nusabali

Pariwisata yang (Tidak) Merusak

  • www.nusabali.com-pariwisata-yang-tidak-merusak

Apakah ada kegiatan pariwisata yang tidak merusak?

Adakah pembangunan pariwisata yang tidak ‘kotor’? Apakah mungkin orang Bali bergiat dalam industri pariwisata tanpa harus menjadi pembohong atau pembual? Mungkinkah tetap menjaga kesucian Bali sementara pariwisata terus dikembangkan? Mungkinkah mengembangkan pelabuhan tanpa harus mengurug laut dan teluk?

Pertanyaan mirip begini pernah terlontar di zaman orde baru, ketika pembangunan yang giat akhirnya merusak lingkungan. Tatkala manusia diharuskan menambang gunung menggali marmer, emas, perak, tanpa menimbulkan banjir. Pertumbuhan ekonomi menghasilkan banyak orang kaya, dan konsumerisme meledak-ledak. Keuntungan industri pariwisata menciptakan kebingungan baru: penderita penyakit kelamin bertambah, orang desa memanfaatkan kesempatan jadi gigolo, dan orang-orang bertikai soal seni sakral dan profan yang boleh dijual kepada pelancong.

Mereka yang sering bepergian pasti merasakan benar beda kota-kota di Jawa dengan kota-kota di Bali. Seorang pengusaha kaos oblong yang sering bepergian ke Bandung, Jogja, Jakarta, Semarang, Surabaya, berkisah, kota-kota di Bali sesungguhnya lebih ‘liar’ dan lebih menakutkan. Dia memberi contoh soal perilaku orang yang mabuk di jalan-jalan.

“Di Bali gampang sekali beli bir, arak, minuman beralkohol,” ujarnya. “Di Jawa beli sekaleng bir harus di swalayan, tak bisa kita dapatkan di warung-warung. Di Bali bir mudah diperoleh di kaki lima.”

Tapi apa hubungan orang mabuk, bir, dengan industri pariwisata? Pedagang kaos oblong itu, orang Bali dari Singaraja, menjelaskan, bisnis turisme mengajarkan orang-orang hidup senang, dekat dengan kegiatan hiburan. Turisme mengajarkan untuk membangun sebanyak mungkin tempat bersenang-senang. Itu sebabnya, kafe tumbuh subur di Bali. Mereka yang bergiat di kafe menimba pengalaman dari kehidupan pub, kelab malam, di distrik wisata seperti Kuta. Tempat hiburan malam adalah surga bagi pemabuk. Ini satu contoh pariwisata yang merusak.

Orang Bali mabuk bisa dijumpai saban hari, setiap malam. Berita cekcok, adu jotos, saling tikam, karena mabuk, hampir bisa dibaca beritanya saban bulan, mungkin setiap minggu, di surat kabar dan diunggah berantai di media sosial. Kisah-kisah itu bermula dari kehidupan di industri pariwisata, kemudian menular ke anak-anak muda, anak sekolahan, yang suka nongkrong di pinggir jalan malam-malam beli nasi jenggo, tempat mereka bersantap sembari menenggak bir.

Selain kecanduan alkohol, banyak sekali dan mudah dijumpai orang-orang kecanduan narkoba di Bali. Tak ada yang sanggup mencegahnya, semuanya terjadi begitu saja. Banyak orang berkomentar, jika Bali tidak menjadi tujuan wisata, tentu pulau ini tidak akan menerima masalah narkoba seriuh sekarang. Ini satu lagi daya rusak industri pariwisata.

Tetapi, mereka yang bergiat di industri turisme pasti ‘marah’ jika ada yang sembarang menuduh pariwisata adalah alat perusak. Namun pasti banyak yang sependapat, sulit mengelak, kalau pariwisata memberi kemakmuran, juga menyebabkan banyak kerusakan. Selain menyuguhkan kegembiraan, kesenangan, juga kesedihan dan duka nestapa. Dan bisnis pariwisata tidak pernah sungguh-sungguh berikhtiar memperbaiki kerusakan yang diciptakannya.

Upaya menekan kerusakan yang ditimbulkan oleh turisme sudah sejak lama digalang. Biasanya orang Bali diajak untuk tetap memegang teguh ajaran leluhur mereka agar terhindar dari daya serang negatif turisme. Jika sekarang orang mabuk semakin banyak berkeliaran di jalan-jalan, minuman beralkohol demikian gampang didapat di warung-warung, tentu upaya-upaya menekan kerusakan itu patut dipertanyakan keberhasilannya.

Lalu, masih mungkinkah orang Bali mendapatkan pariwisata yang tidak merusak? Atau, apakah ada pariwisata yang tidak merusak? Pariwisata macam apa pula itu? Yang dihadapi orang Bali saat ini dan di masa depan adalah, apakah orang Bali siap dirusak oleh pariwisata?

Bagi banyak orang Bali, tamu adalah berkah, rezeki. Tamu harus dihormati, dimuliakan, didahulukan. Seringkali terjadi, seorang kepala keluarga sibuk mengurus tamu, lupa mengurus anak-anaknya. Bagi orang Bali, menyambut dan mengurus tamu adalah sebuah kebahagiaan, kebanggaan. Kelak mereka akan bercerita kepada kenalan dan tetangga, betapa senang tamu yang telah mereka urus dengan sebaik-baiknya. Tamu pun menjadi barang istimewa, selalu diutamakan.

Begitulah, orang Bali dikenal sangat ramah pada tamu. Di masa kini, ketika industri turisme berbiak pesat, keramahan dan mengutamakan tamu itu menjadi rezeki berlimpah. Para pelancong itu mereka sebut tamu, bermakna sebagai orang yang harus dimuliakan, mesti diutamakan. Turis senang datang ke Bali karena orang Bali dinilai sebagai tuan ramah yang super baik. Bermacam kegiatan kelompok seperti kongres, pertemuan ilmiah, seminar, rapat besar, acap kali diselenggarakan di Bali, karena para peserta itu menilai alangkah ramah Bali yang mengutamakan tamu. Acara pasti didukung masyarakat setempat dan berlangsung gemilang.

Orang Bali sering menganggap orang asing itu makhluk super. Mereka dinilai lebih beradab, lebih kaya, lebih mewah. Belakangan sudah mulai banyak orang asing yang menipu rekan bisnisnya orang Bali. Namun orang Bali tetap tak kapok jua, selalu merasa lebih sreg, lebih yakin, bekerjasama dengan orang asing, kendati mereka tahu, sesama orang Bali itu jujur-jujur. Karena itu tak berlebihan jika muncul komentar, orang Bali adalah pemuja tamu, suka meremehkan bangsa sendiri. Buktinya, orang Bali hampir tak pernah melecehkan orang asing. Mereka tabu menjelek-jelekkan tamu. Padahal tamu yang jelek tak sedikit jumlahnya.

Jika industri turisme telah membentuk dan mengarahkan watak manusia Bali, apakah benar atau tidak jika muncul komentar, pariwisata itu sesungguhnya telah merusak Bali. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar