikan ke Puskesmas Sausu untuk mendapat penanganan medis. Tapi, karena luka tembakan cukup parah, keduanya dirujuk ke RS Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah dan baru sampai berselang 9 jam pasca tertembak.

“Saya sempat selama 5 hari dirawat di Ruang ICU RS Bhayangkara. Kondisi saya malah memburuk. Saya meminta untuk dirujuk ke RSUP Sanglah. Sebab, bayangan saya waktu itu, saya akan mati. Kalau saya mati di RSUP Sanglah, setidaknya saya tidak menyusahkan keluarga. Lagipula, istri saya waktu itu tengah hamil tua,” terang Aipda Andrew, yang sempat dua kali menerima piagam tanda kehormatan dari Presiden Jokowi.

Saat menajalani perawatan di RSUP Sanglah, tim dokter memvonis kaki kanan Aipda Andrew sudah terinfeksi, sehingga harus diamputasi di atas lutus. Saat itu, kakinya dari lutu ke bawah sudah menghitam dan mengecil, karena tak lagi dialiri darah.

“Mendengar penjelasan dokter, saya merasa sangat terpukul. Saya runding dengan istri dan keluarga. Akhirnya, tanggal 17 Januari 2019, kaki saya diamputasi. Sebelum diamputasi, kaki saya ini sudah 8 kali dioperasi untuk mengangkat serpihan peluru,” cerita Aipda Andrew.

Setelah diamputasi, Aipda Andrew sempat selama 3 bulan dirawat di RSUP Sanglah. Pertengahan April 2019, barulah dia keluar dari RS dalam kondisi tak punya uang. Sementara total biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 400 juta dan itu tertutupi berkat bantuan dari RS Bhayangkara Palu dan Pusddokkes Polri. “Mereka membantu perawatan saya yang mencapai Rp 400 juta lebih. Kepada siapa lagi saya meminta bantuan?” keluh Aipda Andrew.

Keluar dari RSUP Sanglah, Aipda Andrew dirawat di Jakarta. Dia ke Jakarta dalam kondisi tak punya uang sama sekali untuk beli kaki palsu, sekadar agar bisa berdiri saja. Di Jakarta, dia dibantu oleh Komandan Korbs (Dankor) Brimob, Irjen Anang Revandoko. Sementara dari pemerintah dan institusi, belum ada bantuan.

Sepulang dari Jakarta, Aipda Andrew dirawat di RS Siolam, Badung. Biaya pengobatan dibantu oleh Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Bantuan itu pun hanya berlaku untuk 2 tahun. Setelah itu, dia tak tahu harus berbuat apa. “Untungnya, saat ini saya dibantu LPSK. Setelah 2 tahun nanti, saya tidak tahu saya harus bagaimana. Saya bergantung pada obat. Saya duduk dan berdiri tak bisa terlalu lama. Semua tergantung obat.” *pol

Komentar