nusabali

Wayang Kontemporer Pentaskan Lakon I Gusti Ngurah Panji Sakti

  • www.nusabali.com-wayang-kontemporer-pentaskan-lakon-i-gusti-ngurah-panji-sakti

Bukan hanya perbedaan perspektif cerita, namun konsep segi gamelan gender laras pelog tujuh nada ditampilkan.

DENPASAR, NusaBali.com
Wayang biasanya merujuk pada pertunjukan wayang kulit yang dinarasikan oleh seorang dalang. Namun pada Festival Bali Jani 2019, wayang ditampilkan dalam bentuk seni wayang kontemporer yang menggabungkan antara seni wayang kulit dan lakon yang diperankan oleh aktor. 

Seni wayang kontemporer ini ditampilkan oleh Komunitas Seni Padalangan Sembroli asal Singaraja pada Kamis (31/10/2019) di halaman Gedung Kriya, Art Center Denpasar. Komunitas ini menampilkan lakon berjudul ‘Pulang Kampung’ yang berasal dari legenda I Gusti Ngurah Panji Sakti yang menyingkir ke wilayah Denbukit yang merupakan wilayah asal sang ibu, Ni Luh Pasek. 

Namun, cerita kali ini tak hanya berfokus kepada I Gusti Ngurah Panji Sakti atau dengan nama kecilnya, yakni Ki Barak, sebagai lakon utama. Cerita kali ini menyelipkan pesan bahwa di balik kisah pendiri kerajaan Buleleng ini, ada sosok sang ibu, Ni Luh Pasek, yang memiliki ketegaran di balik semua cobaan yang menimpa. 

“Sebenarnya kisah Panji Sakti ini sudah sering sekali dibawakan. Cuma saya mencoba mengemasnya dengan sedikit berbeda. Perjalanan Luh Pasek dan anakanya itu biasanya menonjolkan Ki Barak saja. Tapi dalam asumsi saya, tanpa ada Luh Pasek, Panji yang begitu tangguh dan banyak masalah ketika di Gelgel atau Swecapura, mungkin Ki Barak tidak akan menjadi apa-apa di Denbukit,” ujar penanggung jawab Komunitas Seni Padalangan Sembroli, Gusti Made Ariana. 

Yang berbeda dari pertunjukan wayang kontemporer ini, tak hanya dari segi cerita dan perspektif semata. Namun Made Ariana juga mencoba menampilkan konsep baru dari segi gamelan gender yang mengiringi pertunjukan ini. Dirinya menjelaskan, bahwa gamelan gender di Bali Utara dan Bali Selatan memiliki konsep yang sedikit berbeda. Jika di Bali Utara, gamelan disesuaikan dengan tinggi-rendahnya vokal Ki Dalang. 

“Berdasarkan hal itu, saya membuat sebuah gamelan yang berlaraskan Pelog tujuh nada. Jadi di Bali Utara pada umumnya agak rendah, jadi sejalanlah dengan vokal-vokal dalang di Bali Utara, dalam membawakan kekawin atau nyanyian-nyanyian dalam pewayangan,” lanjut pria yang merupakan alumni dari Institut Seni Indonesia Denpasar ini.*yl

Komentar