nusabali

Terlambat Ngalinggihang, Penari Tewas Tertusuk Keris Saat Pentas

Musibah Maut di Pura Batu Telu, Desa Seraya Tengah, Karangasem

  • www.nusabali.com-terlambat-ngalinggihang-penari-tewas-tertusuk-keris-saat-pentas

Almarhum menempati rumah baru, tetapi di rumah baru tersebut belum punya palinggih sanggah, sehingga belum sempat ngalinggihang Ida Bhatara Hyang Kompyang (Ida Bhatara Kawitan).

AMLAPURA, NusaBali

Nasib tragis menimpa penari asal Banjar Peninggaran, Desa Seraya Tengah, Kecamatan/Kabupaten Karangasem, I Gede Suardana, 40, yang meninggal akibat tertancap keris saat menari dalam kondisi kerauhan, ketika piodalan di Pura Batu Telu, Banjar Celagi, Desa Seraya Tengah pada Buda Pon Bala, Rabu (30/10). Dia meninggal dalam perawatan di RSUP Sanglah, Denpasar, Kamis (31/10) malam sekitar pukul 23.00 Wita. Hasil ngewacakang (bertanya ke orang pintar), Suardana yang lahir pada 3 Mei 1979, itu tewas tertusuk keris gara-gara terlambat ngalinggihang (menstanakan) Ida Bhatara Hyang Kompyang di rumah barunya di Banjar Peninggaran.

Hal itu terungkap setelah istri korban, Ni Nyoman Sulastri, 37, ngewacakang di rumah orang pintar. Di samping itu, Ni Sulastri juga merasakan beberapa firasat sebelum musibah menimpa sang suami. Ni Sulastri melihat ada gelagat aneh dilakukan sang suami. Suaminya sering melamun. Selain itu, tidak seperti biasanya, setiap hendak bepergian suaminya selalu minta izin alias berpamitan kepadanya. Padahal biasanya setiap hendak bepergian, suaminya tidak pernah pamit.

“Sekitar 10 hari sebelum terjadi musibah, suami saya sering melamun. Dia juga jadi jarang ke luar rumah, padahal sebelumnya dia sering pergi ke luar rumah dan tidak pernah pamit. Namun beberapa hari belakangan, dia jarang ke luar rumah. Kalau pun ke luar rumah, dia selalu pamit. Itu yang memenuhi pikiran saya, entah apa yang akan terjadi di keluarga saya,” ujar Ni Sulastri ditemui di rumah duka di Banjar Peninggaran, Desa Seraya Tengah, Sabtu (2/11), di sela-sela mempersiapkan upacara ngaben yang akan digelar pada Soma Pon Ugu, Senin (4/11).

Sebelum peristiwa itu, Ni Sulastri juga sempat pula tidur-tiduran bersama almarhum, di mana dirinya tidur dengan alas tangannya almarhum. “Tumben saya tidur-tiduran dengan alas tangan suami saya. Tetapi suami saya tetap diam,” imbuh ibu dua anak itu.

Diceritakannya, sebelumnya dia, suami, dan anak-anaknya tinggal bersama (satu halaman) dengan orangtuanya. Kemudian keluarganya punya rumah baru yang jaraknya dari rumah orangtuanya sekitar 50 meter ke arah timur. Tetapi di rumah baru tersebut belum punya palinggih sanggah, sehingga belum sempat ngalinggihang Ida Bhatara Hyang Kompyang (Ida Bhatara Kawitan). Kekeliruan itulah yang muncul saat ngewacakang.

“Baru rencana membuat palinggih, untuk ngalinggihang Ida Bhatara Hyang Kompyang, tetapi belum dilakukan,” kata Ni Sulastri yang didampingi kedua anaknya, I Putu Okta siswa kelas VI SDN 8 Seraya dan Ni Kadek Melin, siswi kelas III SDN 8 Seraya. Juga hadir ayah kandung korban, I Wayan Bagus, ipar korban atau kakak Ni Nyoman Sulastri, I Wayan Kutang, datang dari Banjar Sumber Sambi, Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Sedangkan persiapan upacara ngaben dikoordinasikan Kelian Banjar Adat Peninggaran I Nyoman Sulatra, mengoordinasikan 106 krama.

