nusabali

'Tumpang Tindih' Pelayanan Adminduk

ORI Bali Beberkan Hasil Kajian kepada Perbekel dan Bendesa

  • www.nusabali.com-tumpang-tindih-pelayanan-adminduk

Sepanjang tahun 2018, perbedaan syarat adminduk di dua jenis desa (desa adat dan desa dinas) menempati ranking teratas dugaan maladministrasi untuk isu adminduk yang dilaporkan ke Kantor Perwakilan ORI Provinsi Bali

DENPASAR, NusaBali

Administrasi kependudukan (adminduk) di Bali tidak terlepas dari peran dua jenis desa yakni desa dinas dan desa adat. Namun, Perwakilan Ombudsman RI (ORI) Provinsi Bali menerima banyak laporan mengenai ‘tumpang tindih’ pelayanan adminduk di antara dua dinas tersebut. Seringkali ketika bermasalah di adat, pelayanan adminduk jadi terhambat. Perwakilan ORI Provinsi Bali pun melakukan kajian terhadap hal tersebut, dan hasilnya dipaparkan di Inna Bali Heritage, Jalan Veteran Denpasar, Kamis (31/10). Pemaparan ini menghadirkan perbekel di Kota Denpasar dan bendesa adat, dan dibuka oleh Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra.

“Ada laporan dari publik, ketika akan ngurus administrasi kependudukan (adminduk), desa dinas tidak mau ngasi kalau desa adat belum memberikan rekomendasi. Mungkin saja karena di adatnya ada masalah, sehingga desa adat tidak mau ngasi surat keterangan atau surat rekomendasi. Hal ini akhirnya menghambat yang bersangkutan untuk mengurus administrasi kependudukan,” ujar Kepala Perwakilan Ombudsman RI (ORI) Provinsi Bali, Umar Ibnu Alkhatab.

Sepanjang tahun 2018, kata Umar, perbedaan syarat adminduk di dua jenis desa (desa Adat dan desa dinas) menempati ranking teratas dugaan maladministrasi untuk isu adminduk yang dilaporkan ke Kantor Perwakilan ORI Provinsi Bali, yakni sebanyak 85 persen. Berdasarkan data pengaduan masyarakat ke Posko Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Provinsi Bali, dari bulan September 2018 sampai Mei 2019, sebanyak 55 persen dari 100 pengaduan masyarakat yang diterima adalah pengaduan terkait iuran yang dikenakan oleh desa adat dalam pendataan penduduk dan pengenaan iuaran awal menjadi warga (penanjung batu).

Salah satu warga yang melapor ke Perwakilan ORI Provinsi bahkan menuturkan bahwa KTP-nya ditahan oleh pihak pecalang desa adat. Dalam laporan itu disebutkan bahwa pihak desa adat melakukan sidak di sebuah kos-kosan pukul 03.00 Wita dinihari. Sidak dilakukan hanya di beberapa kamar saja, tidak secara keseluruhan. Dalam sidak tersebut, KTP si pelapor ditahan oleh pihak pecalang karena tidak memperpanjang Kartu Tamiu Sementara (KTS). Jika sudah mengurus KTS sekitar Rp 100 ribu per orang, maka KTP-nya baru akan dikembalikan. Di sisi lain, tuan rumah kos-kosan tempat si pelapor ngekos telah berupaya bertemu dengan pihak bendesa adat di wilayah desa adat tersebut, namun KTP si pelapor tak kunjung dikembalikan.

Berbasis laporan dari publik itu, pihaknya melakukan kajian singkat dengan mengambil sampel di Kota Denpasar untuk mengetahui penyebab permasalahan tersebut. Beberapa hasil temuan yang didapatkan oleh Perwakilan ORI Provinsi Bali di antaranya kurangnya anggaran dan sumber daya manusia di desa dinas dalam pelaksanaan pendataan penduduk pendatang, mekanisme atau alur pelayanan administrasi kependudukan yang tidak sesuai, rendahnya kesadaran masyarakat pendatang untuk lapor diri, ketiadaan alur pengaduan yang jelas terkait permasalahan adat dalam pelayanan administrasi kependudukan, serta belum adanya kebijakan teknis yang mengatur penyelenggaraan administrasi kependudukan antara desa dinas dan desa adat. “Ada kasus dari desa dinas dulu, tapi ujung-ujungnya ke desa adat. Akhirnya desa adat yang menentukan. Kalau ternyata di adat ada masalah, tidak keluar surat rekomendasi KTP-nya. Alurnya masih tumpang tindih, seakan-akan adatlah yang menentukan dia dapat atau tidak KTP itu. Kita ingin ke depannya ada sinergi da
n jalan keluar terbaik. Adat tetap punya kewenangan, desa dinas juga punya,” ungkap Umar.

Umar berharap, rapat ini bisa mengahasilkan jalan keluar berupa sinergi yang baik antara desa adat dan desa dinas, sehingga masyarakat yang tinggal di sana, baik warga asli maupun pendatang bisa sama-sama mendapat kepastian. “Kita ingin ada juknis yang bisa menyinergikan kepentingan desa adat dan desa dinas. Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat sudah ada, tapi belum membahas juknisnya. Nah, dengan nada juknisnya masyarakat akan mendapatkan kepastian dalam pelayanan administrasi kependudukan baik dari syarat, biaya, maupun prosedurnya,” tandas Umar.

Sementara Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra mengatakan, baik desa adat dan desa dinas di Bali sama-sama memiliki peran dan kontribusi dalam pelayanan administrasi kependudukan. Menurut kajian yang dilakukan Perwakilan ORI Provinsi Bali, yang masih perlu dibenahi adalah sinergi antara kedua jenis desa dinas ini, terutama pengaturan teknis, sehingga bisa berjalan sesuai semangat zaman, yakni pelayanan yang semakin baik, cepat, tidak berbelit-belit, dan murah bahkan gratis.

“Kalau dari sisi regulasi, adminduk dilakukan oleh desa dinas. Tetapi desa adat yang punya wilayah dan krama, tentu berkepentingan juga untuk mendapatkan informasi tentang data kependudukan, data krama warganya. Bagaimana bisa memastikan awig-awig bisa ditaati oleh warga, begitu juga hak dan kewajibannya, kalau desa adat sendiri tidak punya data soal itu,” ungkapnya. “Hanya saja bagaimana masuknya desa adat ini dalam administrasi kependudukan, semangatnya adalah tidak memperpanjang birokrasi pelayanan adminduk, tidak menambah biaya. Karena itu dibuat rumusa pedoman teknis yang memungkinkan kedua jenis desa ini bisa berkontribusi dalam pelayanan adminduk. Seperti apa rumusannya, nanti akan didalogkan, harus duduk bersama,” tandasnya. *ind

Komentar