nusabali

Menpar Diminta Belajar Sejarah Bali

Kalangan Pariwisata Berencana Temui Menpar terkait Keramahan

  • www.nusabali.com-menpar-diminta-belajar-sejarah-bali

Anggota DPR RI Wayan Sudirta sebut Raja Salman minta tambah liburan di Bali, tanpa ada keluhkan soal keramahan terhadap wisatawan Muslim

DENPASAR, NusaBali

Wacana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wisnuthama Kusubandio, untuk menyulap Bali menjadi daerah wisata yang ramah terhadap wisatawan Muslim, menuai reaksi keras. Salah satunya, reaksi dari anggota Fraksi PDIP DPR RI Dapil Bali, I Wayan Sudirta, yang bahkan meminta Menteri Pariwisata belajar sejarah Bali terkait keramahan dan toleransi.

Wayan Sudirta meminta Menpar Wishnutama tidak melontarkan pernyataan yang terkesan mengkotakkan satu golongan dan kelompok. Seharusnya, Menpar melihat fakta objektif secara sosial dan historis. Menurut Sudirta, sejak ratusan tahun silam krama Bali dan umat Hindu sangat ramah dan toleran terhadap pihak mana pun yang datang ke Bali, tanpa memandang mereka pemeluk Budha, Muslim, atau Kristen.

“Tapi, saya baca di media pernyataan Menpar. Kalau benar pernyataannya seperti itu, ya itu memojokkan orang dan pariwisata Bali yang seakan-akan tidak ramah terhadap wisatawan Muslim. Padahal, Raja Salman (dari Arab Saudi) berlibur ke Bali dan bahkan memperpanjang waktu liburannya. Raja Salman tidak ada mengeluhkan Bali, apalagi keluhkan Bali tidak ramah terhadap wisatawana Muslim,” kata Sudirta kepada NusaBali, Minggu (10/11).

“Karena Bali sendiri mengembangkan kepariwisataan berbasis budaya, keramahtamahannya untuk semua umat manusia, bahkan untuk semua makhluk, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yang memuliakan manusia, alam, dan Tuhan,” lanjut politisi PDIP asal Desa Pidpid, Kecamatan Abang, Karangasem ini.

Sudirta mengingatkan Menpar Wishnutama sebaiknya belajar sejarah Bali. Kalau Menpar mau membuka sejarah, bagaimana raja-raja di Bali seperti Raja Buleleng, Raja Jembrana, Raja Badung, Raja Bangli, dan Raja Klungkung bersikap sangat toleran dan memberikan tanah-tanah untuk perkampungan Muslim, itu sudah mematahkan ujaran seakan Bali tidak ramah bagi wisatawan Muslim.

“Jangankan wisatawan, semeton Muslim sudah ratusan tahun berinteraksi sosial dengan masyarakat Hindu di Bali, tanpa pernah ada diskriminasi. Terbangun toleransi yang sangat indah. Justru wacana-wacana seperti yang dilontarkan Menpar ini bisa memprovokasi suasana yang sudah rukun akan tergosok-gosok, membuat orang tersingggung, dan menimbulkan suasana psikologis yang tidak nyaman. Jangan sampai tanpa disadari, pernyataan Menpar justru mengadu domba umat beragama,” tandas anggota Komisi III DPR RI (yang membidang perundang-undangan, hukum, dan HAM) ini.

Sudirta menjelaskan, dalam konteks pengembangan pariwisata yang menampilkan kearifan lokal, Bali mengembangkan Kepariwisataan Budaya yang dituangkan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2012. Isi Perda tersebut merupakan sari-sari kearifan lokal Bali yang telah dibangun ratusan tahun dan tidak pernah ada wacana pariwisata Bali bersifat diskriminatif terhadap golongan wisatawan tertentu.

Sudirta pun meminta Menpar Wishnuthama mendengar dan menyerap lebih banyak lagi tentang nilai-nilai budaya Bali, menyandingkannya dengan prinsip-prinsip bernegara yang berdasarkan Pancasila dan menjaga budaya Nusantara yang bhinneka ini secara baik. Menurut Sudirta, saudara Muslim di Bali telah berinteraksi sosial sangat dekat, bahkan ada yang menggabungkan nama Bali dan Muslim. Dia mencontohkan Ketut Syahruwardi Abbas, tokoh Muslim asal Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Ketut diambil dari nama Bali, sementara Syahruwardi Abbas jelas nama Muslim.

“Saudara Muslim dan Hindu di Bali sudah ratusan tahun saling menghargai, sama-sama memberikan keramahan, apalagi bagi wisatawan Muslim. Tidak pernah ada diskriminasi, karena Bali menyediakan keramahannya bagi semua wisatawan,” sodok Sudirta yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan DPD PDIP Bali.

Soal makanan halal yang menjadi kebutuhan wisatawan Muslim, menurut Sudirta, di Bali ada restoran yang menyediakan makanan halal. Namun, banyak wisatawan asing yang suka menikmati kuliner dari daging babi dan itu semuanya dipisahkan secara baik, agar tetap nyaman bagi yang tidak suka. “Bahkan, resto vegetarian pun berkembang bagus di Bali, itu bisa menjadi pilihan wisatawan yang tidak makan daging sama sekali,” tegas mantan anggota DPD RI Dapil Bali dua kali periode (2004-2009, 2009-2014) ini.

Sudirta menjelaskan, pengertian pariwisata yang ramah bagi wisatawan Muslim, belum dielaborasi dengan baik, sehingga mudah menimbulkan reaksi apriori. Sudirta memahami mengapa banyak yang apriori, karena sebelum gagasan Menpar Wishnutama ini, sudah ada wacana mengembangkan pariwisata halal yang telah ditolak di Bali. Ada pula wacana pariwisata syariah, yang juga menjadi kontroversi di Bali yang mengembangkan pariwisata kebudayaan.

“Sebaiknya Menteri Pariwiata, fokuslah pada pengembangan kepariwisataan untuk Bali, yang menyumbang devisa sangat besar kepada kegara, namun dirasa belum mendapat kontribusi balik yang seimbang buat merawat berbagai sumber penghasil devisa tersebut, seperti kebudayaan. Menpar tolong dengar juga beban yang dipikul masyarakat Bali dalam pembangunan yang menarik wisatawan datang ke Bali,” kata politisi yang juga advokat senior ini.

Sementara itu, komponen pariwisata Bali berencana bertemu Menpar Wishnutama untuk mendapat penjelasan dan klarifikasi langsung terkait masalah ini. "Kami sudah usulkan melalui BTB (Bali Tourism Board) untuk bisa bertemu dengan Menpar guna mendapat penjelasan langsung," ujar Ketua DPD Asita Bai, I Ketut Ardana, Minggu kemarin.

Menurut Ardana, penjelasan langsung dari Menpar Wishnurama sangat penting, sehingga semua stakholder kepariwisataan Bali tidak multitafsir. "Apa benar demikian seperti dilansir media? Kita ingin pertemuan dengan Menpar bisa dilakukan secepatnya, sehingga isu tersebut tidak berlarut-larut,” tandas Ardana.

Terlepas ada atau tidak penjelasan langsung dari Menpar, menurut Ardana, yang jelas Bali sudah punya tagline pariwisata budaya. Dan, ini sudah berlangsung sejak lama, tanpa pernah ada persoalan terkait pelayanan terhadap wisatawan Muslim. “Dari dulu kita ramah dengan siapa pun," papar Ardana.

Paparan senada juga disampaikan Ketua DPD HPI Bai, I Nyoman Nuarta. Menurut Nuarta, Bali sesungguhnya sudah sangat familiar dengan tagline pariwisata budaya. "Pariwisata budaya Bali bukan pariwisata yang kemarin sore, tapi sudah berlangsung sejak lama. Selama itu pula tidak pernah persoalan menyangkut pergaulan dan layanan wisatawan dari berbagai latar bekakang,” sebut Nuarta.

Sementara, Ketua Umum DPP Nawacita Pariwisata Indonesia (NCPI), I Gusti Kade Sutawa, mengingatkan seorang menteri seharusnya sekaligus menjadi agen empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Jangan justru sebaliknya, seorang menteri membuat pernyataan yang menghembuskan isu SARA,” sesal Kade Sutawa.

Kade Sutawa mengingatkan, seorang menteri mestinya paham apa yang menjadi visi dan misi pemerintah untuk menjaga dan merawat kebhinnekaan itu, termasuk di dunia pariwisata. "Jangan mengulang kesalahan-kesalahan dari sebelumnya," tegas Kade Sutawa.

Sebaliknya, Ketua BTB Ida Bagus Agung Partha Adnyana menduga ada memplntir pernyataan Menpar Wishnutama. “Saran saya, kitta tunggu saja Pak Menteri sampai bertemu langsung," pinta Partha Adnyana. *nat,k17

Komentar