nusabali

Menyisipkan Edu-Pariwisata Dalam Pariwisata Budaya

  • www.nusabali.com-menyisipkan-edu-pariwisata-dalam-pariwisata-budaya

PENDIDIKAN dan pariwisata seakan berpacu di Bali. Keduanya sama-sama penting dan strategis.

Namun, keberhasilan pariwisata budaya lebih kentara ketimbang pendidikan. Sesaat yang lalu, Wakil Ketua Komisi X DPR Reni Marlinawati bersama Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kementerian Pariwisata Ni Wayan Giri, mengatakan bahwa Pemkot Denpasar telah mampu mengembangkan kota pariwisata berwawasan budaya. Masyarakat Denpasar amat mempertahankan adat-istiadat dan budaya Bali. Sistem pembangunan pariwisata budaya amat tertata dengan tradisi sebagai inti.

Apresiasi tersebut dirasa kurang bila diteropong dari pendidikan. Tradisi dan budaya hanya diapresiasi, tidak lebih atau kurang. Lalu bagaimana aspek pembelajaran tentang adat istiadat dan budaya Bali? Bagaimana nilai, norma, etika, dan moralitas kearifan lokal Bali menjadi pengetahuan, pemahaman, atau bahkan mendorong penciptaan sikap dan perilaku berbudaya positif? Industri pariwisata yang menekankan aspek pembelajaran dikenal dengan edu-pariwisata (educational tourism or edu-tourism).

Menurut Roppolo (1996), pada era di mana bangsa dan negara semakin saling-bergantung, kedua industri tersebut menjadi dasar keberhasilan, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi (economic rate of return = ERR) maupun sosial budaya (socio-cultural rate of return = SCRR). Konvergensi kedua model pariwisata, pariwisata budaya dan pariwisata pendidikan, semakin dibutuhkan. Mobilitas dan pembelajaran merupakan dua sisi mata uang bagi wisatawan domestik maupun manca negara serta sebagai pengalaman berharga bagi wisatawan (Smith dan Jenner, 1997).

Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan dimaknai sebagai transmisi nilai (transmission of values), bukan pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge). Pemindahan pengetahuan relatif lebih sederhana ketimbang transmisi nilai lebih rumit. Transfer pengetahuan dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media dan teknologi. Agar transmisi nilai itu berhasil, maka berbagai kecerdasan diperlukan. Di samping kecerdasan akal (Intellectual Quotient), dibutuhkan kecerdasan lainnya. Misalnya, apresiasi dan penghormatan terhadap khasanah kemajemukan yang merupakan kecerdasan emosional (Emotional Quotient). Di samping itu, diperlukan media untuk membelajarkan tentang kearifan lokal tersebut (Social Quotient). Pemilik aset harus juga mampu menjelaskan bentuk, fungsi, dan makna bagi kehidupan universal. Wisatawan yang mendengarkan penjelasan tersebut memahami dan tergerak nuraninya untuk menerapkan dalam kehidupan pribadinya (Ecological Quotient). Dengan cara demikian, maka akan tercipta keberlanjutan atau pelestarian nilai universal positif (Spiritual Quotient). Pelestarian nilai sangat membutuhkan sikap, kemauan, dan etos untuk mengkonvergensi nilai-nilai universal positif, tanpa memusingkan asal muasal nilai tersebut. Ketika pariwisata budaya disusupi dengan pembelajaran tentang nilai asal secara komunikatif, kreatif, kolaboratif, maka akan terjadi transformasi nilai universal yang menjamin keselarasan, keharmonisan, dan produktivitas berbangsa dan bernegara secara lintas.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup asali. Ia juga sumber ilmu pengetahuan yang terwujud dalam berbagai kegiatan. Berbekal kearifan lokal, guyub masyarakat menyelesaikan berbagai persoalan secara cerdas. Kecerdasan tersebut pada akhirnya membentuk sebuah kebudayaan yang adiluhung. Dalam pandangan kebudayaan dinamis, tidak ada satu budaya lebih tinggi atau rendah dari yang lainnya. Relativitas budaya merupakan suatu fenomena budaya objektif. Oleh karena itu, mempelajari, memahami, dan menerapkan nilai, norma, etika atau moralitas suatu budaya asing merupakan dasar pembentukan karakter yang berterima secara global. Di sini lah pentingnya memperkaya pariwisata budaya dengan pariwisata pendidikan secara konvergensif. Dengan upaya demikian, maka hanya akan terlahir suatu nilai, norma, etika, dan moralitas global yang saling terapresiasi dan dihormati. Semoga, pariwisata budaya Bali dapat disisipi (nesting) dengan nilai, norma, etika, dan moralitas yang dijunjung tinggi oleh krama Hindu di Bali. *


Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar