nusabali

Kebenaran Ilmiah vs Vedic Lebih Andal?

  • www.nusabali.com-kebenaran-ilmiah-vs-vedic-lebih-andal

SERING ada pertanyaan yang membuat kesadaran akademik terusik. Misalnya, apakah suatu fenomena religi hanya bisa dijelaskan secara teoritik ilmiah?

Apakah ‘kesadaran vedic’ (vedic consciousness) dapat digunakan sebagai ‘landasan simbolik alternatif ‘yang andal? Konflik sering merebak, karena perbedaan pandangan. Seorang ilmuwan kritis berpendapat bahwa setiap perilaku atau praktik keagamaan harus dibangun dalam bentuk penjelasan yang teruji (testable). Misalnya, pelaksanaan upacara Tawur Tabuh Gentuh yang menggunakan berbagai wewalungan. Apakah penjelasan terhadap proses dan dampaknya harus menggunakan sebuah teori kritis, seperti Teori Struktural Fungsional atau lainnya? Apakah kerangka veda dapat digunakan sebagai landasan simbolik transedental untuk menjelaskan proses dan dampak upacara tersebut?

Konflik pendapat atau pandangan sering muncul. Hal ini terjadi dikarenakan ketidak-pahaman tentang makna esensial ilmu pengetahuan dan agama. Secara umum, ilmu merupakan upaya sistematis yang dibangun untuk menjelaskan fenomena secara teruji (testable). Sedangkan agama merupakan sistem religi atau budaya yang mengandung perilaku, moral, keyakinan, teks, kearifan, etika tentang hubungan kemanusiaan dengan unsur-unsur spiritual. Seperti contoh di atas, upacara Tawur Tabuh Gentuh tidak dianalisis menggunakan cost and benefit analysis. Kalau analisis model ini dilakukan, maka dampaknya sulit diukur secara deterministik. Walau demikian, upacara ini tetap dilaksanakan, dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Apakah rasa atau keyakinan lebih terpercaya dan sahih diukur secara positivistik atau simbolik transedental?

Cendekiawan Hindu seharusnya dapat menjelaskan ‘acara’ atau ritual Hindu berdasarkan atas nilai, norma, etika, atau moralitas yang bersumber dari ‘ttawa’ sebagai penghormatan kepada Hindu (a tribute to Hinduism). Di Bali umumnya, akademisi Hindu cenderung mengalah pada teoritisi Barat. Kecenderungan ini terjadi, karena filosofi keilmuan, baik para-vidya maupun apara-vidya, kurang digali dari pohon ‘keilmuan veda’ (vedic knowledge). Profesor Tony Nader, seorang ilmuwan bedah, presiden Maharishi University of Management, telah menulis buku ‘Human Physiology: Expression of Veda and the Vedic Literature’. Buku lain, misalnya ‘A Tribute to Hinduism. Thoughts and Wisdom spanning continents and time about India and her culture’.’ ditulis oleh Sushama Londle. Buku ini menginformasikan berbagai filsuf, penulis, sejarahwan, pemikir politik, ideolog, dan lainnya dari berbagai benua, yang tertarik tentang kultur spiritual bersumber dari ‘vedic knowledge’ secara lintas waktu. Kenapa cendekiawan Hindu, khususnya di Bali, kurang belajar dari mereka? Mungkin ini saatnya dimulai pembelajaran, sehingga agama Hindu di Bali tidak dimaknai sebagai tradisi atau kosmogoni belaka.

Siapa yang harus memulai? Mungkin sejak usia dini, anak-anak Hindu harus dibelajarkan secara informal dalam keluarga tentang literasi religi. Di sekolah, anak-anak Hindu dibelajarkan tentang ‘vedic knowledge’. Guru-guru mata pelajaran Pendidikan Agama Hindu harus dididik dan dilatih pembelajaran yang berwawasan milenial dan hentikan metode klasik. Anak-anak sekarang adalah generasi Z. Di usia mereka yang sangat dini, mereka sudah mengenal dan sudah berpengalaman dengan gadget, smartphone serta kecanggihan teknologi. Pola pikir mereka terbuka, transformatif, dan inovatif.

Selanjutnya, para pandita, pinandita, dan welaka harus memahami dan dapat menjelaskan tentang ‘vedic knowledge’ sebagai penghargaan pada Hindu. Demikian juga cendekiawan, akademisi, siswa maupun mahasiswa harus membelajarkan dan mengaktualisasi pengetahuan bersumber weda tersebut dalam kehidupan akademik maupun keseharian. Dengan cara demikian, maka ‘teori-teori barat’ akan dijadikan padanan, bukan saingan, terhadap pengetahuan bersumber veda. Dengan cara demikian, umat Hindu dari berbagai strata dan keahlian dapat memberi suatu penghargaan dan penghormatan terhadap sumber pengetahuan asali, yaitu ‘vedic knowledge’. Semoga, semua acara dan etika Hindu dapat dijelaskan secara simbolik konseptual yang dapat dinalar oleh pikiran, perasaan, dan perbuatan yang baik dan benar. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar