nusabali

Pelukis Tak Selalu Individualis

Perupa Akademis I Made Ruta

  • www.nusabali.com-pelukis-tak-selalu-individualis

SENIMAN lukis lumrah diidentikkan sebagai sosok individualis.

GIANYAR, NusaBali

Pengidentikkan ini karena proses habitual atau proses kreatif mereka dalam mencipta cenderung sangat pribadi. Mulai dari cara mengimbriokan inspirasi, proses bekerja, hingga menikmati hasil karya.

Made Ruta,55, salah seorang perupa asal Banjar Manuaba, Desa Kenderan, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, merasakan image itu. Dia pun terus meluruskan ‘cap’ individual itu. Semiman bertubuh gempal ini kini terus meluruskan tuduhan itu. Bukan dengan berdalih atau melawan, namun mengubah pemahaman pihak luar dengan tindakan. "Tuduhan itu (perupa indiviualis)  tak keliru. Tapi, kan tak 100 persen benar," ujarnya, saat ditemui di Museum Arma, Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, beberapa waktu lalu.

‘Cap’ individual itu memang sedikit mengganggu kepribadian seorang Ruta. Dia mengakui, secara umum seniman cenderung individualis saat menjalani proses kesenimanan secara mapan. Padahal prinsip itu tak berlaku utuh pada orang lain, termasuk dirinya yang seniman akademis. Oleh karena itu, perupa akademis ISI Denpasar ini berusaha terus berkesenian tanpa mempertebal ‘cap’ invidualis itu. Kiblatnya pada seni yang bermanfaat untuk diri dan selalu berguna bagi orang lain. Salah satu caranya, dia menekuni seni tari Topeng Wali. "Dengan menari, saya bisa ngayah dan matulung kepada krama yang melaksanakan yadnya," jelasnya.

Kini Ruta kerap dimintai tolong oleh warga untuk ngayah menari Topeng, terutama Topeng Sidakarya. Untuk urusan menari, Ruta tak pernah belajar khusus menari. Kebetulan sejak bocah hobinya di bidang seni. Sejak SD dia menekuni seni ukir, sebagaimana tradisi seni di tanah palekadan (kelahiran) di Banjar Manuaba, Desa Kenderan, Tegallalang. Kebetulan ayahnya seorang seniman ukir mumpuni, amat sering dipercaya mengukir sejumlah bangunan penting. Antara lain, sejumlah Pura Khayangan Jagat di Bali, mrajan, rumah, hingga gedung gedung pemerintahan di Bali. Sebagai anak tukang ukir, Ruta punya pengalaman unik. Saat kelas 6 SD, dia pernah meliburkan diri sebulan. Karena ayahnya mengukir paras pada bangunan Kantor Bupati Badung. Ukiran panil paras khas Bali di Museum Bali, Denpasar, juga hasil karya ayahnya dan sejumlah tukang ukir asal Kenderan. Menurutnya, basik sebagai tukang ukir paras sangat membantu ketekunannya dalam seni rupa lukis. ‘’Kan trendnya Parba. Saya sering menggambar wayang di Parba (dinding hulu Bale Dangin dan Piyasan),’’ jelasnya.

Masa kecil Ruta juga sering dihinggapi kebiasaan mabalih (nonton) saat krama banjar berlatih menari Arja di balai banjarnya. Setiap melihat krama yang belajar manari, tangannya selaku bergerak-gerak seakan ikut dalam proses belajar menari tersebut. ‘’Kala itu, keinginan untuk menjadi menari sangat menggebu,’’ kenang seniman yang rajin merapikan kumis ini.

Saat mulai masuk SMP, Ruta juga rajin belajar menabuh gambelan Bali. Menurutnya, jika mau menari wajib tahu gambelan. Karena manari harus tahu angsel atau kode-kode tari yang tergerak dari gambelan. Aktivitas menari intens ditekuni saat mulai masuk SMSR di Denpasar. Dia belajar menari di sebuah sanggar tari, Jalan Kepundung, Denpasar. "Untuk dasar, saya belajar tari Jauk. Selanjutnya belajar tari Topeng dengan sering melihat  di TVRI Denpasr. Bagi saya, terpenting, setiap ngigel harus bisa nakeh (bergaya dengan jiwa),"  jelasnya. *lsa

Komentar