nusabali

Bukan Akar Tradisi Budaya Bali!

Prosesi Macincin Kawin Pernikahan Adat Bali

  • www.nusabali.com-bukan-akar-tradisi-budaya-bali

Menurut I Gusti Ngurah Sudiana, tradisi tukar cincin kawin merupakan tradisi modern, bukan tradisi yang berakar dari tradisi orang Bali. Hal ini perkembangan budaya baru.

DENPASAR, NusaBali
ORANG Bali sejak dulu dikenal cerdas mengadopsi elemen-elemen budaya dari luar, kemudian mengkreasikan budaya itu hingga memperkaya budaya Bali. Contohnya, bentuk-bentuk ukiran atau papatran Bali, yang konon beberapa di antaranya diadopsi atau terinspirasi dari luar. Sehingga ada  bentuk-bentuk papatran (ukiran); patra  China, patra Mesir, patra Welanda dan lainnya. Itu semua merujuk dari mana pengaruh yang menginspirasi perkembangan seni ukir tersebut.

Demikian juga dalam upacara Perkawinan, orang Bali juga mengadopsi, kalau tidak bisa disebut meniru beberapa tradisi luar. Salah satu adalah pemakaian cincin kawin yang belakangan ini dianggap pengesahan prosesi mamadik (meminang) mempelai perempuan.

Tak jelas persis kapan mewabahnya tradisi macincin kawin bagi lelaki dan perempuan yang memasuki gerbang grahasta atau berumah tangga. “Mungkin sekitar tahun 1980-an mulai marak,” ujar Prof Dr I Ketut Sumadi, salah seorang guru besar IHDN Denpasar, belum lama ini.

Kepada NusaBali, Sumadi menuturkan sebelumnya tradisi macincin kawin di kalangan krama Bali, boleh dikatakan tidak ada. “Saya sendiri menikah tak memakai cincin kawin,” ungkap akademisi asal Desa Adat Batuyang, Desa Batubulan Kangin Sukawati, Gianyar ini. Apalagi para tetua sebelumnya, sepengetahuan Sumadi, tidak ada cerita memakai cincin kawin saat menikah. “Karena memang cincin kawin kan bukan syarat sah tidaknya perkawinan. Itu hanya perkembangan budaya,” terangnya.

Bagi orang Bali upacara perkawinan secara dresta dan agama sudah  sah, ketika pasutri sudah natab banten pabeakawonan lanjut banten samara ratih. Tentu saja sebelumnya juga sudah sah secara hukum positif dalam proses sebelumnya. “Cincin kawin tidak termasuk syarat,” kata Sumadi.

Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana tradisi tukar cincin kawin pada sebagian krama Bali mulai pada generasi era pasca kemerdekaan. “Kalau dulu tak ada peristiwa yang tiyang temukan ada pakai cincin kawin,” ungkapnya.

Dari itu lah, menurut Ngurah Sudiana, tradisi tukar cincin kawin merupakan tradisi modern, bukan tradisi yang berakar dari tradisi orang Bali. Hal ini perkembangan budaya baru. ‘’Ini seni manusia sebagai simbol untuk menunjukkan adanya ikatan antara yang satu  dengan yang lain,” ujarnya.

Namun demikian pemberian dalam bentuk perhiasan  emas kepada calon istri atau calon suami bukan hal yang pantang atau tabu. Biasanya dalam bentuk bungkung, bukan cincin kawin.

Dalam pengertian umum, ada perbedaan antara cincin dengan bungkung, walau sama-sama sebagai perhiasan pada jari. Bungkung adalah cincin yang ada cangkok dengan permatanya. Sedang cincin, bungkung yang polos tanpa permata.

Bungkung inilah pada saat meminang dibawa, sebagai bagian  aban-aban atau bawaan perangkat ngidih yang disebut basan pupur, pesaluk busana penganten. Tentu saja dengan catatan kalau memang yang meminang memang bisa dan mampu untuk itu.“Itu sebagai tanda bahwa calon mempeleai saling menerima,” terangnya.

Cincin atau  bungkung  sebagai lambang pertautan suami-istri juga dikisahkan dalam kitab Ramayana. Hal itu termaktub dalam episode ketika Dewi Sita diculik Rahwana, Raja Alengka. Untuk memastikan keberadaan Dewi Sita, Sri Rama- putra mahkota Ayodya yang berada dalam masa pembuangan- mengutus Hanoman, menemui Dewi Sita di taman Istana Alengka.

Kedatangan Hanoman yang mengaku sebagai utusan Sri Rama, sempat tak dipercaya Dewi Sita. Putri Janaki, nama lain Dewi Sita curiga sosok kera putih itu, adalah Rahwana yang telah malih rupa mengubah wujud.

Namun Hanoman membawa jimat, ialah bungkung atau cincin permata milik Sri Rama. Melihat cincin yang ditunjukkan Hanoman, barulah Dewi Sita pasti, benar Hanoman adalah utusan Sri Rama- suaminya. “Jadi kisah bungkung atau cincin bertalian dengan hubungan pasutri sudah ada sejak zaman Ramayana,” ujar Ngurah Sudiana. Hanya maknanya tidak  dalam pengertian tukar cincin kawin atau pertunangan dalam pemahaman era kini, yang  merupakan perkembangan budaya kekinian. Sebagai tradisi budaya kekinian jelas moment atau tradisi cincin kawin bukan sebagai syarat diakui sahnya perkawinan.

Kitab Menawa Dharmasastra, kata Ngurah Sudiana  perkawinan dinyatakan sah apabila pasangan suami istri (pasutri) sudah melakukan ritual mengelilingi api suci.”Sedang di  Bali perkawinan sah apabila sudah melakukan upacara beakaon.”

Ida Pedanda Gede Made Kekeran sulinggih dari Griya Kekeran Blahbatuh Gianyar, menyatakan tradisi tukar cincin merupakan contoh-contoh dari banyak fenomena tradisi luar yang banyak dilakoni krama Bali. Diantaranya perayaan Hari Ulang Tahun, yang lebih meriah dari Hari Otonan, kemudian salaman dengan laku dan ucapan yang keluar dari pakem  sungkem atau subakti  khas Bali (Hindu). “Dalam sastra (ajaran Hindu) hal itu tidak diatur soal tradisi tukar cincin,” ujar Ida Pedanda. Karena itu  tukar cincin kawin bukan wajib hukumnya dalam upacara perkawinan orang Bali.

I Dewa Ketut Soma, tokoh adat dari Desa Pakraman Satra, Klungkung juga menyatakan tukar cincin kawin merupakan laku budaya kekinian. “Itu bagian dari perkembangan  budaya seperti moment pra wedding,” tunjuk Dewa Soma, yang juga sarati/ahli banten ini. Dia pun tegas menyatakan, tukar cincin kawin bukan wajib atau harus dalam upacara perkawinan orang Bali. “Kita di Bali sudah ada upacara  mabeakaon dan mapajati sebagai sarana sahnya perkawinan,” tandas pria yang juga kerap memberi penyuluhan agama ini.

Jelas dia, Pemahaman ini perlu diperluas dan ditegaskan, jangan sampai cincin kawin dianggap  tradisi wajib. Jika sampai demikian, tentu memunculkan masalah atau terganjal. Misalnya, orang tak mampu secara ekonomi mengalami masalah tertekan ketika hendak menikah atau kawin, gara- gara merasa tak bisa membeli cincin kawin. “Jangan sampai hal yang bukan prinsip, mengganggu fase kehidupan orang Bali. Dari fase brahmacari ke fasa grahasta asrama,” kata Dewa Soma.*nat

Komentar