Ayah korban I Wayan Bagus, mengatakan sesaat sebelum anaknya tertimpa musibah, ketika hendak ngayah sebagai penari keris di Pura Batu Telu, anaknya minta dibuatkan kopi dan pinjam udeng. “Tumben minta dibuatkan kopi dan minta pinjam udeng. Saya bilang, ingat ngayah ya,” ujar Wayan Bagus.

Seperti diberitakan sebelumnya, korban Gede Suardana tewas mengenaskan karena luka sedalam 5 cm akibat tertusuk keris yang dimainkannya saat pentas sakral. Berdasarkan keyakinan krama setempat, korban terluka karena keris yang dipegangnya diduga sempat jatuh. Jika tidak jatuh atau bersentuhan dengan keris penari lain, senjata tersebut tidak akan melukai yang memainkannya saat ritual ngurek (menusuk dada).

Informasi yang dihimpun NusaBali, usai persembahyangan piodalan di Pura Batu Telu, Rabu sore pukul 16.00 Wita, dilanjut dengan pentas tradisi sejumlah tarian sakral. Diawali dengan pementasan Tari Dewa Ayu untuk kaum istri (wanita) dan Tari Dewa Mas untuk kaum lanang (laki-laki), di mana penari wanita dan laki-laki berbaur.

Beberapa lama kemudian, sejumlah pragina (penari) lanang kerauhan. Nah, setelah diberikan keris, para penari lanang langsung menari. Setiap penari memegang dua bilah keris, yang masing-masing ditancapkan di dada kanan dan dada kiri saat ngurek. Penari kerauhan silih berganti. Setelah penari sebelumnya sadar, muncul lagi penari keris berikutnya.

Terhitung ada sekitar 25 penari keris yang kerauhan saat pentas sakral Tari Dewa Mas di Pura Batu Telu saat itu. Korban Gede Suardana adalah penari keris paling akhir, Rabu malam.

Sesuai keyakinan krama Desa Adat Seraya, penari bisa saja kena musibah apabila saat menari, kerisnya sempat jatuh dan kemudian digunakan lagi. Musibah juga bisa terjadi jika keris sempat bersentuhan dengan keris penari lainnya. Pantangan lainnya, keris yang telah digunakan penari lain, tidak boleh serta merta digunakan penari berikutnya.

Menurut Bendesa Adat Seraya I Made Salin, keris yang telah digunakan penari lain harus dimasukkan ke sarung aslinya terlebih dulu, sebelum digunakan kembali oleh penari berikutnya. “Keris yang digunakan korban Gede Suardana diduga sempat jatuh, hingga menebus dadanya saat digunakan,” ungkap Made Salin, Jumat (1/11).

Disebutkan, korban Gede Suardana terluka tusuk sedalam 5 cm di dada kanan. Begitu terluka dengan keris masih tertancap di dadanya, korban Gede Suardana langsung dipapah dua krama, yakni I Kadek Longoh dan I Wayan Subadra. Mereka berupaya menghentikan petas sakral Tari Dewa Mas-Dewa Ayu dengan meminta pamangku memercikkan tirta ke wajah korban Gede Suardana.

Selanjutnya, korban Gede Suardana yang terluka dibawa ka areal parkir motor yang berjarak 30 meter dari Pura Batu Telu. Dari situ, korban diantar ke Puskesmas Karangasem II yang berlokasi di Desa Seraya Tengah, Rabu malam pukul 20.30 Wita.

Karena lukanya cukup parah, korban Gede Suardana selanjutnya dirujuk ke RSUD Karangasem di Amlapura malam itu pukul 21.00 Wita. Kemudian, korban kembali dirujuk dari RSUD Karangasem ke RSUP Sanglah, Rabu malam pukul 23.00 Wita. Setelah sehari semalam menjalani perawatan di RSUP Sanglah, korban Gede Suardana akhirnya dinyatakan meninggal, Kamis malam pukul 23.00 Wita.

Kesehariannya, korban Gede Suardana bekerja sebagai pematung kayu, istrinya juga ikut membantu finishing patung kayu.

Peristiwa maut yang menimpa korban Gede Suardana merupakan kejadian kedua di Karangasem di mana penari tewas tertancap keris saat pentas dalam kurun 6 tahun terakhir. Korban terakhir sebelumnya adalah I Gede Sudiartha, 48, penari Rangda asal Banjar Desa, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, tewas tertembus keris dari tangan putra sulungnya, I Putu Putrawa, 24, saat puncak prosesi pasupati Tapel Rangda di Setra Desa Pakraman Subagan, 3 Desember 2013. *k16

Komentar